Konflik Pemanfaatan, Kelembagaan Serta Pengaruhnya Terhadap Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Hutan Produksi Pada KPHP Meranti Provinsi Sumatera Selatan.
View/Open
Date
2018Author
Napitu, Ja Posman
Hidayat, Aceng
Basuni, Sambas
Sjaf, Sofyan
Metadata
Show full item recordAbstract
Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), bertujuan untuk menjaga
kelestarian hutan, meningkatkan ekonomi masyarakat, membuka lapangan
pekerjaan serta meningkatkan kontribusi devisa. Hasil penilaian operasional
Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) pada tahun 2015 menunjukan
KPHP Meranti bernilai kategori cukup karena kinerja kelembagaan pengelolaan
hutan belum optimal. Kinerja kelembagaan yang belum optimal diduga karena
permasalahan, antara lain: tumpang tindih pemanfaatan, ketidakjelasan hak-hak
kepemilikan, rasa ketidakadilan alokasi lahan, berbagai kepentingan dan pengaruh
pengguna lahan, dan konflik pemanfaatan. Dugaan tersebut menjadi dasar
menjelaskan pengaruh kinerja kelembagaan terhadap keberlanjutan pengelolaan
KPHP dan resolusi konflik.
Tujuan umum penelitian untuk mengetahui resolusi konflik pemanfaatan,
sedangkan tujuan khusus, yaitu: a) menerangkan bentuk mekanisme akses dan hak
kepemilikan; b) menerangkan persepsi masyarakat, kepentingan, dan pengaruh
aktor; c) menerangkan dominasi perusahaan dan bentuk tuntutan serta status klaim
lahan; d) memetakan konflik pemanfaatan; e) mendiagnosa kelembagaan; f)
menerangkan keberlanjutan pengelolaan, dan g) membangun konsep resolusi
konflik dengan peran desa dalam kelembagaan pengelolaan kawasan hutan.
Pengumpulan data dilakukan melalui diskusi terbuka; wawancara aktor kunci; studi
sejarah dokumen, literatur, dan peta; serta data sekunder pendukung lainnya.
Metode penelitian menggunakan pendekatan kontruksivisme dengan metode
analisis deskriptif kualitatif didukung statistik sederhana.
Hasil penelitian menemukan bahwa secara garis besar ada lima bentuk
mekanisme akses hak dan lima bentuk mekanisme akses struktur dan relasi.
Ketidakjelasan hak kepemilikan disebabkan berbagai status dan posisi pengguna,
yaitu: a) adanya pemukiman, kebun campuran, kebun Sawit dan Karet; penyewa
lahan untuk aktivitas tambang ilegal di areal kerja HTI, b) adanya izin pemilik
kebun tidak prosedural dengan skala usaha luasan cukup besar pada wilayah
tertentu, dan c) adanya izin pertambangan di areal kerja HTI. Persepsi masyarakat
dibedakan berdasarkan memori selektif dan perhatian selektif sebelum dan sesudah
adanya izin usaha (HTI/RE/HTR). Persepsi masyarakat terkait kondisi sosial,
adalah; a) layanan pendidikan, b) layanan kesehatan, c) kondisi budaya/tradisi lokal,
dan d) kondisi pemilikan lahan. Persepsi terkait kondisi ekologi, adalah: a) kondisi
atau keadaan hutan, b) kenyamanan tinggal, dan c) ketersediaan air bersih. Persepsi
terkait kondisi ekonomi, yaitu: kesempatan kerja, peningkatan penghasilan, dan
peluang bisnis masyarakat. Aktor yang sangat terkait langsung dan pengaruhnya
sangat besar, yaitu: pemilik unit izin HTI, RE, pemerintah (KLHK dan Dinas
Kehutanan) dan Kepala Desa/tokoh masyarakat.
Klaim masyarakat lokal masih kuat dari pengaruh adat, berkaitan dengan
norma tata cara pemanfaatan lahan dan menentukan pengguna. Kinerja perusahaan
tidak dapat optimal akibat lahan diklaim masyarakat. Hal ini menunjukan
masyarakat memiliki wewenang sehingga diberikannya legalitas berupa izin tetapi
tidak memiliki legitimasi masyarakat. Analisis peran aktor menunjukan key player
sebagai aktor utama, yaitu: Kepala Desa sebagai perwakilan masyarakat, pemegang
izin usaha, dan pemerintah (KLHK). Ketika para pihak memiliki kepentingan dan
pengaruh berbeda dan berada pada posisi yang sama sebagai key player, maka dapat
dipastikan potensi konflik ada dalam pengelolaan hutan. Dominasi perusahaan dan
kerusakan hutan menimbulkan tuntutan masyarakat, yaitu: a) lahan tetap menjadi
hak milik sendiri, b) perbaikan ekonomi, dan c) tuntutan perbaikan kerusakan
lingkungan, hilangnya sumber air bersih, dan pencegahan kebakaran hutan.
Berdasarkan analisis prioritas penanganan konflik, wilayah izin HTI PT
WAM dan wilayah tertentu berkategori rawan atau waspada, sedangkan open
access bekas konsesi PT Pakerin dalam kategori sangat prioritas. Berdasarkan
analisis tipologi konflik ada tiga tipologi potensi, yaitu: pertama, konflik
masyarakat dengan pemegang izin usaha, HTI, RE, HTR, usaha pertambangan dan
IPPKH lainnya, serta di wilayah tertentu. Kedua, konflik antar pemegang izin
usaha, dan ketiga, konflik antara KPHP Meranti dengan perkebunan tidak
prosedural. Intensitas konflik dari berbagai tipologi terbagi dalam kategori terbuka
31%, mencuat 44% dan laten 25%.
Diagnosa kelembagaan menjelaskan bahwa atribut biofisik, atribut komunitas
dan rule in use kelembagaan pengatur di KPHP Meranti dipengaruhi informasi
partisipan dalam mengubah outcome. Perubahan outcome dari karakteristik biofisik
terlihat dari pola pengelolaan, yaitu: timber management menjadi forest plantation
management melalui izin HTI yang dipengaruhi informasi pasar kertas dunia, dan
timber product menjadi mining product dari informasi pasar batubara dunia. Untuk
atribut komunitas terjadi perubahan kegiatan masyarakat dan keragaman tuntutan
lahan. Perubahan outcome yang terjadi memperlihatkan keberpihakan pemerintah
pada pemilik modal karena lahan telah dikelola masyarakat. Kondisi ini
mengakibatkan terjadi tumpang tindih penggunaan dan konflik karena penolakan
masyarakat. Penolakan masyarakat terhadap izin usaha, menggambarkan kinerja
kelembagaan belum optimal.
Analisis kinerja organisasi berdasarkan serapan DIPA tahun 2015 sebesar
77,09%, namun jika dibandingkan kegiatan DIPA dengan kegiatan dalam RPHJP
2013-2024 hanya sebesar 65% yang sesuai RPHJP. Perbandingan kegiatan DIPA
dengan kondisi lapangan hanya 43,39% yang signifikan terhadap permasalahan
lapangan, sisanya bersifat business as usual. Penilaian keberlanjutan pengelolaan
kawasan hutan buruk (40,60%). Nilai keberlanjutan tertinggi adalah aspek ekonomi
sebesar 43,94% dan terendah dimensi sosial 37,78%. Pelaksanaan kegiatan yang
tidak sesuai rencana dan tidak signifikan dengan permasalahan lapangan
disebabkan motif ekonomi jangka pendek. Strategi pelembagaan desa dalam
pengelolaan hutan menjadi salah satu alternatif resolusi konflik pemanfaatan.
Pelembagaan desa dibangun dengan model aksi kolektif dan satu visi, melalui
model aksi kreatif dan kolaborasi pengelolaan hutan (creative and collaboration
action-forest management/CCA-FM). CCA-FM dirancang untuk, yaitu: a)
mengubah dominasi elit lokal, b) mengubah posisi KPHP Meranti dari management
rights menjadi agent supporting dengan memposisikan masyarakat sebagai agent
of change, dan c) mengubah konsep dominasi KPHP dan keterlibatan semua sektor.