Epidemiologi dan Keragaman Patogen Karat Puru Sengon di Indonesia.
View/Open
Date
2018Author
Lelana, Neo Endra
Wiyono, Suryo
Giyanto
Siregar, Iskandar Z
Metadata
Show full item recordAbstract
Penyakit karat puru telah menjadi penyakit yang paling penting pada sengon
selama dekade terakhir di Indonesia. Penyakit yang pertama kali dilaporkan terjadi
pada tahun 1996 di Maluku telah menyebar di seluruh Jawa sejak tahun 2006.
Patogen karat puru pada sengon pertama kali diidentifikasi sebagai Uromycladium
tepperianum, yang pada awalnya dilaporkan banyak menyerang akasia. Namun
demikian, nama baru patogen ini kemudian diusulkan sebagai U. falcatarium
karena berbeda secara genetik dengan Uromycladium pada akasia. Berbagai
penelitian penyakit karat puru pada sengon sudah dilakukan, seperti identifikasi
patogen, mekanisme infeksi, ketahanan inang dan pengendaliannya. Namun
demikian sampai saat ini permasalahan penyakit karat puru belum dapat teratasi
dengan baik. Informasi yang komprehensif berkaitan dengan sebarannya, faktorfaktor
lingkungan yang memengaruhinya baik yang berkaitan dengan iklim maupun
teknik budidayanya, dan keragaman genetik patogennya belum banyak dikaji.
Pemahaman yang baik terkait faktor-faktor tersebut diharapkan dapat menjadi dasar
pertimbangan dalam menentukan strategi pengendalian karat puru kedepannya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor iklim, tanah dan
budi daya yang memengaruhi perkembangan penyakit karat puru pada sengon;
mengidentifikasi cendawan penyebab penyakit karat puru pada sengon;
menganalisis keragamannya baik secara morfologi maupun genetik serta
menganalisis keragaman genetik tanaman sengon terkait dengan ketahanannya
terhadap penyakit karat puru dengan penanda RAPD.
Penelitian dilaksanakan dalam empat rangkaian yang dilakukan dengan
observasi dan wawancara di sentra-sentra penanaman sengon di Jawa serta analisis
laboratorium di Laboratorium Penyakit Hutan, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hutan Bogor. Rangkaian pertama penelitian ini ialah menganalisis hubungan antara
beberapa faktor lingkungan, seperti faktor iklim, tanah dan budi daya dengan
insidensi dan keparahan penyakit karat puru di Jawa. Parameter yang digunakan
untuk faktor iklim ialah suhu dan curah hujan. Parameter yang digunakan untuk
faktor tanah di antaranya nilai pH, kandungan C organik, N total, P, Ca, K, Na, Mg,
dan KTK tanah. Sementara itu untuk faktor budi daya di antaranya topografi, umur
tanaman, asal bibit, pola tanam, jarak tanam, tutupan lahan, sejarah lahan, tanaman
pencampur, pupuk kimia, pupuk organik, herbisida, fungisida kimia, dan
pemangkasan. Hasil penelitian untuk faktor iklim menunjukkan semua variabel
suhu secara signifikan berkorelasi negatif dengan insidensi dan keparahan penyakit.
Sementara untuk curah hujan, hanya 7 dari 21 variabel yang secara signifikan
berkorelasi positif. Variabel tersebut ialah curah hujan pada bulan April, Agustus,
November dan Desember untuk variabel bulanan; November sampai Januari dan
Desember sampai Februari untuk variabel tiga bulanan dan variabel tahunan. Hasil
penelitian untuk faktor tanah menunjukkan bahwa kandungan kimia tanah
bervariasi untuk setiap lokasi. Analisis multivariat pada variabel sifat tanah
menunjukkan bahwa pH, Ca, dan Mg berasosiasi dengan tingkat keparahan penyakit
karat puru. Pada faktor budi daya, hasil penelitian menunjukkan sebanyak 6 dari 13
variabel faktor budi daya menunjukkan korelasi yang signifikan terhadap insidensi
penyakit. Variabel tersebut ialah topografi, umur tanaman, penggunaan pupuk
organik dan pengendalian kimiawi, penggunaan tanaman campuran, dan
pemangkasan puru. Sementara terhadap keparahan penyakit, hanya umur tanaman,
pupuk organik, dan pengendalian kimiawi yang menunjukkan korelasi signifikan.
Rangkaian penelitian kedua ialah mengidentifikasi patogen karat puru pada
sengon dengan pendekatan molekuler. Studi terbaru yang berbasis molekuler
mengusulkan nama spesies baru untuk patogen karat puru pada sengon sebagai U.
falcatarium. Namun demikian, untuk patogen karat puru pada sengon di Indonesia,
identifikasi molekuler terhadap patogen tersebut belum pernah dilaporkan.
Identifikasi dilakukan berdasarkan data sekuen daerah internal transcribed spacer-
5.8S rDNA (ITS) cytochrome oxidase 3 (CO3) dan large subunit ribosomal DNA
(LSU). Hasil penyejajaran dengan BLAST menunjukkan fragmen ITS patogen
karat puru pada sengon mempunyai kemiripan 99% dengan U. falcatarium.
Sementara itu fragmen CO3 mempunyai kemiripan 100% dengan U. falcatarium
dan U. tepperianum dan fragmen LSU mempunyai kemiripan 99% dengan U.
falcatarium. Hasil analisis filogenetik menunjukkan bahwa patogen karat puru pada
sengon di Indonesia berkerabat dekat dengan U. falcatarium (patogen karat puru
pada sengon di Filipina dan Timor Leste).
Rangkaian penelitian ketiga ialah menganalisis keragaman patogen karat
puru. Analisis keragaman dilakukan berdasarkan data sekuen daerah ITS. Tujuh
puluh satu sekuen fragmen ITS dari isolat patogen karat puru digunakan dalam
penelitian ini. Dua single nucleotide polymorphisms (SNPs) yang terdeteksi
menghasilkan tiga haplotipe penyakit karat puru di Jawa, yaitu haplotipe A, B dan
C. Haplotipe A merupakan tipe yang paling dominan, diikuti berturut-turut oleh tipe
B dan C. Hasil AMOVA menunjukkan 98.37% variasi genetik didistribusikan
dalam populasi, sementara variasi genetik antar populasi sangat rendah, yaitu hanya
sebesar 1.63%. Analisis PCoA dan uji mantel berdasarkan jarak genetik Nei
menunjukkan bahwa jarak genetik dari patogen karat puru tidak berkorelasi dengan
jarak geografis. Hal ini menandakan bahwa penyebaran penyakit karat puru tidak
terstrukur.
Rangkaian terakhir dari penelitian ini ialah menganalisis keragaman genetik
tanaman sengon. Penelitian mengenai keragaman genetik pada sengon dengan
pendekatan RAPD sudah dilakukan, namun demikian studi keragaman yang
berhubungan dengan ketahanan sengon terhadap karat puru belum dilakukan.
Analisis RAPD dilakukan terhadap 20 pairing tanaman sengon sehat dan sakit yang
diklasifikasikan berdasarkan tingkat keparahannya di lapangan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa masing-masing primer RAPD menghasilkan jumlah pita
polimorfik yang bervariasi, yaitu antara 3–12 pita, dengan jumlah total pita
polimorfik yang dihasilkan ialah 80 pita. Namun demikian, pita polimorfik spesifik
yang dapat membedakan tanaman sengon sehat dan sakit tidak ditemukan.
Pengetahuan tentang faktor-faktor iklim, tanah dan budi daya serta keragaman
genetik patogen karat puru dan sengon yang berkaitan dengan kejadian penyakit
karat puru diharapkan dapat dijadikan dasar dalam merumuskan strategi
pengendalian karat puru yang lebih baik.
Collections
- DT - Agriculture [756]