dc.description.abstract | Salah satu bentuk pengelolaan kawasan konservasi yang didorong oleh
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk meningkatkan peran serta
masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi yaitu pengembangan Model
Desa Konservasi (MDK), Program ini bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan konservasi melalui
berbagai program pemberdayaan kelompok masyarakat. Secara konseptual model
desa konservasi merupakan desa yang dijadikan model dalam upaya
memberdayakan masyarakat di dalam dan sekitar hutan konservasi dengan
memperhatikan aspek sosial, ekonomi, budaya, serta aspek lainnya dan akan
menjadi contoh dalam pemberdayaan di tempat lain (PERMENHUT No 29 Tahun
2013).
Program MDK pada tahap awal dilaksanakan selama periode 2005 sampai
dengan 2009. Pada awal tahun 2005, masing-masing unit pelaksana teknis Ditjen
PHKA diberikan mandat untuk membangun sebanyak 2 Unit MDK. Hingga tahun
2009 tercatat sebanyak 133 MDK telah dibangun di seluruh UPT Ditjen PHKA
termasuk di wilayah Taman Nasional Gunung Rinjani (Direktorat PJLWA
KEMENHUT 2009).
Bentuk intervensi yang dilakukan Balai Taman Nasional Gunung Rinjani
(BTNGR) dalam kerangka pelaksanaan MDK yaitu dengan memberikan sejumlah
bantuan kepada kelompok masyarakat, dengan tujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui gerakan pemberdayaan, sehingga dapat
mengurangi konflik dan tindakan pelanggaran kehutanan di kawasan taman
nasional tersebut. Namun demikian, sampai saat ini program MDK yang
dijalankan oleh BTNGR belum berjalan optimal. Berdasarkan hasil wawancara
dengan masyarakat setempat dan laporan pelaksanaan evaluasi MDK tahun 2012
di TNGR menunjukkan bahwa saat ini kondisi pelaksanaan MDK sudah tidak lagi
berjalan efektif. Beberapa bantuan peralatan yang diberikan sebagai bentuk upaya
pemberdayaan saat ini sudah tidak lagi dapat digunakan karena mengalami
kerusakan, dan kelembagaan yang ditunjuk untuk mengawal pelaksanaan MDK
juga sudah tidak lagi berfungsi.
Secara konseptual, kelembagaan merupakan mekanisme, aturan main,
norma, larangan, dan aturan yang mengatur dan mengontrol perilaku individu di
masyarakat atau organisasi (Schmid 1987; North 1990; Kasper & Streit 1998;
Mackay 1998; Ostrom 2005). Kelembagaan dibangun untuk mengurangi
ketidakpastian terhadap kontrol atas sumberdaya dan untuk menekan perilaku
oportunistik dan membahayakan sehingga perilaku manusia dalam
memaksimalkan kesejahteraannya lebih dapat diprediksi (Kasper dan Streit 1998).
Namun demikian, masalah kritis dalam merancang sebuah kelembagaan, termasuk
kelembagaan pengelolaan hutan, adalah isu keberlanjutan kelembagaan
(Adiwibowo et al. 2013). Rancangan kelembagaan seringkali tidak menjadi aturan
yang dijalankan oleh para pihak dalam berinteraksi. Penelitian ini bertujuan untuk
v
menelaah dan mengevaluasi MDK di TNGR dari perspektif kelembagaan (situasi,
struktur dan kinerja) serta peran pemangku kepentingan dalam pelaksanaan MDK
di TNGR, dan merumuskan strategi kelembagaan MDK yang berkelanjutan dan
adaptif dengan kehidupan masyarakat.
Dalam penelitian ini dikembangkan kerangka kerja yang berlandaskan pada
teori dampak institusi yang diadopsi dari Schmid (1987;2004) dengan mengacu
pada tiga komponen utama yaitu situasi, struktur dan kinerja kelembagaan. Situasi
sebagai sumber interdependensi masyarakat terhadap sumberdaya TNGR
dianalisis menggunakan analisis preferensi (Sheil & Liswanti 2006) dan
karakteristik masyarakat yang meliputi sejarah, hak dan penghidupan masyarakat
(Mahmud et al 2015). Analisis struktur kelembagaan meliputi aturan formal yang
digunakan dan pilihan tindakan masyarakat di TNGR dengan menggunakan
teori multiple levels of rule making (Ostrom 1990; Hess & Ostrom 2007). Kinerja
pelaksanaan MDK di TNGR dianalisis menggunakan prinsip kelembagaan yang
bertahan lama (Ostrom 1990).
Hasil penelitian mendeskripsikan bahwa secara spesifik masyarakat yang
menjadi sasaran program MDK telah lama menempati wilayah yang saat ini
diklaim sebagai TNGR, di sisi lain perbedaan intervensi program dengan
karakteristik masyarakat mempertegas adanya situasi inkompatibilitas pengelolaan
MDK di TNGR. Pengaturan pada level konstitusional tidak menjamin efektifitas
pelaksanaan program di lapangan, jika struktur yang dibangun tidak sesuai dengan
karakteristik setempat dan tidak berjalan simultan pada semua level pengaturan
(konstitusional, kolektif maupun operasional). Hal tersebut berimplikasi pada
tidak optimalnya kinerja pelaksanaan prorgram MDK di TNGR.
Gagalnya pengembangan MDK di TNGR juga tidak lepas dari lemahnya
peran para pihak dalam pelaksanaan program tersebut, selama ini pihak TNGR
bertindak sebagai figur sentral dalam pelaksanaan MDK, ruang-ruang kolaborasi
yang semestinya tersedia tidak termanfaatkan dengan baik melalui proses
komunikasi dan koordinasi yang intensif. Selama ini proses kolaborasi yang
dibangun cenderung bersifat eksklusif antara pengelola taman nasional dengan
kelompok masyarakat yang menjadi sasaran program.
Dibutuhkan penataan struktur kelembagaan dan peran pemangku
kepentingan yang mencakup perubahan unsur-unsur kelembagaan (Batas
Juridiksi, Property Right dan Aturan Representatif) untuk meminimalisir dampak
yang ditimbulkan dari situasi yang sudah terjadi selama ini dalam pengelolaan
TNGR. | id |