dc.description.abstract | Salah satu praktek agroforestri pada wilayah pulau-pulau kecil di
Kepulauan Maluku, termasuk di Pulau Ambon, dikenal dengan dusun. Namun
demikian, praktek agroforestri dusun di Pulau Ambon saat ini mengalami berbagai
tekanan dan ancaman keberlanjutannya sehingga dikhawatirkan mengancam
ekosistem Pulau Ambon maupun kehidupan penghuninya. Permasalahan yang
ditemukan di lokasi penelitian yang berhubungan dengan pengelolaan agroforestri
dusun, antara lain banyak lahan yang rusak, luasan dusun makin sempit,
produktivitas dan harga produk makin menurun, kecenderungan pemilik untuk
menjual dusunnya, kearifan lokal dalam pengelolaannya makin tergerus, alih
fungsi lahan dusun intensif. Kondisi ini berakibat terjadi banjir di musim
penghujan dan kekurangan air di musim kemarau, erosi, dan sedimentasi yang
mengancam ekosistem pesisir Teluk Ambon, serta dukungan kebijakan
pemerintah jauh dari yang diharapkan.
Banyak penelitian agroforestri yang telah dilakukan tetapi hanya fokus
pada kondisi di pulau besar. Belum ada kajian agroforestri yang mengkaji
integrasi daratan, laut dan pesisir secara satu kesatuan yang berkelanjutan di pulau
kecil di Indonesia. Karena itu sangat perlu untuk mengadakan penelitian yang
mampu mengintegrasikan keberadaan praktek agroforestri dusun di daratan Pulau
Ambon dan hubungannya dengan ekosistem laut dan pesisir secara berkelanjutan
sehingga dapat mengimplementasikan konsep Integrated Coastal Management
(ICM) untuk mengintegrasikan pengelolaan sumberdaya di pulau kecil.
Tujuan utama penelitian ini adalah merumuskan keberlanjutan sistem
agroforestri terintegrasi dengan ekosistem pesisir dan laut di Pulau Ambon. Untuk
mencapai tujuan utama tersebut dilakukan empat kajian, yaitu: (1)
mengidentifikasi komposisi dan struktur tegakan agroforestri dusun; (2)
melakukan estimasi kontribusi agroforestri dusun terhadap pembentukan
pendapatan rumah tangga serta standar kehidupan fisik minimum dan kehidupan
hidup layak rumah tangga dan luas lahan minimum untuk mencapai kehidupan
hidup layak; (3) menginventarisasi kondisi organisasi sosial budaya masyarakat
pemilik dusun; dan (4) menganalisis status keberlanjutan agroforestri dusun
terintegrasi dengan sumberdaya pesisir dan laut melalui dimensi keberlanjutan
ekologi, ekonomi, sosial budaya, kelembagaan dan teknologi di Pulau Ambon.
Penelitian dilakukan di tiga negeri yang terletak di Jazirah Leitimor, Kota
Ambon, di Pulau Ambon, yaitu: Negeri Halong, Negeri Amahusu, dan Negeri
Soya. Pengumpulan data primer dilakukan dengan survey vegetasi dusun di ketiga
negeri, wawancara terstruktur dengan menggunakan kuesioner, wawancara
dengan stakeholder terkait, dan fokus group diskusi. Data sekunder dikumpulkan
dari berbagai sumber, antara lain: BPS, BMKG, instansi terkait, LSM, perguruan
tinggi, publikasi ilmiah, dan laporan. Nilai indek dan status keberlanjutan
integrasi pengelolaan dusun ditentukan melalui teknik ordinasi Rap-sasi (Rapid
Appraisal-Sutainable agriculture in small island) dengan metode Multiv
Dimensional Scaling (MDS). Hasil analisis leverage selanjutnya digunakan
sebagai landasan rumusan integrasi pengelolaan agroforestri dengan sumberdaya
pesisir dan laut di Pulau Ambon.
Struktur dan komposisi jenis tanaman yang diusahakan pada agroforestri
sistem dusun di Negeri Halong, Amahusu dan Soya berbeda. Kerapatan dan
keragaman jenis berbeda antara ketiga negeri. Hasil analisis vegetasi
mengindikasikan pentingnya peran praktek agroforestri sistem dusun untuk
menjamin ketersediaan jasa ekologis dan konservasi di wilayah pulau kecil.
Kontribusi agroforestri dusun terhadap pendapatan ekonomi rumah tangga
masing-masing sebesar 18.67%, 24.94%, dan 32.52%, berturut-turut di Negeri
Halong, Amahusu dan Soya. Tanaman mayang (Arenga pinnata) sebagai plasma
nutfah sangat potensial untuk meningkatan pendapatan rumah tangga serta upaya
konservasi biodiversitas. Pendapatan agroforestri dusun di dua Negeri, Halong
dan Amahusu, berturut-turut sebesar Rp 9 684 000 dan Rp 11 033 615 ha tahun−1,
belum memenuhi standar Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) sebesar Rp.16 000
000 KK−1 tahun−1 , sedangkan Negeri Soya yang telah memenuhi KFM sebesar
Rp18 397 636 ha tahun−1. Pengusahaan agroforestri sistem dusun di ketiga negeri
belum memenuhi standar Kehidupan Hidup Layak (KHL) sebesar Rp 40 000 000
KK−1 tahun−1. Untuk mencapai pendapatan dari usaha agroforestri dusun agar
hidup layak diperlukan luas lahan (dusun) minimal 4.13 ha KK−1; 3.62 ha KK−1;
dan 2.17 ha KK−1, berturut-turut di Negeri Halong, Amahusu dan Soya.
Konsep dusun pada awalnya mempunyai kaitan dengan kelompokkelompok
genealogis dan salah satunya adalah dati yang dalam perkembangan
selanjutnya menghasilkan istilah dusun dati. Hak petuanang (teritorial) dari
komunal dati diakui adanya hak individual dari anak/waris dati, dan dalam
perkembangannya hak petuanang semakin lemah, sedangkan hak individual
semakin kuat. Proses individualisasi terhadap tanah/dusun dati dikhawatirkan
mengancam ketersediaan jasa dan fungsi ekologis dari dusun yang pada awalnya
pengelolaannya melalui pranata dati.
Status keberlanjutan integrasi pengelolaan agroforestri sistem dusun di
Jazirah Leitimor, Pulau Ambon, pada kondisi existing adalah 47.75%, tergolong
kurang berkelanjutan. Dari kelima dimensi keberlanjutan, hanya dimensi ekonomi
yang mencapai status cukup berkelanjutan dengan nilai indeks keberlanjutan
57.70%. Status empat dimensi keberlanjutan yang lain tergolong tidak
berkelanjutan dengan nilai indeks keberlanjutan masing-masing sebesar 46.22%
(dimensi ekologi), 42.23% (dimensi sosial), 48.21%, (dimensi kelembagaan), dan
47.74% (dimensi teknologi).
Rumusan integrasi pengelolaan agroforestri dusun berkelanjutan di Pulau
Ambon dapat diimplementasikan melalui intervensi terhadap 26 atribut sensitif
dengan menekan risiko kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan, prosesproses
ekologi dapat berlangsung dengan normal, sosial budaya dan kelembagaan
tetap terjaga, penggunaan teknologi yang ramah lingkungan dan bersamaan
dengan itu ekonomi, kebahagiaan, dan damai sejahtera dapat tercapai. | id |