Kelembagaan Adat Dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan (Studi Kasus Pada Masyarakat Adat Kerinci)
View/ Open
Date
2016Author
Oktoyoki, Hefri
Suharjito, Didik
Saharuddin
Metadata
Show full item recordAbstract
Penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan perbedaaan argumen tentang
relasi kelembagaan adat dan kelestarian hutan. Oleh karena itu, penelitian tentang
kelembagaan adat dalam pengelolaan hutan masih penting untuk dilakukan karena
setiap daerah memiliki corak tersendiri. Penelitian ini bertujuan untuk memahami
kelembagaan adat dalam pengelolaan hutan, menjelaskan efektifitas pengelolaan
hutan pada masyarakat Kerinci.
Penelitian ini utamanya mengacu pada teori Uphoff (1986) tentang
kelembagaan. Uphoff (1986) mendefinisikan kelembagaan sebagai sesuatu yang
kompleks dari norma dan tata kelakuan yang relatif bertahan lama dengan maksud
untuk memberikan pelayanan bagi tujuan kolektif yang akan menjadi nilai
bersama. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan bulan
Nopember 2015 dengan menggunakan metode studi kasus yang didukung dengan
metode survey. Dipilih dua kasus yaitu pada masyarakat adat Sungai Deras dan
Masyarakat adat Lekuk 50 Tumbi. Pengumpulan data dilakukan dengan
wawancara, pengamatan terlibat, dan pengukuran tegakan hutan. Wawancara semi
terstruktur dilakukan terhadap informan kunci dengan metode snowball.
Wawancara terstruktur dilakukan pada informan yang dipilih secara acak. Data
dianalisis menggunakan konsep kelembagaan dan performansi hutan menurut
Indarawan dan Soerianegara (1986).
Dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya hutannya, baik
masyarakat Sungai Deras maupun Lekuk 50 Tumbi terikat kuat oleh nilai-nilai,
norma dan aturan adat yang diwariskan secara turun temurun. Terdapat pula
keyakinan bahwa jika mereka merusak hutan maka akan terkena bela (kutukan)
dari nenek moyang mereka. Terdapat norma dalam masyarakat bahwa hutan
merupakan milik nenek moyang mereka sehingga harus dijaga dan dimanfaatkan
dengan baik agar bisa diwariskan kepada anak cucu mereka.
Manfaat dari sumberdaya hutan sangat dirasakan masyarakat yaitu sebagai
daerah tangkapan air sehingga keberadaan hutan menjamin ketersediaan air bagi
sawah mereka. Dalam pengelolaan hutannya masyarakat Sungai Deras maupun
Lekuk 50 Tumbi mengkategorisasi hutan menjadi tiga kategori (1) Hutan yang
berfungsi lindung, yaitu Bukit Tinggai pada masyarakat Sungai Deras dan Imbo
adat pada Lekuk 50 Tumbi. Hutan tersebut difungsikan sebagai hutan yang
dilindungi karena diyakini menjadi daerah tangkapan air. (2) Fungsi produksi
terbatas yaitu Bukit kemunaing (Sungai Deras) dan hutan Imbo dusen pada
masyarakat Lekuk 50 Tumbi. Hutan tersebut berfungsi produksi terbatas untuk
pengambilan kayu saja. (3) Fungsi budidaya yaitu Bukit kemenyan (Sungai
Deras) dan hutan Imbo peladangan pada masyarakat Lekuk 50 Tumbi. Hutan
tersebut difungsikan menjadi lahan untuk budidaya, sebagai pemenuhan
kebutuhan hidup masyarakat.
Pengelolaan sumber daya hutan di kedua kasus diatur secara komunal oleh
lembaga adat masing-masing. Di dalam aturan tersebut terdapat hak penguasaan,
pemanfaatan dan sanksi. Pemegang hak utama adalah Lembaga adat yang
bertugas mengatur dan mengawasi pemanfaatan sumber daya hutan. Pelanggaran
terhadap aturan adat akan dikenakan sanksi berupa teguran, denda ataupun
dikucilkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Nilai dan keyakinan yang kuat serta norma dan aturan mampu
mengendalikan tindakan dan perilaku masyarakat dalam mengelola sumber daya
hutan dan berimplikasi baik terhadap performa hutan. Performa hutan ini
ditunjukkan dengan tingginya kerapatan, jumlah jenis, keanekaragaman dan
volume pohon.
Kelembagaan adat yang masih dipercaya dan dipatuhi masyarakat efektif
menunjang pengelolaan sumber daya hutan yang baik. Ini diperlihatkan dengan
tingkat efektifitas kelembagaan (kepercayaan, pemahaman) yang tinggi, dan
tingkat pelanggaran yang rendah sehingga berimplikasi baik terhadap performansi
hutan.
Collections
- MT - Forestry [1376]