Efektivitas Implementasi Pemberian Izin Pemanfaatan Air (IPA) Di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS)
Abstract
Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang paling sulit dari
keseluruhan siklus kebijakan. Mengukur efektivitas implementasi sebuah kebijakan
dilihat dari ketepatan pelaksanaan, ketepatan target, ketepatan lingkungan dan
ketepatan prosesnya. Penelitian tentang Efektivitas Implementasi IPA di Kawasan
TNGHS dilatarbelakangi oleh keinginan untuk mengkaji seberapa tepat
implementasi kebijakan IPA diterapkan guna mengatur tata kelola sumber daya air
di TNGHS, sesuai arahan Permenhut No 64/Menhut-II/2013 tentang jenis-jenis
pemanfaatan air, tata cara melakukan pemanfaatan air, serta hak dan kewajiban
pemanfaat air di kawasan konservasi.
Tujuan penelitian ini yaitu; Pertama, mendapatkan gambaran tentang
pemahaman terhadap tugas, fungsi, tujuan, dan isi kebijakan pemberian IPA dari
masing-masing aktor. Metode untuk menjawab tujuan ini ialah wawancara tertutup
dengan kuesoner mengunakan skala likert dengan pilihan jawaban dalam bentuk
skor dari 1 (satu) sampai 7 (tujuh). Kedua, mendapatkan gambaran tentang
implementasi kebijakan pemberian IPA di TNGHS. Metode untuk menjawab
tujuan ini ialah analisis isi dari Permenhut No.64 tahun 2013 dan dibandingkan
dengan implementasinya melalui wawancara dan observasi lapang. Ketiga,
mendapatkan gambaran tentang masalah dalam implementasi kebijakan pemberian
IPA di TNGHS. Menjawab tujuan ini mengunakan pendekatan Edward III (1980)
dengan indikator komunikasi, sumberdaya, disposisi/sikap, dan struktur birokrasi.
Kemudian, ketiga tujuan tersebut akan menjadi pertimbangan untuk menentukan
opsi peningkatan efektifitas implementasi.
Berdasarkan hasil tabulasi persepsi aktor tentang implementasi kebijakan IPA
di TNGHS diketahui bahwa rata-rata aktor “tahu” tentang kebijakan IPA di TNGHS.
artinya aktor memahami tugas, fungsi, tujuan dan isi kebijakan pemberian IPA
dengan baik, namun kurang mampu menerapkannya dengan tepat di lapangan.
Penyebabnya adalah perbedaan cara pandang para aktor tentang pemanfaatan
sumberdaya air sebagai public goods. Hal ini menimbulkan kesenjangan antara
kondisi normatif dalam regulasi dengan fakta empirisnya yaitu inkonsistensi,
ketidakpatuhan, dan diskresi. Masalahnya adalah (a) strategi komunikasi yang
terbatas dan ketidakjelasan; (b) sumberdaya manusia dari segi jumlah maupun
kompetensi yang terbatas; (c) terdapat diskresi dan disinsentif; serta (d)
kompleksitas kebijakan di BTNGHS dan tidak adanya SOP kebijakan IPA.
Beberapa opsi yang diusulkan yaitu: (a) penambahan startegi komunikasi dan
pendampingan yang intensif; (b) memberikan pelatihan capacity bulding, membuat
format laporan sederhana yang mudah dikerjakan oleh FPA, serta pemberian
insentif tambahan; (c) pemberian penghargaan bagi FPA yang
mengimplementasikan IPA dengan efektif; serta (d) menetapkan SOP terkait
kebijakan pemberian IPA.
Collections
- MT - Forestry [1445]