“Pemanfaatan Lahan Gambut Berkelanjutan untuk Perkebunan Kelapa Sawit Berbasis Karbon Terserap dan Tersimpan di atas Permukaan Tanah (Kasus di Kecamatan Koto Gasib)”
View/Open
Date
2018Author
Yahya, Vanda Julita
Sabiham, Supiandi
Pramudya N, Bambang
Las, Irsal
Metadata
Show full item recordAbstract
Pemanfaatan lahan gambut ibarat dua sisi mata uang, satu sisi memberikan
keuntungan ekonomi, mensejahterakan rakyat kecil, mengurangi kemiskinan, dan
mengurangi pengangguran, disisi lain menimbulkan kerusakan lingkungan.
Penelitian dilakukan di perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut di Kecamatan
Koto Gasib, Kabupaten Siak, Provinsi Riau pada bulan Oktober 2015 dan
November 2016. Penelitian bertujuan melakukan analisis kuantitatif karbon
teremisikan dan tersimpan pada tanaman kelapa sawit di atas permukaan tanah;
Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pelepasan karbon dari
tanah gambut; Mengevaluasi pengaruh keberadaan perkebunan kelapa sawit
terhadap faktor sosial dan ekonomi masyarakat enclave (di dalam perkebunan
kelapa sawit) dan non enclave (diluar perkebunan).
Emisi total dihitung berdasarkan penjumlahan emisi dari dekomposisi dan
respirasi akar dengan rumus 0.91x GWL x 0.7 untuk tanaman kelapa sawit
berumur 6-10 tahun, untuk tanaman kelapa sawit umur 15-20 tahun menggunakan
rumus 0.91x GWL x 0.26, dimana GWL; Ground Water Level (tinggi muka air
tanah=cm); 0.91 (setiap penurunan 10 cm tinggi muka air tanah memancarkan 9.1
ton CO2e ha-1tahun-1); 0.7 dan 0.26 (faktor koreksi berdasarkan adanya kontribusi
respirasi akar pada emisi total di perkebunan kelapa sawit sebesar 30% dan 74%).
Perhitungan respirasi: RS=4.03+2.41×(GWL(m))+1.69×(GWL(m)2. Perhitungan
biomassa batang kelapa sawit dihitung menggunakan persamaan: Y= 100 x π x (r
x z)2 x h x ρ dimana :Y = biomassa batang (kg per pohon), π; nilai 3.14, r; 0.5 x
diameter sawit (cm), h; tinggi batang (m) dan ρ = (0.0076x + 0.083)/100 (kg m-3),
x adalah umur kelapa sawit. Analisis pengaruh perusahaan perkebunan kelapa
sawit terhadap masyarakat dilakukan dengan teknik wawancara secara langsung
(in deep interview) menggunaan kuesioner dengan skala likert. Pengukuran
persepsi dan pendapat responden untuk setiap jawaban akan dihubungkan dengan
bentuk pernyataan.
Hasil penelitian menunjukan total emisi CO2e dari proses dekomposisi dan
respirasi akar pada perkebunan kelapa sawit berumur 10-20 tahun sebesar 57.00
ton ha-1 tahun-1. Rata-rata tinggi muka air tanah–57.41 cm. Data emisi perbulan
yang diambil pada 3 titik pengamatan pada blok OK (data sekunder tahun 2013)
menunjukan bahwa emisi terendah terjadi pada bulan Juni dengan tinggi muka air
tanah -44.79 cm, emisi sebesar 63.96 ton CO2e ha-1 tahun-1. Emisi tertinggi terjadi
pada bulan Maret dengan tinggi muka air tanah -68.80 cm, emisi sebesar 125.51
ton CO2e ha-1 tahun-1. Emisi total proses dekomposisi tanah gambut dan respirasi
tanaman kelapa sawit umur 10 tahun, 15 tahun, 19 tahun, dan 20 tahun berturutturut
adalah 51.92 ton CO2e ha-1, 55.30 ton CO2e ha-1, 52.77 ton CO2e ha-1 dan
68.00 ton CO2e ha-1.
Pengaruh sifat kimia dan fisika tanah gambut berdasarkan data tahun 2011,
terhadap pelepasan emisi pada penelitian ini dikorelasikan menggunakan regresi
linier. Rerata kadar air gambut sebesar 75.48% (v/v) pada kedalaman gambut 0-
30 cm dikorelasikan dengan rerata emisi 39.58 ton ha-1 tahun-1 didapatkan
persamaan regresi linier untuk Y= -1.0037x+129.44 dengan nilai R2=0.9619.
Nilai R2=0.9619 menunjukan kadar air gambut berpengaruh 96.19% terhadap
pelepasan emisi dari gambut. Rerata pH gambut sebesar 3.54 pada kedalaman
gambut 0-30 cm dikorelasikan dengan rerata emisi 39.58 ton ha-1 tahun-1
didapatkan persamaan regresi linier Y= 19.567x-17.85 dengan nilai R2=0.9141.
Nilai R2=0.9141 menunjukan bahwa pH gambut berpengaruh 91.41% terhadap
pelepasan emisi gambut. Rerata kapasitas tukar kation (KTK) gambut sebesar
103.706 cmol(+) kg-1 pada kedalaman gambut 0-30 cm dikorelasikan dengan
rerata emisi 39.58 ton ha-1 tahun-1 didapatkan persamaan regresi linier untuk Y= -
0.1636x+68.38 dengan nilai R2=0.8866. Nilai R2=0.8866 menunjukan bahwa
KTK gambut berpengaruh 88.66% terhadap pelepasan emisi gambut.
Estimasi karbon terserap pada biomasa kelapa sawit berdasarkan berat
batang, akar dan tandan buah tanaman kelapa sawit berumur 10 tahun, 15 tahun,
19 tahun dan 20 tahun berturut-turut sebesar 37.72 ton CO2 ha-1tahun-1, 69.48 ton
CO2 ha-1tahun-1, 74.65 ton CO2 ha-1tahun-1 dan 82.61 ton CO2 ha-1tahun-1.
Pelepasan emisi dari tanah gambut dipengaruhi juga oleh kadar air gambut, pH
dan KTK. Kadar air memiliki pengaruh paling tinggi dalam menekan emisi yang
dilepaskan dari perkebunan kelapa sawit di lahan gambut. Hasil tersebut
menunjukan pengelolaan air pada drainase dengan tinggi muka air -56.09 cm akan
menekan laju emisi. Serapan CO2eq pada perkebunan kelapa sawit umur 15 tahun
hingga 20 tahun lebih tinggi dari emisi, hal ini menunjukan bawa perkebunan
kelapa sawit 15 tahun hingga 20 tahun mampu menyerap emisi yang dihasilkan
oleh proses dekomposisi dan respirasi akar melalui proses siklus tertutup untuk
pertumbuhan dan produktifitas tanaman kelapa sawit.
Pengaruh perusahaan perkebunan kelapa sawit terhadap masyarakat enclave
dan non enclave berdampak terhadap tingginya migrasi ke kecamatan Koto Gasib.
Faktor penyebab tingginya migrasi karena mudah dan murahnya pembelian tanah
dari masyarakat setempat. Faktor lain karena adanya peluang kerja di kebun dan
perusahaan. Kerja di kebun dimanfaatkan pekerja untuk belajar budidaya kelapa
sawit dari perusahaan. Perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Koto Gasib
berdampak terhadap peningkatan ekonomi rumah tangga sebesar 300-400% dari
kondisi awal. Pekerjaan utama masyarakat sebelum adanya perkebunan kelapa
sawit adalah memancing dan mencari kayu di hutan. Hasil survei terhadap 40
responden didapatkan bahwa sebagian besar (85%) masyarakat memiliki kebun
sawit. Kepemilikan kebun sawit petani berkisar antara1-13 ha. Rumah tangga
dengan pekerjaan sebagai guru dan pegawai dalam perusahaan rata-rata memiliki
kebun kelapa sawit 1-3 ha. Tingginya pendapatan responden belum berdampak
terhadap perubahan pola pikir pada pendidikan anak-anak tapi lebih mendorong
terhadap pola konsumtif. Hasil wawancara pada responden di dua desa, hanya tiga
keluarga yang menyekolahkan anak mereka ke sekolah tinggi. Pengeluaran non
pangan lebih besar dari pengeluaran untuk pangan. Disimpulkan dampak positif
pada peningkatan ekonomi rumah tangga responden menimbulkan dampak
detrimental (merugikan dan merusak). Masyarakat menjadi semakin konsumtif,
mengejar kemewahan atau manusia menjadi “materieel bejacht”.