Model Ekowisata di Taman Nasional Gunung Rinjani.
View/Open
Date
2017Author
Sadikin, Pipin Noviati
Pramudya, Bambang
Mulatsih, Sri
Arifin, Hadi Susilo
Metadata
Show full item recordAbstract
Ekowisata di Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) merupakan
perwujudan dari aspek pemanfaatan TNGR sebagai kawasan konservasi. Di sisi
lain Ekowisata TNGR menjadi sangat popular sebagai destinasi ekowisata bagi
wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara. Meskipun ekowisata
memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal di desa-desa yang menjadi
gerbang masuk menuju ekowisata TNGR pada zona penyangga TNGR, namun
masih ditemukan berbagai kerusakan lingkungan di kawasan TNGR dan
permasalahan sosial ekonomi. Tujuan penelitian ini adalah (1) Menganalisis
kesesuaian lahan untuk ekowisata dan daya dukung ekowisata, (2) Menganalisis
Kesediaan untuk Membayar (Willingness to Pay/WTP) bagi ekowisata, (3)
Menilai status keberlanjutan ekowisata saat ini, (4) Menganalisis struktur program
ekowisata, (5) Menyusun model pengelolaan ekowisata.
Penelitian ini dilaksanakan di TNGR, pada dua resort pengelolaan sebagai
gerbang masuk TNGR yaitu 1) Senaru di Desa Senaru, Kabupaten Lombok Utara
dan 2) Sembalun di Desa Sembalun Lawang, Kabupaten Lombok Timur. Luas
TNGR yang menjadi objek penelitian adalah 41 330 ha. Pengumpulan data
dilakukan melalui observasi lapangan, wawancara mendalam (in depth interview),
Diskusi Kelompok Terarah (FGD), dan studi pustaka. Analisis data menggunakan
analisis kesesuaian lahan dan analisis daya dukung dengan metode Douglass,
analisis Willingness to pay, analisis Multidimensional Scalling dengan Rapecotourism,
analisis struktur program ekowisata dengan Interpretative Structure
Modelling, dan analisis sistem dinamik dengan perangkat lunak powersim.
Penelitian dengan analisis kesesuaian lahan menemukan hasil bahwa pada
semua pusat kegiatan wisatawan baik di Jalur Sembalun dan Jalur Sembalun
mendapat nilai 3 berarti termasuk kategori Sesuai artinya sesuai untuk ekowisata.
Kecuali Pos 3 Pada Balong, Pos ekstra Sembalun, Pelawangan 2 Sembalun,
Demplot, Cemara Lima mendapat nilai 2 berarti termasuk kategori Agak Sesuai
untuk ekowisata. Puncak dan Pelawangan 1 Senaru mendapat nilai 1 berarti Tidak
Sesuai untuk aktivitas ekowisata karena kemiringan yang sangat curam.
Jumlah wisatawan yang datang berkunjung ke ekowisata TNGR pada
tahun 2014 sebanyak 44 112 orang sudah melebihi daya dukungnya untuk
kegiatan berkemah yaitu 42 525 orang per tahun atau 357 orang per hari.
Sementara daya dukung per hari untuk aktivitas ekowisata yang lain yaitu
sightseeing/istirahat 747 orang, pengamatan burung 22 orang, pengamatan
anggrek 99 orang, memancing 54 orang, dan berenang atau berendam 173 orang.
Pengelolaan wisatawan perlu disertai dengan perencanaan tapak ekowisata
berdasarkan analisis kesesuaian lahan ekowisata dan daya dukung agar wisatawan
memperoleh kenyamanan dan keamanan.
Rataan WTP wisatawan mancanegara adalah US54atauRp649560dengankursRp12000yangberlakupadasaatpenelitian,danwisatawannusantaraadalahRp40650.NilaiekonomiekowisataTNGRadalahUS 1 208 790 atau Rp 14.50 milyar dari wisatawan mancanegara. atau
5
Rp 883 202 550 dari wisatawan nusantara. Beberapa faktor yang mempengaruhi
kesediaan membayar WTP, untuk wisatawan mancanegara adalah pendapatan dan
aktif di organisasi lingkungan, serta untuk wisatawan nusantara adalah
pendidikan, pendapatan dan pengetahuan. Terungkap pula bahwa variabel yang
mempengaruhi besaran nilai WTP untuk wisatawan mancanegara adalah
pengetahuan dan pendapatan, serta untuk wisatawan nusantara adalah pendapatan,
pengetahuan dan jumlah anggota keluarga.
Penelitian menunjukkan bahwa status keberlanjutan ekowisata TNGR
pada dimensi ekonomi (58.49) sudah cukup berlanjut. Nilai keberlanjutan atau
status keberlanjutan ekowisata dimensi ekologi (35.94), sosial (45.81), layanan
ekowisata (39.58), teknologi dan infrastruktur (35.29) berada pada status kurang
berlanjut. Hanya pada dimensi Kelembagaan dan Kebijakan (23.76) yang berada
pada status tidak berlanjut. Hasil analisis ini menunjukkan perlunya
mempertimbangkan atribut mana yang menjadi faktor pengungkit utama
keberlanjutan. Pada dimensi Kelembagaan dan Kebijakan atribut yang menjadi
pengungkit utama adalah (1) kelembagaan lokal (5.53), (2) kemitraan dan
kolaborasi (5.53), dan (3) peraturan pengelolaan dan pengendalian ekowisata
TNGR (5.36). Dimensi ekologi, sosial, infrastruktur dan teknologi, dan layanan
ekowisata berada pada status keberlanjutan kurang berlanjut. Status keberlanjutan
ekowisata pada dimensi kelembagaan dan kebijakan menunjukkan hasil tidak
berlanjut.
Hasil penelitian struktur program ekowisata mengungkapkan sub-elemen
kunci yang memiliki kekuatan penggerak yang tinggi dan berpengaruh terhadap
sub-elemen lain agar ekowisata berjalan dengan baik. Sub-elemen kunci pada
elemen lembaga yang terlibat adalah Balai TNGR. Sub-elemen kunci pada elemen
tujuan program ekowisata adalah mengembangkan ekowisata yang melibatkan
partisipasi masyarakat dan pembelajaran, serta meningkatkan pendapatan
masyarakat lokal. Sub-elemen kunci pada elemen kebutuhan program ekowisata
adalah kebutuhan akan institusi dan kelembagaan dengan peraturan, regulasi dan
kebijakan untuk mengelola ekowisata. Sub-elemen kunci pada elemen kendala
adalah adanya tambahan biaya untuk proses pengembangan kolaborasi untuk
mengembangkan perencanaan, mengidentifikasi para pihak dan meningkatkan
kapasitas para pihak, kemudian sub-elemen merasakan ketidaksetaraan antar
pihak dalam kerjasama atau kolaborasi karena tidak seimbangnya kekuasaan dan
kekuatan antara pihak, serta sub-elemen partisipasi masyarakat yang rendah
karena batas-batas operasional, struktural dan budaya. Sub-elemen kunci tolok
ukur adalah banjir dan erosi menurun, luas kerusakan hutan menurun, pendapatan
masyarakat meningkat, serta kepedulian masyarakat lokal terhadap konservasi
kawasan TNGR meningkat.
Alternatif skenario model pengelolaan ekowisata adalah penerapan daya
dukung dan peningkatan harga tiket masuk berdasarkan nilai WTP. Selanjutnya
model pengelolaan ekowisata ini memberikan saran bahwa untuk mengimbangi
jumlah wisatawan maka perlu meningkatkan harga tiket masuk. Harga tiket masuk
membatasi jumlah wisatawan sesuai daya dukung dan juga memberikan peluang
untuk peningkatan dana dan upaya konservasi.