Konstruksi Komunikasi Kebijakan Publik tentang Energi Terbarukan.
View/ Open
Date
2018Author
Luqman, Yanuar
Sumardjo
Sarwititi, Sarwoprasodjo
Tambuan, Armansyah Halomoan
Metadata
Show full item recordAbstract
Pengembangan energi terbarukan (ET) adalah sebuah usaha dalam menjawab ancaman krisis energi yang disebabkan oleh ketergantungan energi fosil. Berbagai kebijakan telah dibuat untuk mengatur kegiatan-kegiatan pengembangan energi terbarukan. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal perlu komunikasi organisasi yang komprehensif. Pengembangan ET yang telah dilandasi dengan kebijakan pemerintah belum berjalan optimal. Kemungkinan terdapat beberapa faktor yang bisa menyebabkan pengembangan ET belum optimal, salah satunya adalah faktor komunikasi. Komunikasi kebijakan tentang ET ada namun belum efektif. Kemungkinan lain, pada proses pembuatan kebijakan ET tidak didasarkan dengan komunikasi organisasi yang baik atau setelah kebijakan ET tersebut tersusun tidak dikomunikasikan dengan baik. Komunikasi organisasi menjadi kunci dalam proses konstruksi kebijakan publik mengenai ET.
Dengan menggunakan paradigma constructivist dan metode fenomenologi penelitian didasari dengan pendekatan sensemaking, organization information process dan social marketing. Berdasarkan latar belakang dan permasalahan maka penelitian bertujuan untuk : (1) mendeskripsikan proses komunikasi yang terjadi dalam pembuatan keputusan menyangkut kebijakan publik berkaitan potensi ancaman krisis energi khususnya pengembangan ET bioenergi; (2) mendeskripsikan penyebab ketidakefektifan komunikasi dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan penyusunan kebijakan publik tentang pengembangan ET bioenergi; (3) mendeskripsikan konstruksi strategi komunikasi yang efektif untuk perumusan dan implementasi kebijakan publik dibidang pengembangan ET bioenergi.
Studi menunjukkan bahwa Pemangku kepentingan yang berkaitan dengan formulasi dan implementasi kebijakan publik terkait krisis energi serta pengembangan bioenergi tidak mencapai konvergensi komunikasi. Indikasi tidak tercapainya konvergensi adalah pemahaman yang beragam tentang krisis energi. Pemaknaan (problem statement) dan kepentingan atas krisis energi yang belum sama menyebabkan komunikasi organisasi tidak berjalan optimal sehingga kebijakan tidak efektif. Krisis dipahami terbatas pada aspek ekonomi oleh para pembuat kebijakan. Faktanya krisis energi mencakup pembangunan berkelanjutan yang memperhatikan lingkungan hidup tentang energi bersih dan keberlanjutan energi tidak menjadi pembicaraan. Kebijakan dalam usaha antisipasi krisis terbatas pada aspek penghematan energi (konservasi) dan pengembangan energi non fosil.
Ketidakefektifan komunikasi dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan penyusunan kebijakan publik tentang pengembangan ET bioenergi disebabkan oleh komunikasi antar lembaga dalam pembahasan pengembangan bioenergi masih terhambat perbedaan perspektif sektoral serta kurang melibatkan masyarakat. Sensemaking model komunikasi seharusnya mempertimbangkan
aspek sumber daya manusia (masyarakat) dalam mengadopsi bioenergi karena berkaitan dengan penguasaan teknologi. Konstruksi komunikasi kebijakan publik tentang pengembangan bioenergi teridentifikasi berformat top down yang bersifat telling/monologic kepada masyarakat sehingga masukan masyarakat di luar struktur pemerintah tidak signifikan. Sama dengan halnya membicarakan krisis, komunikasi tidak lancar karena para pembuat kebijakan belum padu dalam merumuskan masalah (problem statement) mengenai pengembangan bioenergi. Melalui DEN pembahasan bioenergi dilakukan dengan rapat formal dan informal. Materi yang dibicarakan dalam komunikasi organisasi ketersediaan bahan baku, akses dan insentif, pengembangan bioenergi, biofuel, potensi-potensi bioenergi, tarif serta kemandirian energi yang semuanya tidak dapat melibatkan masyarakat secara luas.
Model dan strategi komunikasi oleh K/L pengelola bioenergi menggunakan konsep social marketing yang linier dan tidak efektif untuk menghasilkan kebijakan yang mendorong kontribusi pihak terkait. Produk bioenergi yang dikomunikasikan kepada masyarakat adalah biodiesel dan sampah kota. Pesan yang disampaikan idealnya selain tentang manfaat secara ekonomis yang didapatkan dari pengembangan bioenergi dan aspek lingkungan. Saluran informasi yang dipakai untuk melakukan sosialisasi program bioenergi adalah melalui tatap muka langsung dengan metoda roadshow, rapat formal dengan stakeholder kunci. Selain itu, saluran komunikasi dilakukan dengan menggunakan media massa yang konvensional dan non konvensional (internet). Idealnya aspek sensemaking yang mendasari adoptability menempatkan faktor efisien, efektif dan tepat sasaran menjadi pertimbangan dalam usaha komunikasi disamping interaktif dan sesuai dengan kekhasan daerah.
Konstruksi strategi komunikasi untuk mendapatkan rumusan kebijakan yang efektif dan mendapatkan rumusan kebijakan yang efektif dan mendapatkan partisipasi dari pihak terkait dibutuhkan model komunikasi yang konvergen dengan lebih banyak sharing (dialogis) yang mengedepankan komunikasi partisipatif, serta advokasi. Komunikasi dilakukan dengan membuka ruang terbuka dimana semua pihak (termasuk masyarakat) dapat membahas opsi teknis yang melibatkan kolektif. Tingkat penerimaan (acceptance) masyarakat yang dapat dilihat dari model komunikasi yang dialogis tersebut merupakan prinsip dari operasionalisasi sensemaking.
Collections
- DT - Human Ecology [567]