Model Komunikasi untuk Membangun Kesiapan Perubahan Pedagang Pasar di Kota Bogor.
View/ Open
Date
2017Author
Aruman, Akhmad Edhy
Sumardjo
Pandjaitan, Nurmala Katrina
Sadono, Dwi
Metadata
Show full item recordAbstract
Pasar tradisional yang memiliki peran strategis tersaingi oleh kehadiran
pasar modern yang semakin menjamur di kota-kota besar dan kota-kota kabupaten.
Ada kekhawatiran bahwa bila dinamika ini tidak ditangani secara serius pasar
tradsional kalah bersaing. Karena itulah pada tahun 2007 Pemerintah Indonesia
mengeluarkan kebijakan untuk meningkatkan kembali (revitalisasi) peran pasar
tradisional. Ini ditunjukkan dengan adanya Peraturan Presiden nomor 112 tahun
2007 tentang Pengaturan dan Pengembangan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan,
dan Toko Modern, yang bertujuan melindungi pasar tradisional.
Peraturan Presiden nomor 112 menyatakan bahwa pasar tradisional adalah
pasar yang dibangun oleh pemerintah, swasta, koperasi atau swadaya masyarakat
dengan tempat usaha berupa toko, kios, los dan tenda yang dimiliki atau dikelola
oleh pedagang kecil dan menengah atau koperasi dengan usaha skala kecil dan
modal kecil dengan proses jual beli melalui tawar menawar. Pada tahun 2016, di
seluruh Indonesia terdapat 13.450 pasar tradisional yang menampung 12.6 juta
pedagang. Dalam Visi, Misi dan Program Aksi Presiden Joko Widodo dan Wakil
Presiden Jusuf Kalla, disebutkan kebijakan renovasi dan revitalisasi terhadap 5000
pasar tradisional yang berumur lebih dari 25 tahun.
Pada kenyataannya, sebagian besar pasar yang dibangun melalui program
revitalisasi belum sepenuhnya berfungsi optimal. Melihat realitas tersebut, dalam
beberapa kasus revitalisasi, pedagang memprotes revitalisasi pasar. Hal tersebut
juga terjadi ketika rencana revitalisasi beberapa pasar di kota Bogor.
Kecenderungan sosiologis pedagang pasar tradisional adalah menempatkan
kecurigaan berlebihan (over curiousity) terhadap segala bentuk pembangunan.
Mereka sering menyalahartikan dengan menganggap pembangunan dan penataan
identik dengan penggusuran akibat ketidakmampuan membayar kios pasca
penataan. Prasangka yang berkembang, setiap ada pembangunan berarti sewa atau
pembelian kios menjadi barang mahal. Itu dipandang merugikan pedagang yang
telah menempati kios sebelumnya. Fenomena ini memunculkan pertanyaan tentang
pendekatan komunikasi yang dilakukan. Penelitian ini berawal dari dugaan bahwa
komunikasi yang dilakukan selama rencana revitalisasi cenderung satu arah.
Padahal dalam kegiatan perubahan dibutuhkan keterlibatan semua stakeholders.
Penelitian bertujuan untuk (1) menganalisis proses komunikasi yang
berlangsung selama perubahan di pasar Kota Bogor, (2) menganalisis pengaruhpengaruh
dari faktor karakteristik pedagang, komunikasi, dan dukungan lingkungan
terhadap kesiapan pedagang untuk berubah dan hal-hal yang dapat menimbulkan
kecenderungan untuk menolak perubahan, (3) merumuskan model yang tepat untuk
meningkatkan kesiapan perubahan pada perusahaan pasar dan pedagang pasar di
Kota Bogor. Penelitian lapang berlangsung Februari – September 2016 dengan
responden sebanyak 559 pedagang pasar yang tersebar di empat pasar, yakni Pasar
Bogor, Pasar Gunung Batu, Pasar Blok B Kebon Kembang dan Pasar Blok F Kebon
Kembang Bogor. Penentuan pasar dilakukan dengan kriteria pasar yang
direncanakan direvitalisasi (Pasar Bogor dan Pasar Blok F Kebon Kembang) dan
sudah direvitalisasi (Pasar Gunung Batu dan Pasar Blok B). Penentuan responden
dilakukan secara acak berjenjang (stratified random sampling). Pengolahan data
menggunakan analisis kuantitatif yang dilengkapi dengan data kualitatif. Penjelasan
karakteristik pedagang dianalisis secara deskriptif. Uji korelasi Rank Spearman
digunakan untuk menganalisis hubungan antar peubah, sedangkan analisis
Structural Equation Modelling (SEM) digunakan untuk menganalisis faktor
dominan yang memengaruhi kesiapan pedagang untuk berubah.
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa penyebarluasan informasi mengenai
rencana revitalisasi pasar dilakukan melalui selebaran, spanduk, papan
pengumuman di pasar dan dialog. Penggunaan media selebaran, papan
pengumuman dan spanduk menunjukkan bahwa komunikasi dilakukan dengan
model satu arah. Dialog dilakukan tiga kali dalam satu tahun namun tidak
berlangsung secara memuaskan sehingga berakibat masih lemahnya kesiapan
pedagang menghadapi revitalisasi pasar. Hasil analisis lainnya menunjukkan bahwa
lemahnya kesiapan pedagang tersebut dapat dilihat dari optimisme pedagang pasar.
Dalam hal ini, pedagang tidak yakin bahwa revitalisasi pasar perlu dilakukan,
pengunjung pasar bertambah, memberi peluang yang lebih baik, dan pedagang
memiliki persepsi bahwa pengelola pasar lebih mengutamakan kepentingan sendiri.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa gambaran seluruh unsur komunikasi
mulai dari karakteristik pedagang, sumber pesan, pesan, dan komunikasi partisipatif
memberikan dampak positif terhadap kesiapan pedagang terkait dengan revitalisasi
pada kondisi kapasitas kewirausahaan pedagang rendah. Karenanya, untuk
membangun kesiapan pedagang, hal utama yang perlu dilakukan adalah
membangun kapasitas kewirausahaan pedagang. Kekurangberhasilan membangun
kapasitas kewirausahaan berdampak pada ketidaksiapan pedagang untuk berubah.
Model komunikasi yang dinilai tepat adalah melibatkan pengelola pasar sebagai
sumber pesan yang kredibel, dengan muatan pesan tentang manfaat dan risiko
revitalisasi ternyata efektif bila melalui pengembangan motivasi pedagang untuk
berubah, dan media yang memungkinkan terjadinya tanggapan langsung dari
pelaku komunikasi.
Atas dasar itu disusun strategi yang terdiri atas strategi perubahan dan
strategi komunikasi. Strategi perubahan dibuat dengan menekankan pentingnya
penguatan kapasitas pengelola pasar terutama dalam hal berkomunikasi. Hal kedua
adalah penguatan kapasitas kewirausahaan pedagang. Strategi komunikasi
menekankan pada pengembangan pesan-pesan perubahan, terutama dalam hal
penekanan pada pesan pentingnya revitalisasi, motivasi dan risiko.
Collections
- DT - Human Ecology [567]