Komunikasi Risiko dalam Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau.
View/ Open
Date
2018Author
Badri, Muhammad
P Lubis, Djuara
Susanto, Djoko
Suharjito, Didik
Metadata
Show full item recordAbstract
Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) merupakan masalah ekologi di Indonesia. Karhutla diikuti kabut asap menyebabkan kerusakan lingkungan dan dampak sosial ekonomi bagi masyarakat lokal, nasional dan regional. Penelitian terkait karhutla sudah sering dilakukan di Indonesia tetapi umumnya meneliti aspek keteknikan. Sedangkan penelitian sosial umumnya masalah kebijakan, pengorganisasian, sosiologi dan pemberdayaan. Dengan demikian penelitian karhutla menggunakan pendekatan komunikasi risiko dapat menutupi kekurangan penelitian-penelitian sebelumnya. Kajian komunikasi risiko menarik karena masing-masing aktor komunikasi memiliki pengalaman, tujuan dan kepentingan berbeda. Komunikasi risiko mendorong pertukaran penilaian, perkiraan, dan pendapat tentang bahaya dan risiko di antara berbagai pemangku kepentingan untuk mencapai konsensus menemukan cara terbaik dalam menangani risiko. Penelitian ini dilakukan di Provinsi Riau dengan pertimbangan sebagai daerah paling sering mengalami karhutla.
Penelitian ini bermaksud menjelaskan komunikasi risiko pemangku kepentingan dalam pencegahan karhutla para di Provinsi Riau, yang dirumuskan berdasarkan model proses komunikasi risiko Leiss dan Chociolko (1994) dan tata kelola risiko Renn (2008). Pertanyaan utama penelitian ini yaitu ―Bagaimana komunikasi risiko dalam pencegahan karhutla di Provinsi Riau?‖ Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Menganalisis proses komunikasi di tingkat pemangku kepentingan dalam pencegahan karhutla di Provinsi Riau; (2) Menganalisis proses komunikasi anggota Masyarakat Peduli Api (MPA) dalam pencegahan karhutla di Provinsi Riau; dan (3) Menyintesis dan menata ulang organisasi komunikasi risiko dalam pencegahan karhutla di Provinsi Riau.
Penelitian ini menggunakan paradigma pragmatis dengan pendekatan metode campuran (mixed method) sekuensial eksploratori. Peneliti memulai dengan mengeksplorasi dan menganalisis data kualitatif kemudian dikembangkan untuk penelitian kuantitatif. Unit analisis penelitian kualitatif 14 aktor komunikasi yang mewakili kelompok pemangku kepentingan pemerintah, korporasi, peneliti, media massa, LSM dan MPA. Unit analisis penelitian kuantitatif 45 orang terdiri atas 20 anggota MPA Desa Sepahat Kecamatan Bandar Laksamana Kabupaten Bengkalis; 15 anggota MPA Desa Segati Kecamatan Langgam Kabupaten Pelalawan, dan 10 anggota MPA Kelurahan Mundam Kecamatan Pelintung Kota Dumai.
Pemangku kepentingan berpendapat karhutla di Riau disebabkan perilaku manusia yang melakukan pembakaran secara sengaja. Pelaku pembakaran terdiri atas pelaku individual dan kelompok terorganisir. Lokasi kebakaran paling banyak terjadi di area open access yaitu bekas konsesi yang dibiarkan terlantar setelah masa konsesinya habis, area korporasi, area pertanian masyarakat, dan area konservasi. Dampak karhutla yang dibahas pemangku kepentingan sebagian besar dampak lingkungan yaitu deforestasi, degradasi lahan dan rusaknya keanekaragaman hayati. Kemudian dampak sosial ekonomi yaitu terganggunya
aktivitas penerbangan, produksi korporasi, rusaknya mata pencaharian masyarakat, ISPA dan aktivitas pendidikan.
Komunikasi perencanaan pengurangan risiko karhutla dilakukan pemangku kepentingan melalui berbagai saluran. Secara formal pemerintah membentuk Satgas Karhutla. Komunikasi juga dilakukan dalam internal organisasi dan antar organisasi. Saluran yang digunakan dalam berkomunikasi yaitu saluran interpersonal, media massa, media sosial, dan WhatsApp. Pelaksanaan kegiatan pencegahan karhutla pemangku kepentingan pemerintah dilakukan dalam forum Satgas Karhutla. Pemangku kepentingan lain, seperti peneliti dan LSM melakukan program pendampingan masyarakat khususnya MPA. Korporasi juga melakukan kegiatan pendampingan MPA melalui program Desa Bebas Api (DBA). Kegiatan pencegahan karhutla di lapangan dilakukan oleh tim patroli terpadu terdiri atas Manggala Agni, TNI, Polri dan MPA. Tim patroli terpadu melakukan kegiatan patroli, pemadaman dini dan sosialisasi larangan membakar kepada masyarakat.
Penelitian ini juga mengungkap pentingnya peran MPA dalam pencegahan karhutla di Riau. MPA di Riau umumnya dibentuk atas inisiatif masyarakat sendiri, inisiatif pemerintah, dan inisiatif korporasi. MPA secara rutin melakukan patroli baik mandiri maupun bersama tim patroli terpadu. Agar kegiatan MPA berkelanjutan mereka berharap mendapat program pemberdayaan ekonomi agar anggotanya lebih mandiri dan sejahtera. Bukan hanya dijadikan sebagai ―alat‖ pemadam kebakaran oleh pemerintah dan korporasi.
Peneliti menemukan pencegahan karhutla di Riau pada tahun 2013 sampai 2017 baru terkoordinasi secara sistematis setelah Pemerintah Provinsi Riau menetapkan status siaga darurat karhutla dan membentuk Satgas Karhutla. Status ini kemudian dicabut setelah masa rawan kebakaran berakhir dan Satgas Karhutla dibubarkan. Model pengendalian karhutla tersebut hanya dapat menyelesaikan masalah karhutla jangka pendek. Sedangkan masalah hulu karhutla seperti tata kelola lingkungan dan industri berbasis sumber daya alam belum mendapat perhatian serius. Akibatnya karhutla berpotensi terus terjadi setiap tahun terutama saat musim kemarau.
Melihat permasalahan tersebut, penelitian ini merumuskan implikasi kebijakan komunikasi pengendalian karhutla mengadopsi model siklus manajemen bencana yaitu: (1) pencegahan dan mitigasi, (2) kesiapsiagaan, (3) tanggap darurat dan (4) pemulihan, dengan menempatkan komunikasi risiko pada tahap pertama dan kedua. Model ini merupakan antitesis terhadap kebijakan pengendalian karhutla pemerintah yang bersifat reaktif dan insidental dengan fokus pengendalian hanya pada tahap siaga darurat karhutla. Berdasarkan model tersebut Satgas Karhutla harus dibentuk pada tahap pencegahan dan mitigasi agar kegiatan pengendalian karhutla dapat dilakukan sejak dini, melibatkan semua pemangku kepentingan, baik pemerintah, peneliti, korporasi, media massa, LSM maupun MPA. Komunikasi berperan penting dalam pendekatan ini agar terjadi koordinasi dan sinkronisasi kegiatan pengendalian karhutla antar pemangku kepentingan.
Collections
- DT - Human Ecology [567]