Strategi Pengelolaan Mangrove Berkelanjutan Berbasis Spasial di Kabupaten Konawe Selatan
View/Open
Date
2017Author
Yusuf, Dewi Nurhayati
Kusmana, Cecep
Prasetyo, Lilik Budi
Machfud
Metadata
Show full item recordAbstract
Hutan mangrove memiliki beberapa fungsi yang sangat penting yaitu fungsi fisik, ekologi dan sosial ekonomi. Hutan mangrove memiliki manfaat yang sangat bernilai strategis dalam menunjang kehidupan manusia diantaranya adalah manfaat dalam bidang riset dan pendidikan, sumber plasma nutfah serta menjaga iklim dan hidrologis. Manfaat lain yaitu manfaat yang dapat dirasakan langsung kegunaannya bagi kehidupan manusia, baik berupa produksi maupun jasa pelayanan. Manfaat langsung bagi manusia inilah yang pada umumnya menyebabkan tingginya tekanan pada hutan mangrove. Pemanfaatannya yang tidak terarah dan pembangunan yang tidak memperhatikan fungsi ekologis dan fisiknya menyebabkan tingginya tingkat degradasi mangrove di seluruh dunia.
Indonesia merupakan negara dengan luas hutan mangrove terluas di dunia. Indonesia juga merupakan pusat keanekaragaman mangrove dunia. Namun, Indonesia mengalami degradasi mangrove yang sangat signifikan. Degradasi hutan mangrove di Indonesia mencapai 23% dalam kurun waktu 1980 sampai 2009, sedangkan degradasi hutan mangrove di Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara, mencapai 33% hanya dalam kurun waktu 2009 – 2011. Faktor antropogenik diidentifikasi sebagai penyebab utama degradasi hutan mangrove di Indonesia. Tekanan aktivitas manusia pada ekosistem pesisir seringkali sangat tinggi melalui kompetisi penggunaan lahan untuk tambak, pertanian, pembangunan infrastruktur dan wisata. Alih fungsi hutan mangrove untuk penggunaan yang lain belakangan ini telah menjadi sangat menghawatirkan, sehingga harus dikontrol untuk menekan kerusakan lingkungan yang lebih parah. Memahami hubungan antara aktivitas manusia (antropogenik) dan dampak ekologis pada hutan mangrove serta memetakan dampak tersebut dapat menjadi langkah penting dalam pengelolaan hutan mangrove dan meminimalkan kerusakan yang mungkin dapat ditimbulkan.
Penginderaan jauh dan SIG diakui merupakan salah satu metode yang sangat efektif dan efisien dalam manajemen sumberdaya alam dan lingkungan. Beberapa penelitian terkait pemetaan dan analisis perubahan lahan hutan mangrove serta tingkat kerusakan berdasarkan nilai NDVI dan kerapatan tajuk juga telah dilakukan. Salah satu metode terbaru yang dikembangkan oleh Wildlife Conservation Society (WCS) dan Center for International Earth Information Science Network (CIESIN) di Columbia University dalam The Last of The Wild Project, secara sistematis telah memetakan dan mengukur pengaruh manusia terhadap ekosistem alami di permukaan bumi dan menghasilkan peta berskala global indeks pengaruh manusia (Human Influence Index atau HII) terhadap kehidupan ekosistem alami. Dampak antropogenik yang selama ini belum banyak direpresentasikan dalam bentuk data atau informasi spasial menjadi tantangan tersendiri yang perlu dikembangkan guna pemanfaatan yang lebih komprehensif
Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa hutan mangrove di Kabupaten Konawe Selatan tahun 2014 seluas 11.852,57 ha. Telah terjadinya tren penurunan luas hutan mangrove sebesar 15,47% per 10 tahun, ditandai dengan degradasi
hutan mangrove sebesar 11,81% antara tahun 1984 sampai 1993, kemudian degradasi meningkat sebesar 22,51% antara tahun 1993 sampai 2003 dan meskipun tidak sebesar sebelumnya namun degradasi hutan mangrove tetap terjadi dalam kurun waktu 2003 sampai 2014 sebesar 12,1%.
Dalam kurun waktu 1984 sampai 1993, luas hutan mangrove yang terkonversi menjadi tanah terbuka mencapai 1.948,2 ha. Hutan mangrove yang terkonversi menjadi lahan tambak sebesar 458,43 ha, ladang/tegalan/sawah sebesar 530,45 ha, semak belukar 384,82 ha, dan sejumlah 70,57 ha hutan mangrove yang terkonversi menjadi lahan pemukiman. Namun demikian, ada penambahan luas hutan mangrove baru yang cukup besar pula yaitu berkisar 1.062,23 ha. Dalam kurun waktu 1993 sampai 2003, konversi hutan mangrove menjadi lahan tambak meningkat sangat pesat yaitu sebesar 2.394,20 ha. Dalam kurun waktu yang sama, konversi hutan mangrove menjadi tanah terbuka sebesar 556,21 ha, ladang/tegalan/sawah 405,26 ha dan pemukiman 252,92 ha. Dalam kurun waktu 2003 sampai 2014, intensitas alih fungsi lahan hutan mangrove mulai menunjukkan tren penurunan. Meskipun demikian, pembukaan lahan tambak melalui konversi hutan mangrove masih cukup tinggi yaitu sebesar 1.311,07 ha, sebagian yang lain terkonversi menjadi lahan pemukiman dan tanah terbuka.
Dari hasil analisis tingkat kerusakan hutan mangrove ditemukan bahwa 94,54% hutan mangrove dalam kondisi yang cukup baik, namun terdapat 5,46% hutan mangrove yang terindikasi rusak sedang. Hasil analisis tingkat gangguan hutan mangrove akibat faktor antopogenik diperoleh persentase tingkat gangguan rendah berkisar 52% dan tingkat gangguan tinggi 48%. Terdapat luasan 5.689,17 ha hutan mangrove yang berada dalam tingkat gangguan tinggi dari aktivitas manusia disekitar kawasan hutan mangrove.
Terdapat sekitar 23,7% hutan mangrove yang berada dalam kawasan hutan suaka alam, sebagian besar berada pada kelas tipologi tidak rusak dan tingkat gangguan rendah, namun ada sejumlah 210 ha hutan mangrove yang berada dalam tingkat gangguan tinggi dan kerusakan sedang di dalam kawasan hutan suaka alam. Hutan mangrove terluas berada di kawasan hutan lindung yaitu sebesar 44,43%, sebagian besar berada pada kelas tipologi tidak rusak dan tingkat gangguan rendah maupun tinggi. Berkisar 22% hutan mangrove berada di dalam kawasan area penggunaan lain dan hutan produksi. Terdapat sekitar 9,88% hutan mangrove yang tersebar pada wilayah badan air.
Berdasarkan hasil analisis AHP, alternatif strategi yang menempati prioritas pertama dalam pengelolaan hutan mangrove pada kelas tipologi hutan mangrove yang tidak rusak dan mengalami tingkat gangguan rendah maupun tinggi adalah strategi penguatan kelembagaan partisipatif, adapun prioritas kedua dan ketiga yaitu penataan kawasan hutan mangrove dan pemanfaatan sumberdaya berkelanjutan. Untuk kelas tipologi hutan mangrove yang mengalami rusak sedang dan tingkat gangguan rendah maupun tinggi, alternatif strategi yang menempati prioritas pertama dalam pengelolaan hutan mangrove adalah penataan kawasan hutan mangrove, selanjutnya prioritas kedua dan ketiga adalah penguatan kelembagaan partisipatif dan pemanfaatan sumberdaya berkelanjutan.