Arah Baru Lembaga Pesantren Dalam Kehidupan Masyarakat Desa: Idealisme Versus Pragmatisme
View/ Open
Date
2017Author
Hadi, Syamsul
Soetarto, Endriatmo
Sunito, Satyawan
Pandjaitan, Nurmala Katrina
Metadata
Show full item recordAbstract
Relasi pesantren dengan negara dan masyarakat telah terpola sedemikian rupa dalam tarik-menarik kepentingan. Penelitian ini bertujuan menganalisis posisi pesantren dan kekuatan-kekuatan yang dimiliki sebagai strategi keberlanjutan yang membuat lembaga pendidikan keagamaan (Islam) ini mampu mempertahankan identitasnya di samping dapat memenuhi kepentingan negara dan preferensi masyarakat. Selanjutnya menganalisis kiat pesantren dalam menjaga relevansi sosial dan ideologis di lingkungan masyarakat pedesaan yang terus berkembang secara dinamis. Penelitian ini dilaksanakan di lembaga pesantren Manbail Futuh di Desa Beji Kecamatan Jenu Kabupaten Tuban, Jawa Timur, yang berlangsung sejak Maret 2015 sampai April 2016. Penelitian menggunakan paradigma kritis, pendekatan kualitatif serta strategi studi kasus. Data yang terkumpul berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari para informan sebagai subyek penelitian, baik informan dari kalangan pesantren, masyarakat lokal, pejabat pemerintah dan ormas Islam. Pengumpulan data primer melalui teknik: wawancara mendalam, observasi lapangan dan studi dokumen. Sebanyak 34 informan memberikan informasi, terdiri dari; pengasuh utama pesantren, Kepala Madrasah/Sekolah, ustadz-ustadzah/guru, badal (asisten kiai), santri dan pengurus pondok, akademisi, aparat pemerintah terkait, sesepuh desa/ tokoh masyarakat, alumni dan masyarakat sekitar pesantren. Adapun pemilihan informan ditentukan secara accidental dan snowballing. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh melalui studi dokumen berupa laporan hasil-hasil laporan sebelumnya, UU, PP, Kepres, Kepmen, Permen, Perda, monografi desa, dan lain-lain. Analisis data dilakukan melalui deskriptif-kualitatif, dan berlangsung kontinu sejak peneliti mulai merumuskan masalah penelitian, selama bekerja di lapangan hingga penulisan hasil penelitian. Kredibelitas data diuji melalui metode trianggulasi, yaitu mengecek kredibelitas data dari berbagai sumber dengan bermacam cara dan berbagai waktu. Dengan demikian terdapat trianggulasi sumber, trianggulasi teknik pengumpulan data, dan trianggulasi waktu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam posisinya menghadapi tarik-menarik kepentingan antara tuntutan pendidikan ala negara (sistem pendidikan nasional) dan mempertahankan pendidikan salafiyah (sebagai identitas pesantren) serta preferensi masyarakat terhadap pendidikan formal, maka pesantren kasus (Manbail Futuh Beji) menempuh jalan kompromi. Yakni memadukan pendidikan tradisional-salafiyah dengan pendidikan universal ala negara. Jalan kompromi tersebut dalam bentuk akulturasi kurikulum dan diversifikasi pendidikan pesantren, yang dapat dimaknai sebagai strategi keberlanjutan lembaga pesantren di lingkungan masyarakat pedesaan. Sedangkan untuk mendukung operasionalisasi penyelenggaraan unit-unit pendidikan formal-modern berbasis pesantren, upaya yang dilakukan adalah melakukan komodifikasi pendidikan. Menurut Ritzer dan Goodman (2011), komodifikasi merupakan bagian dari struktur ekonomi dan sosial yang bertujuan membuat masyarakat konsumen (baca: kaum santri) memperoleh aneka macam
komoditas. Seperti halnya instrumen untuk menarik keuntungan material atau
hanya sekedar berfungsi menjadi bagian “alat-alat konsumsi yang diperlukan”
(necesserary means of consumption). Adanya respon positif masyarakat terhadap
tradisi baru yang diinisiasi pesantren hal itu membuktikan bahwa adanya agensi
dari pesantren kasus sehingga mampu mentransformasikan kekangan struktur
(instrumentasi negara dan preferensi masyarakat) yang tadinya bersifat constraint
menjadi memampukan (enabling), demikian menurut tinjauan teori strukturasi
Anthony Giddens (1984).
Selain mengadakan tradisi baru yang dapat diterima masyarakat pengguna,
hasil penelitian juga menunjukkan eksistensi dan keberlanjutan lembaga pesantren
ditopang oleh kekuatan-kekuatan, yang antara lain: (a) pengaruh kewibawaan dan
kapasitas keilmuan kiai sepuh dalam kepemimpinan pesantren dan umat, (b)
pelembagaan kitab-kitab kuning dan pelestarian tradisi pesantren di lingkungan
masyarakat pedesaan, (c) faktor kekuatan yang lebih bersifat alamiah yang berupa
pranata keluarga, yaitu semangat uri-uri tinggalane wong tuwo (spirit untuk selalu
merawat dan melestarikan warisan tradisi nenek moyang) atau merupakan etika
membangun yang dilandasi nilai-nilai spiritual (agama), (d) dukungan keluarga
besar (ahlul bait) dan para alumni pesantren baik yang berupa pemberian donasi
maupun peran mereka sebagai pendulang calon peserta didik; (e) masih tingginya
kepercayaan (trust) masyarakat sekitar; dan (f) menerapkan manajemen
pendidikan modern.
Baik dalam rangka memenuhi relevansi sosial maupun ideologis, lembaga
pesantren selain berkepentingan dengan upaya pelestarian tradisi-tradisi keislaman
sebagai pengejawantahan konstitusi Islam dan pelembagaan pengajaran kitab
kuning juga perlu mengadakan tradisi baru seperti yang disebutkan di muka.
Praktik-praktik sosial tersebut dilakukan pesantren kasus, sebab apabila ia dinilai
masyarakat pengguna tidak mampu lagi melayani kebutuhan mereka maka dengan
sendirinya akan kehilangan posisinya dalam sistem sosial yang ada, dan pada
akhirnya akan punah. Kecuali ia mampu menyesuaikan diri dengan dinamika
masyarakat. Secara umum, pendirian lembaga pendidikan pesantren tidak terlepas
dengan kebutuhan masyarakat akan pendidikan agama (Islam) supaya putra-putri
mereka menjadi manusia yang berakhlak mulia dan memilki jati diri sebagai
orang beriman.
Tetapi, pada saat pesantren kasus berada fase arah baru (baca: arah transisi),
ia dihadapkan dengan tantangan dan problematika yang cukup pelik. Pertama,
secara ideologis, komodifikasi pendidikan pesantren memiliki korelasi perubahan
pada tataran paradigmatik para aktor yang selama ini terlibat di dalamnya. Mereka
tidak hanya menganggap lembaga pesantren sebatas sarana pengabdian kepada
agama dan umat, melainkan bisa menjadi tempat mencari ma’isyah (pendapatan
keluarga) bagi mereka yang merasa telah bekerja secara profesional.
Kedua, instrumentasi (regulasi-regulasi dan kebijakan politik) negara yang
tidak mempertimbangkan kondisi obyektif dan kekhasan dari pada lembaga
pesantren jelas berdampak pada penyeragaman, sebab telah terbukti menggerus
keunikan-keunikan yang ada. Padahal, ragam keunikan yang dimiliki pendidikan
tradisional tersebut merupakan khazanah intelektual bangsa Indonesia yang tidak
ternilai harganya.
Collections
- DT - Human Ecology [567]