Kemandirian Pengelolaan Sumberdaya Mangrove Melalui Penguatan Modal Sosial Masyarakat. Pembelajaran dari Sinjai Timur, Sulawesi Selatan
View/ Open
Date
2016Author
Suharti, Sri
Darusman, Dudung
Nugroho, Bramasto
Sundawati, Leti
Metadata
Show full item recordAbstract
Sumberdaya mangove memiliki peran, fungsi, dan manfaat yang penting bagi kehidupan manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung (tangible dan intangible). Namun minimnya pemahaman publik akan potensi nilai total dari sumber daya mangrove serta relatif kurangnya perhatian pemerintah terhadap arti penting hutan mangrove mengakibatkan deforestasi dan degradasi sumberdaya (SD) mangrove terjadi secara luas dan masif di berbagai wilayah di Indonesia. Salah satu pengecualian, terjadi di kawasan hutan mangrove, di Kecamatan Sinjai Timur, Kabupaten Sinjai, Provinsi Sulawesi Selatan. Hutan mangrove di daerah ini dibangun dan dikelola secara swadaya oleh masyarakat atas kesadaran akan arti penting mangrove dan fungsi ekologisnya yang kemudian melahirkan fungsi sosial dan ekonomi bagi masyarakat di sekitarnya. Instrumen yang dianggap penting untuk mendorong aksi kolektif dalam pengelolaan SD yang memiliki karakteristik barang milik brsama (common pool resources/(CPR’s) seperti hutan mangrove di Sinjai Timur adalah modal sosial masyarakat yang kuat.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan dukungan data kuantitatif. Sintesis penelitian menggunakan data dan analisis baik secara kuantitatif maupun kualitatif berdasarkan kebutuhan masing-masing kajian. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk merumuskan strategi penguatan kemandirian pengelolaan SD mangrove secara lestari dengan mengkaji success story/keberhasilan masyarakat dalam pengelolaan mangrove di Sinjai Timur. Dengan berlandasan pada konsep modal sosial Putnam dan aksi kolektif Ostrom serta didukung konsep symbolic power Bourdieu dan common knowledge Ishihara dan Pascual, maka tujuan khusus dari penelitian ini adalah: mengestimasi potensi ekonomi yang prospektif untuk dikembangkan yang dapat mendorong penguatan modal sosial untuk aksi bersama; menganalisis unsur-unsur dominan modal sosial beserta prasyarat pendukungnya untuk keberhasilan aksi bersama; menganalisis kelembagaan pendukung dan peran aktor serta dominansinya dan merumuskan strategi penguatan kemandirian pengelolaan SD mangrove lestari.
Salah satu faktor yang menjadi kunci keberhasilan masyarakat dalam mengelola SD mangrove yang memiliki karakteristik CPRs seperti di Sinjai Timur adalah kepemilikan modal sosial yang kuat yang mendorong terwujudnya aksi kolektif masyarakat. Namun hasil penelitian menunjukkan bahwa modal sosial yang kuat tidak selalu mampu mendorong aksi kolektif dalam pengelolaan sumberdaya alam. Hal ini menegaskan teori Bordieu (1983) yang menyatakan bahwa modal sosial merupakan sumberdaya potensial yang tidak selalu siap untuk mendorong pelaksanaan kegiatan secara efektif dan efisien untuk pencapaian tujuan bersama jika tidak ada motor penggerak untuk mengaktivasinya. Modal sosial harus diaktivasikan agar berfungsi optimal melalui intervensi kekuatan simbolik (symbolic power) melalui tokoh panutan (role model) untuk menginisiasi kegiatan. Proses untuk meyakinkan individu lain agar bersepakat untuk melakukan tindakan kolektif merupakan proses penting yang harus dilalui agar dicapai pemahaman bersama (common knowledge).
Hasil analisis nilai ekonomi total (NET) SD mangrove di Sinjai Timur menunjukkan ekosistem mangrove memiliki peran yang sangat besar baik secara ekologi secara sosial dan ekonomi. Keberlanjutan fungsi ekologi hutan mangrove di Sinjai Timur memberikan eksternalitas positif baik bagi perbaikan kondisi lingkungan,
maupun bagi peningkatan kondisi sosial ekonomi masyarakat melalui berkembangnya berbagai peluang usaha, lapangan pekerjaan dan sumber pendapatan.
Dinamika proses perkembangan hutan mangrove di Sinjai Timur menunjukkan bahwa walaupun tanpa dukungan dari pemerintah, aksi kolektif untuk menanam mangrove dapat diwujudkan melalui berbagai aturan dan kesepakatan yang dirumuskan secara kolektif melalui kelembagaan lokal yang ada. Hutan mangrove di Sinjai Timur yang merupakan hasil budidaya masyarakat secara swadaya tumbuh pada tanah timbul yang menurut PP No 16 Tahun 2004 (de jure) berstatus lahan negara (state property), namun kenyataan secara de facto masyarakat tidak sepenuhnya mengakui tanah timbul sebagai lahan negara. Hal ini disebabkan negara baru hadir pada saat hutan mangrove telah tumbuh dengan baik sehingga status de jure tanah timbul di level masyarakat tidak diakui (legitimate). Ambiguitas status poperty ini menyebabkan tipologi property hutan mangrove di Sinjai Timur tidak dapat diklasifikasikan secara tegas. Selain itu bekerjanya kelembagaan lokal secara efektif di Sinjai Timur telah menghasilkan rumusan status property yang berlapis (Multilayer property) untuk berbagai produk/jasa/manfaat yang dihasilkan dari sumberdaya mangrove. Status tanah timbul dan tegakan mangrove yang tumbuh di atasnya berstatus milik privat (private property). Sementara hasil dari biota perairan (ikan, udang, kepiting) serta kayu bakar dari petak/kapling mangrove merupakan milik kelompok (communal property. Kesepakatan untuk memanfaatkan hasil biota perairan serta kayu bakar secara bersama ini merupakan strategi untuk memperoleh jaminan sosial (social insurance) diantara anggota masyarakat. Dengan demikian anggota yang kapling mangrovenya tidak/kurang menghasilkan produk biota perairan dapat disubstitusi dengan mengambilnya dari kapling yang lain. Meskipun status property SD mangrove bersifat ambigu, namun terdapat faktor yang menjadi pengikat dan pemersatu masyarakat Sinjai Timur sehingga mereka tetap bersepakat memelihara hutan mangrove yaitu faktor resiko (sense of crisis) yang harus dihadapi serta faktor kebanggaan mangrove sebagai ikon wilayah (sense of pride).
Agar kemandirian masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya mangrove tetap terpelihara diperlukan berbagai upaya antara lain melalui penguatan modal sosial masyarakat yang dapat dilakukan melalui penyediaan lingkungan serta pra kondisi bagi munculnya berbagai tokoh elit masyarakat yang memiliki dedikasi serta kekuatan simbolis untuk menginisiasi kegiatan serta melalui penyediaan berbagai fasilitas untuk memperluas jejaring dengan berbagai sumber informasi dan pendanaan sehingga meningkatkan akses masyarakat.
Upaya lain adalah melalui penguatan peraturan baik di tingkat lokal, maupun pada level yang lebih tinggi disertai pengembangan sistim insentif dan disinsentif untuk mencegah meluasnya perilaku yang mengancam kelestarian hutan mangrove dan sekaligus memastikan bahwa peraturan yang ada menjadi legitimate. Sebaliknya, berbagai aturan formal yang dapat melemahkan norma dan aturan di tingkat lokal perlu dikaji ulang untuk penerapannya. Keberhasilan warga Sinjai Timur dalam membangun hutan mangrove merupakan kesempatan bagi pemerintah untuk memberikan insentif berupa hak kelola secara mandiri kepada masyarakat serta pengakuan atas hak kelola tersebut. Kepastian status dan hak kelola, kuatnya modal sosial beserta kearifan lokal masyarakat akan semakin memperkuat kemandirian masyarakat dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya mangrove secara lestari di Sinjai Timur.
Collections
- DT - Forestry [347]