Analisis Ekonomi Politik Swasembada Beras di Indonesia
View/Open
Date
2017Author
Nuryanti, Sri
Hakim, Dedi Budiman
Siregar, Hermanto
Sawit, Husein M
Metadata
Show full item recordAbstract
Kebijakan swasembada beras secara teoritis tidak efisien, namun
swasembada beras menjadi agenda dan tujuan penting pembangunan pertanian
sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia karena peran beras yang
demikian strategis bagi perekonomian Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah
bermaksud mencapai empat target utama swasembada berkelanjutan, yaitu
peningkatan produksi beras, harga dan cadangan beras pemerintah yang stabil,
dan tanpa ada impor, sehingga kesejahteraan produsen dan konsumen beras dapat
ditingkatkan. Guna mencapai keempat kondisi tersebut pemerintah melakukan
intervensi pasar melalui empat instrumen kebijakan, yaitu kebijakan produksi,
kebijakan harga, kebijakan distrbusi, dan kebijakan impor. Pemerintah juga
mengalokasikan anggaran yang besar untuk implementasi keempat kebijakan
perberasan tersebut dan jumlahnya cenderung meningkat. Subsidi diberikan dari
tingkat usahatani, pascapanen, hingga pemasaran.
Selain kebijakan produksi, intervensi kebijakan perberasan (harga,
distribusi, impor) dalam pelaksanaannya dimandatkan kepada sebuah organisasi
parastatal di Indonesia, yaitu Badan Urusan Logistik (Bulog). Banyak penelitian
menyatakan bahwa keterlibatan organisasi parastatal dapat menimbulkan distorsi
pasar akibat aktivitas perburuan rente, sehingga menimbulkan biaya sosial yang
tinggi. Keputusan pemerintah mencapai swasembada dengan melibatkan Bulog
tidak berdasarkan latar belakang ekonomi saja, melainkan latar belakang politik.
Penelitian tentang swasembada dan keberadaan organisasi parastatal telah banyak
dilakukan peneliti dan akademisi dari aspek ekonomi murni atau politik saja.
Namun belum ada penelitian dari aspek ekonomi politik tentang swasembada
yang sekaligus mengulas keterlibatan lembaga Bulog beserta instrumen kebijakan
yang menjadi wewenangnya dalam mengintervensi pasar beras.
Selama periode analisis, alokasi dana swasembada cenderung meningkat,
namun swasembada berkelanjutan belum tercapai, tingkat swasembada justru
berfluktuasi, sehingga timbul pertanyaan (1) bagaimana preferensi politik
pemerintah terhadap Bulog, sehingga dilibatkan dalam mengintervensi pasar beras
menuju swasembada? (2) apa yang terjadi di dalam pasar beras Indonesia,
sehingga alokasi dana yang demikian besar pun belum mampu membawa
Indonesia kepada swasembada beras berkelanjutan? (3) apakah ada kaitannya
preferensi politik pemerintah terhadap kelompok kepentingan, kinerja pasar beras
domestik, dan tingkat swasembada? Oleh karena itu dilakukan penelitian dengan
judul “Analisis Ekonomi Politik Swasembada Beras di Indonesia” yang bertujuan
untuk (1) mengestimasi preferensi politik pemerintah terhadap Bulog dan
kelompok kepentingan lain di dalam pasar beras di Indonesia, (2) menganalisis
efektivitas intervensi pasar beras yang dilaksanakan Bulog dengan mengestimasi
besaran rente ekonomi yang timbul terkait implementasi kebijakan harga,
distribusi, dan impor yang dimandatkan kepada Bulog, dan (3) menganalisis
hubungan antara preferensi politik pemerintah terhadap kelompok kepentingan,
besaran rente ekonomi yang timbul, dan tingkat swasembada beras yang dicapai.
Model fungsi preferensial politik digunakan untuk menjawab tujuan-tujuan
tersebut.
Data tahunan 2001-2014 yang meliputi variabel harga, potensi ekonomi
perberasan, perdagangan, kinerja Bulog, dan indikator ekonomi makro pada
tingkat nasional dikumpulkan dari sumber terkait untuk dianalisis menggunakan
model fungsi permintaan dan relasi penawaran oligopolistik dinamik. Nilai
elastisitas permintaan dan penawaran serta hasil perhitungan parameter kuantitatif
dari kebijakan harga dan impor digunakan untuk mengestimasi preferensi politik
pemerintah terhadap kelompok kepentingan dalam pasar beras yang meliputi
produsen, konsumen, dan pemerintah yang diwakili oleh Bulog yang ditunjukkan
oleh besaran bobot politik. Rente ekonomi yang timbul terkait dengan kebijakan
harga dan impor yang diimplementasikan Bulog dihitung untuk mengestimasi
biaya sosial pencapaian swasembada. Besaran bobot politik dan rente ekonomi
yang timbul diestimasi menggunakan model ekonometrik politik untuk
menganalisis pengaruhnya terhadap tingkat swasembada.
Berdasarkan hasil analisis disimpulkan bahwa preferensi politik pemerintah
yang diukur dari kebijakan harga, distribusi, dan impor bias kepada kelompok
kepentingan pemerintah. Hal ini ditunjukkan oleh besaran bobot politik Bulog
yang paling tinggi, diikuti oleh kelompok kepentingan produsen, dan kelompok
konsumen sebagai kelompok yang menerima preferensi politik terendah.
Intervensi pasar beras yang dilakukan Bulog telah menimbulkan distorsi pasar
yang ditunjukkan oleh timbulnya rente ekonomi, kesejahteraan sosial yang hilang,
sehingga pencapaian swasembada memerlukan biaya sosial yang tinggi. Hal ini
membuktikan bahwa kebijakan swasembada tidak efisien dan berbiaya tinggi
karena biaya sosial yang timbul. Semakin besar bobot politik kelompok
kepentingan pemerintah dan produsen, maka tingkat swasembada yang tercapai
semakin tinggi. Semakin besar bobot politik kelompok kepentingan konsumen,
maka biaya sosial swasembada semakin besar dan tingkat swasembada yang
tercapai semakin rendah. Swasembada berkelanjutan dapat dicapai dengan
partisipasi aktif kelompok kepentingan pemerintah dan produsen, sehingga biaya
sosial akibat peran aktif kelompok konsumen dapat diminimalkan.
Implikasi kebijakan dari penelitian ini adalah kebijakan perberasan ke depan
harus lebih memihak kelompok produsen karena kelompok tersebut sangat
sensitif terhadap perubahan harga yang dicerminkan oleh nilai elastisitas
penawaran. Harga merupakan satu-satunya faktor yang menentukan keputusan
petani menanam padi. Sebaliknya, kelompok konsumen tidak sensitif terhadap
perubahan harga karena beras merupakan makanan pokok dan bahkan menjadi
barang normal. Peran pemerintah melalui Bulog masih diperlukan dan perlu
direposisi untuk meminimalisasi distorsi pasar akibat aktivitas perburuan rente
oleh pemburu rente selain Bulog. Sementara itu, pedagang swasta hendaknya
dilibatkan dalam aktivitas pengadaan melalui mekanisme kemitraan plasma dan
inti. Penelitian ekonomi politik tentang swasembada secara spasial menurut
wilayah surplus dan defisit beras perlu dilakukan untuk mengetahui wilayah
sumber rente ekonomi yang umumnya terjadi di daerah konsumsi/defisit beras.