Show simple item record

dc.contributor.advisorAndarwulan, Nuri
dc.contributor.advisorHariyadi, Purwiyatno
dc.contributor.advisorFaridah, Didah Nur
dc.contributor.authorMarpaung, Abdullah Muzi
dc.date.accessioned2018-01-08T06:04:56Z
dc.date.available2018-01-08T06:04:56Z
dc.date.issued2017
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/88640
dc.description.abstractBunga telang (Clitoria ternatea L - CT) merupakan sumber antosianin terpoliasilasi yang penting karena stabilitasnya yang relatif tinggi. Secara umum, antosianin terpoliasilasi lebih stabil daripada antosianin tanpa atau dengan satu gugus asil. Kestabilan ini disebabkan oleh adanya kopigmentasi intramolekuler antara dua atau lebih gugus asil aromatik dengan kromofor antosianin. Degradasi antosianin pada pH ≥ 3,5 bermula dari hidrasi spesies kation flavilium (AH+) menjadi hemiketal (B). Pada antosianin terpoliasilasi, hidrasi ini dihambat oleh kopigmentasi intramolekuler yang terbentuk melalui interaksi hidrofobik. Secara teoritis terdapat dua kemungkinan kerusakan kopigmentasi intramolekuler, yakni melalui (i) terbentangnya (unfolding) interaksi hidrofobik, atau (ii) hidrolisis pada gugus asil atau glikosil. Sepanjang penelitian ini dilakukan pengamatan spektrofotometrik terhadap pola degradasi warna ekstrak CT pada berbagai kondisi, meliputi pH (1, 4 - 8), suhu (7 – 90oC), jenis pelarut (air, metanol, etanol, dan aseton), dan ruang antara permukaan ekstrak dan tutup kemasan (headspace). Headspace merupakan faktor baru yang diduga dapat mempercepat kerusakan antosianin CT. Oleh karena kebaruannya, pengaruh headspace menjadi perhatian paling utama. Kestabilan antosianin CT dibandingkan pula dengan kestabilan antosianin dari beberapa sumber lain. Jejak-jejak spektrofotometrik yang meliputi intensitas warna, indeks ungu, indeks pencoklatan, pergeseran hipokromik, hipsokromik, dan batokromik dianalisis dan disusun menjadi usulan mekanisme degradasi warna ekstrak CT. Salah satu hasil terpenting pada penelitian ini adalah degradasi warna ekstrak CT selama penyimpanan dapat terjadi dengan atau tanpa pergeseran serapan cahaya ke panjang gelombang yang lebih pendek (efek hipsokromik). Efek hipsokromik tidak terlihat pada ekstrak pH 4 dan 5, serta pada ekstrak dalam pelarut 80% aseton – 20% larutan penyangga pH 7. Sementara itu efek tersebut terjadi pada ekstrak pH 6 – 8, dan ekstrak dalam pelarut 80% etanol atau metanol – 20% larutan penyangga pH 7. Ekstrak yang tidak mengalami efek hipsokromik lebih stabil dibandingkan dengan yang mengalami efek hipsokromik. Efek hipsokromik terjadi pula pada ekstrak pH 7 buah Dianella (DE) dan bunga Ipomoea tricolor (IT) yang mengandung antosianin terpoliasilasi, dan tidak terlihat pada ekstrak buah Melastoma malabathricum (MM) dan Tibouchina semidecandra (TS) yang mengandung antosianin sederhana. Fenomena ini menandakan adanya dua mekanisme degradasi warna antosianin ekstrak CT. Degradasi warna dengan pergeseran hipsokromik diperkirakan merupakan tanda terjadinya deasilasi, sedangkan degradasi tanpa pergeseran hipsokromik merupakan tanda terjadinya degradasi warna melalui pembentangan interaksi hidrofobik. Terjadinya deasilasi pada ekstrak CT 7 dikonfirmasikan pula melalui hasil analisis dengan HPLC-DAD (Diode Array Detector). Hasil kedua adalah bukti signifikan dari peran headspace di dalam mempercepat laju degradasi ekstrak CT, khususnya pada pH 6 dan 7. Peran tersebut tidak dipengaruhi baik oleh jenis gas di dalam headspace maupun rasio volum headspace terhadap ekstrak. Keberadaan headspace menyebabkan terbentuknya permukaan hidrofobik yang diduga mendorong terjadinya pembentangan (unfolding) interaksi hidrofobik pada molekul antosianin. Peristiwa terbentangnya interaksi hidrofobik akibat permukaan hidrofobik telah dilaporkan terjadi pada protein yang menyebabkan protein terdenaturasi. Dugaan terjadinya pembentangan interaksi hidrofobik oleh permukaan hidrofobik diperkuat oleh sifat ekstrak CT yang memiliki kestabilan lebih rendah pada 30oC dibandingkan pada 45oC. Peningkatan suhu dapat menurunkan hidrofobisitas permukaan ekstrak sehingga memperlambat terjadinya pembentangan interaksi hidrofobik. Hasil penting lain adalah terjadinya perbedaan laju penurunan absorbansi pada 550 nm, 580 nm dan 628 nm, yang masing-masing merepresentasikan species antosianin merah, ungu, dan biru. Absorbansi pada 628 nm menurun lebih cepat dibandingkan dengan absorbansi pada kedua panjang gelombang lain. Ini menandakan bahwa degradasi antosianin terpoliasilasi pada pH 7 diawali dengan degradasi spesies basa kuinonoidal anionik (A-) yang berwarna biru. Untuk memperkuat dugaan tersebut diamati pola degradasi absorbansi pada panjang gelombang yang mewakili warna merah (Ar), ungu (Av), dan biru (Ab) dari ekstrak CT, Ipomoe tricolor (IT), Dianella sp. (DE), Tibouchina semidecandra (TS), dan Melastoma malabathricum (MM). IT dan DE merupakan sumber antosianin terpoliasilasi, TS merupakan sumber antosianin termonoasilasi, dan MM merupakan sumber antosianin tak terasilasi. Terlihat bahwa pada ekstrak antosianin terpoliasilasi laju penurunan Ab adalah yang paling tinggi, diikuti Av dan Ar. Bahkan pada periode awal degradasi terjadi peningkatan Ar yang menunjukkan bertambahnya kadar spesies AH+ pada awal degradasi. Pada ekstrak TS dan MM laju penurunan absorbansi yang mewakili ketiga warna relatif sama. Bukti-bukti spektroskopik ini dipandang memadai untuk memperkirakan bagaimana degradasi warna ekstrak CT terjadi. Degradasi diawali dengan terjadinya pembentangan AH+, A, dan A- . Spesies AH+unfold terhidrasi menjadi Bunfold, yang kemudian berturut-turut membentuk Ccunfold dan Ctunfold. Proses ini menyebabkan kesetimbangan terganggu, sehingga Aunfold terprotonasi menjadi AH+unfold dan A-unfold terprotonasi menjadi Aunfold. Mekanisme ini mengakibatkan degradasi yang relatif lebih ringan dibandingkan dengan degradasi lanjutan, yaitu deasilasi. Pada pH > 5, A-unfold mengalami deasilasi membentuk A-deacylated. Produk hasil deasilasi ini kemudian berturut-turut terprotonasi menjadi Adeacylated, dan AH+deacylated. Jika deasilasi terjadi pada gugus asil yang tidak terlibat di dalam konfigurasi kopigmentasi intramolekuler, maka AH+deacylated tidak mengalami hidrasi menjadi Bdeacylated. Proses ini menjelaskan mengapa pada periode awal degradasi terjadi peningkatan serapan cahaya merah. Proses deasilasi terus berlangsung dan sebagian AH+deacylated kehilangan kopigmentasi intramolekuler sehingga terhidrasi menjadi Bdeacylated. Spesies Bdeacylated selanjutnya berubah menjadi Ccdeacylated, kemudian Ctdeacylated. Perbedaan yang sangat kecil antara laju degradasi intensitas warna dengan total antosianin menunjukkan bahwa Ctdeacylated segera terdegradasi membentuk turunan benzaldehida dan asam hidroksibenzoat.id
dc.language.isoidid
dc.publisherIPB (Bogor Agricultural University)id
dc.subject.ddcFood scienceid
dc.subject.ddcFlower extractid
dc.subject.ddc2016id
dc.subject.ddcBogor-JABARid
dc.titleStabilitas Kopigmentasi Intramolekuler dan Perannya dalam Degradasi Warna Antosianin Ekstrak Bunga Telang (Clitoria ternatea L.).id
dc.typeDissertationid
dc.subject.keywordantosianinid
dc.subject.keywordbunga telangid
dc.subject.keywordkopigmentasiid
dc.subject.keyworddegradasiid
dc.subject.keywordhipsokromikid


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record