Analisis Hubungan Negara dan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan (Studi Kasus Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau).
View/ Open
Date
2017Author
Budiono, Rahmat
Nugroho, Bramasto
Hardjanto
Nurrochmat, Dodik Ridho
Metadata
Show full item recordAbstract
Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata
bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial
budaya maupun ekonomi. Namun demikian peran sektor kehutanan yang
demikian penting bagi pembangunan nasional ternyata selama dua dasawarsa
terakhir masih meninggalkan berbagai masalah kehutanan terutama hilangnya
manfaat hutan bagi masyarakat sekitar hutan akibat operasional industri
kehutanan, sehingga hutan sejak dulu selalu menjadi arena pertarungan antara
negara dan masyarakat. Setelah sekian lama diabaikan dalam pembangunan
kehutanan maka tumbuhnya kesadaran mengenai haknya terhadap hutan telah
membangkitkan semangat masyarakat Desa Segamai dan Desa Serapung untuk
berjuang merebut hutan tersisa di Semenanjung Kampar. Perjuangan ini
merupakan manifestasi kontra hegemoni oleh masyarakat terhadap hegemoni
negara atas sumber daya hutan yang dalam praktiknya memberikan penguasaan
hutan yang begitu besar kepada industri kehutanan.
Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan mengungkap lebih dalam
memahami dinamika hegemoni negara atas hutan, munculnya kontra hegemoni
masyarakat yang kehilangan aksesnya terhadap hutan untuk merebut kembali
hutan yang tersisa dan relasi kekuasaan yang terbentuk dari perjalanan kontestasi
hegemoni penguasaan hutan di Riau. .
Kerangka pikir penelitian ini berlandaskan konsep utama Hegemoni dari
Antonio Gramsci, Diskursus Hegemoni dari Laclau & Mouffe, Konsep Aparatus
Negara dari Loius Althusser serta konsep Actor Centred Power dari Max Krott.
Adapun konsep “Shifting Contestation into Cooperation” digunakan untuk
memastikan adanya perubahan bentuk hubungan kontestasi antar aktor kepada
hubungan kerjasama dalam pengelolaan sumber daya hutan saat terdapat
kompatibilitas unsur kepentingan dan pengaruh antar aktor. Penelitian ini bersifat
kualitatif verifikatif. Tahapan yang ditempuh meliputi tahapan pengumpulan
data, serta penyajian hasil dengan menggunakan data pustaka melalui metode
kepustakaan (library research) dan penelitian ini juga bersifat grounded yaitu
dengan pengamatan (observation) dan wawancara mendalam (indepth interview)
kepada informan. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Segamai dan Desa
Serapung Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau. Pengambilan data di mulai sejak
Bulan November 2015 hingga April 2016. Analisis data dalam penelitian ini
mengikuti logika induktif untuk membangun struktur makna dari pengalaman.
Hasil kajian menunjukan domain atas hutan merupakan wujud hegemonisasi
yang dilakukan negara untuk menguasai hutan. Ideologi domeinverklaring
menjadi ideologi dominan yang hegemonik sejak tahun 1870. Dinamika hegemoni
penguasaan hutan oleh negara lebih dilindungai oleh baju koersif dan aliansi
antara negara kolonial dengan penguasa lokal sehingga rakyat secara terpaksa
mengakui dan tunduk pada kekuasaan negara. Ideologi domeinverklaring masa
kolonialisme diperkenalkan dan dipertahankan oleh Intelektual Organik Penguasa
kolonial untuk menguasai lahan dan hutan di Indonesia, sehingga pembentukan
v
hukum nasional diawal kemerdekaan dipengaruhi oleh Intelektual Organik
Indonesia yang mewarisi ideologi domeinverklaring. Hegemoni atas hutan oleh
negara menyebabkan hak-hak penduduk desa atas hutan dibatasi dan semakin
terhapus hingga saat ini.
Masyarakat Desa Segamai dan Desa Serapung harus melakukan gerakan
sosial untuk merebut hutan tersisa di Semenanjung Kampar. Perjuangan
mendapatkan hutan tersisa di Semenanjung Kampar membutuhkan kerja politik
dan kesabaran yang luar biasa karena minimnya kepercayaan negara terhadap
masyarakat dan harus dihadapkankan pada persaingan perebutan hutan tersisa
oleh investasi Restorasi Ekosistem. Gerakan sosial merebut hutan tersisa di Desa
Segamai dan Desa Serapung dalam konsep Gramscian merupakan manifestasi
kontra atau perlawanan terhadap hegemoni negara atas penguasaan hutan yang
lebih berpihak kepada industri kehutanan. Namun dengan memilih program
perhutanan sosial, kemenangan masyarakat dengan diterbitkannya Hak
Pengelolaan Hutan Desa sebagai Hutan Desa Pertama di Provinsi Riau
sesungguhnya secara teoritis, justru memperkuat hegemoni negara (reinforcing
hegemony) atas kawasan hutan.
Melalui penerapan Teori Actor Centred Power dapat dipahami aktor terkuat
yang menghambat keberhasilan masyarakat dalam mendapatkan Hak Pengelolaan
Hutan Desa adalah Gubernur Riau, sementara masyarakat desa hutan tanpa
pendampingan dan pemberdayaan dari lembaga swadaya masyarakat menjadi
aktor yang paling lemah. Namun masyarakat desa memiliki potensi menjadi
“Potante” saat kepentingan kolektifnya mulai diabaikan oleh pemerintah menjadi
kekuatan aktor yang mampu mempengaruhi kebijakan Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan.
Konsep “shifting contestation into cooperation” atau menggeser kontestasi
menjadi kerja sama telah nampak dalam hasil akhir dari sebuah perjuangan
panjang masyarakat Desa Segamai dan Desa Serapung. Perbedaan kepentingan
dan pengaruh antar aktor akan menimbulkan persaingan atau kontestasi antar
aktor. Sehingga kebijakan yang diambil harus mampu menciptakan dan
mendorong adanya kerjasama antar aktor. Paradigma rimbawan ditingkat tapak
harus berubah dan harus mau merangkul dan memperhatikan kebutuhan
masyarakat desa hutan menuju kompatibiltas kepentingan dan pengaruh sehingga
mampu menyingkirkan kontestasi kepada kerjama antara aktor yang terlibat.
Kritik terhadap Teori Hegemoni Gramsci adalah sesungguhnya teori ini tidak
kompatibel digunakan dalam kasus perebutan kawasan hutan dengan mengambil
latar belakang suasana pergerakan masyarakat Desa Segamai dan Desa Serapung.
Antagonisme memang terjadi namun hal tersebut sesungguhnya manifestasi untuk
mencari perhatian serta menunjukkan eksistensinya sebagai masyarakat yang
ditinggal dalam pembangunan kehutanan. Konsep hegemoni dan kontra hegemoni
yang dikonsepkan oleh Gramsci pada praktiknya belum melihat adanya potensi
kemauan para pihak menurunkan bentuk agitasi atau kontestasi ke dalam bentuk
hubungan kerja sama. Hubungan kerja sama akan terjadi jika terdapat
kompatibilitas antar aktor untuk saling mendekatkan kepentingannya tanpa harus
menciptakan hegemoni tandingan.
Collections
- DT - Forestry [347]