Batas Politik Identitas Etnis. Teritorialisasi Tandingan dan Migrasi Frontier di Desa Pegunungan Sulawesi Tengah
View/ Open
Date
2018Author
Abdulkadir-Sunito, Melani
Adiwibowo, Soeryo
Soetarto, Endriatmo
A Kinseng, Rilus
Foley, Sean
Metadata
Show full item recordAbstract
Disertasi ini menelaah dinamika politik identitas dalam menegosiasi hak atas
sumberdaya tanah, melalui pengamatan selama hampir dua dekade pada satu desa
pegunungan di Sulawesi Tengah yang mengalami gelombang-gelombang migrasi.
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan bagaimana identitas etnis dapat
atau tidak dapat dimanfaatkan untuk memperoleh hak akses dan kontrol atas
sumberdaya tanah. Pertanyaan tersebut dijawab dengan menelusuri perubahan lanskap
agraria desa akibat penetapan kawasan Taman Nasional, serta mencermati perubahan
pola pertanian dan pemukiman akibat gelombang-gelombang migrasi dari etnis yang
berbeda dalam konteks perubahan sosio-politik lokal dan regional di Indonesia pasca
1998.
Disertasi ini mengeksplor tesis konflik lingkungan dan identitas keaslian
(indigeneity) dalam pendekatan Ekologi Politik. Sejalan dengan Ekologi politik yang
plural secara metodologis, penelitian ini menggunakan kombinasi metoda kualitatif
(wawancara, pengamatan langsung) dengan analisa dokumen dan metoda kuantitatif
sensus penduduk dan migrasi yang dilakukan secara partisipatif.
Dari penelitian ini disimpulkan bahwa politik identitas etnis dalam akses atas
sumberdaya dimungkinkan, namun juga dibatasi, oleh kondisi-kondisi tertentu.
Teritorialisasi menjadi elemen kunci dalam mengakses sumberdaya tanah. Pada tahun
2004 upaya mengklaim tanah di dalam kawasan hutan yang diteritorialisasi oleh negara
dalam bentuk Taman Nasional dilakukan dengan klaim tanah sebagai warisan
(powanuanga) milik ‘orang kampung’, yaitu etnis lokal Napu. Etnisitas sebagai bundle
of powers diajukan dengan mengemukakan adanya ketimpangan ekonomi akibat
budidaya coklat oleh pendatang serta ketegangan hubungan antara orang kampung
(Napu, Kristen) dan pendatang (Bugis, Islam) akibat imbas konflik etno-relijius di Poso
(berada pada kabupaten yang sama). Situasi ini diperkuat fakta demografis yang
menunjukkan proporsi sebanding antara orang kampung-pendatang dan fakta spasial
dalam hal pemukiman yang terpisah antar etnis menunjukkan integrasi sosial yang
lemah.
Identitas etnis tidak dapat dimanfaatkan (atau dapat ‘diredam’) ketika menegosiasi
hak atas sumberdaya tanah pada tahun 2014 karena secara kuantitatif terjadi perubahan
struktur demografi akibat gelombang migrasi dimana komposisi penduduk menjadi tigasama-
besar antara lokal Napu, pendatang Bugis, dan pendatang Sunda-Jawa; etnis tidak
lagi dikotomik. Selain itu terjadi leveling off playing field dalam hal penguasaan atas
tanah. Tanah yang lebih merata terdistribusi memungkinkan petani dari berbagai
kelompok dan etnis untuk membudidayakan sayuran dataran tinggi (hortikultura),
komoditas tinggi input eksternal. Dalam situasi ini tanah menjadi sumberdaya yang
perlu diperjuangkan bersama, dan perjuangan itu berhasil pada saat negara memberi
legitimasi melalui persetujuan meng-enclave. Etnis sebagai bagian dari identitas
askriptif, bagaimanapun, masih berperan di sebagian legitimasi akses: sepanjang klaim
dilakukan atas nama powanuanga maka sumberdaya hutan sah untuk diakses. Pada
sebagian lain, karena kategori sosial makin beragam, pendatang melepas sekat identitas
etnis dan menggantikannya dengan identitas lokal, hal mana ‘menyatukan’ mereka
dengan warga setempat. Politik identitas etnis bergeser menjadi politik identitas lokal.
Penelitian ini juga menyoroti perubahan konjungtur atau historical contingency
dan peran kelembagaan desa. Pada tahun 2004 konjungtur tersusun dari (1) negara
melakukan teritorialisasi dalam bentuk penetapan kawasan Taman Nasional; (2)
keterbukaan politik dan situasi chaotic’ yang terjadi pada tahun-tahun awal sesudah
reformasi 1998; (3) kerusuhan etno-relijius Poso; dan (4) pendudukan Dongi-dongi.
Peran kelembagaan desa sebagai penyeimbang dan pengontrol kecil, dan kelembagaan
baru justru berperan sebagai pendukung kekuasaan individu Kepala Desa. Pada tahun
2014, perubahan elemen penyusun konjungtur yaitu (1) negara masih melakukan
teritorialisasi dalam bentuk Taman Nasional namun telah terjadi teritorialisasi tandingan
melalui bentuk Kesepakatan Konservasi Masyarakat (KKM); (2) situasi chaotic era
reformasi 1998 telah berubah menjadi era konsolidasi demokrasi sesudah tahun 2005;
(3) kerusuhan etno-relijius Poso telah mereda; sebagai isu etno-relijius ia sudah
kadaluwarsa. Pada tingkat desa terjadi perkembangan kelembagaan yang berperan
sebagai penyeimbang sekaligus pengawas atas kekuasaan dan otoritas individu baik
yang menyangkut aparat desa, kelembagaan lintas agama, dan kelembagaan ekonomi
yang dengan sengaja menyertakan beragam kelompok dalam masyarakat (termasuk
pendatang) dalam kepengurusan dan kegiatannya, serta menjalankan peran-peran yang
menjembatani perbedaan primordial.
Penelitian ini secara khusus menyoroti krusialnya isu agraria di daerah frontier
sebagai arena kontestasi vertikal (antara negara dengan masyarakat) dan horisontal
(antara lokal dengan pendatang, dan di antara sesama lokal/pendatang) atas peluangpeluang
hidup dan sumberdaya produktif. Dimana teritorialisasi belum selesai
kekuasaan ekstra-institusi sering berperan tanpa ada kekuatan penyeimbang. Penting
pula menyoroti bahwa isu migrasi, tanah, dan tenurial merupakan bibit-bibit
keIndonesiaan yang penting dikaji pada tingkat lokal. Migrasi tidak bisa lagi “tidak
berwajah etnis” dan proses-proses akulturasi sebagai bagian dari pembentukan civility
dalam masyarakat multikultural menjadi penting. Jika identitas tunggal (etnis, adat,
first people, indigeneity) dikedepankan, maka hal ini tidak saja gagal menggambarkan
realitas sesungguhnya pada masyarakat nyata tetapi juga berkemungkinan mendorong
terjadinya ketegangan dan konflik horisontal – hal mana merupakan pembalikan
trajectory keIndonesiaan. Jika pemerintah maupun masyarakat sipil tidak melihat ini,
maka di masa depan yang dekat permasalahan akan timbul.
Collections
- DT - Human Ecology [567]