Praktik Komunikasi dalam Pemberdayaan Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas Provinsi Jambi
View/ Open
Date
2017Author
Muchlis, Fuad
Lubis, Djuara P
Kinseng, Rilus A
Tasman, Aulia
Metadata
Show full item recordAbstract
Kebijakan pembangunan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi dengan mengeksploitasi hutan produksi telah mengakibatkan krisis ekologis dan tergerusnya tatanan sosial-ekonomi-kultural komunitas adat dan masyarakat sekitar hutan, termasuk Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Provinsi Jambi. Sistem dan struktur sosial yang pro terhadap kapitalis tersebut telah menghilangkan sebagian besar kawasan hutan yang selama ini menjadi ruang hidup dan penghidupan Orang Rimba dan menyebabkan mereka menjadi marginal. Kondisi Orang Rimba yang marginal kemudian mengundang berbagai aktor melakukan kegiatan pemberdayaan terhadap komunitas ini.
Penelitian berparadigma kritis dengan strategi penelitian studi kasus ini bertujuan menjelaskan dan menganalisis sejarah marginalisasi Orang Rimba di kawasan Bukit Duabelas, mendeskripsikan dan menganalisis praktik pemberdayaan Orang Rimba, menganalisis peran media alternatif sebagai ruang publik dalam memperjuangkan hak dan membangunkan kesadaran emansipatoris Orang Rimba serta menyingkap dominasi dan menganalisis tindakan komunikatif Orang Rimba TNBD dalam membebaskan diri dari dominasi kekuasaan untuk memperjuangkan hak komunalnya.
Tonggak-tonggak sejarah marginalisasi terhadap Orang Rimba dapat dirunut dari periode I (1970-1980), era penguasaan hutan negara oleh swasta; periode II (1980- 1990), era kebijakan transmigrasi; dan periode III (1990-2000), era pembangunan kebun Kelapa Sawit dan HTI sebagai jalan bagi negara memenuhi target pertumbuhan ekonomi serta pengembangan wilayah. Praktik eksploitatif hutan di TNBD sebagai proyek developmentalist sarat dengan kepentingan kapitalis dan mengabaikan hak-hak Orang Rimba dan menjadikan mereka marginal dan terpinggirkan. Dominasi kapitalis yang didukung oleh corak demokrasi liberal, telah memunculkan apa yang disebut oleh Habermas sebagai kolonisasi. Kolonisasi itu terjadi manakala sistem pengendalian, yaitu uang (kapitalis) dan kekuasaan (negara) mendominasi sistem integrasi sosial dan budaya yang disebutnya dunia kehidupan (life word) yang dimediasi oleh komunikasi dan memunculkan kecenderungan krisis dalam kehidupan masyarakat kapitalisme lanjut (late capitalism). Itulah argumentasi Habermas yang kemudian menyatakan modernisasi belum selesai yang artinya bahwa praksis komunikasi dengan rasionalitas komunikatif di dalamnya harus dikembangkan melalui kegiatan pemberdayaan karena dengan cara itulah humanisme akan terwujud.
Penelitian ini juga mengungkap dan membandingkan perbedaan berbagai perspektif dalam memberdayakan Orang Rimba. Negara dengan perspektif developmentalis memaknai dengan “modernisasi” yang dilakukan dengan cara “resettlement”. Sementara NGO dengan perspektif eco-populis memaknai pemberdayaan sebagai sebuah proses membangun kesadaran kritis (conscienzation) dengan menyelenggarakan pendidikan alternatif dan advokasi. Dalam praktiknya kontestasi antara perspektif developmentalist versus eco-populis muncul dan ketika keduanya berada pada dua titik ekstrim yang berbeda,
tidak ada ruang dialog yang dapat digunakan oleh kedua perspektif ini, sehingga masing-masing aktor berjalan dengan keyakinan dan agendanya masing-masing. Namun demikian, proses negosiasi antar kedua aktor saat ini mulai berjalan di tingkat lapangan dan didukung oleh beberapa saluran komunikasi.
Radio Benor FM sebagai media alternatif dalam penelitian ini hadir sebagai media pemberdayaan sekaligus representasi ruang publik Orang Rimba dalam memperjuangkan ruang kebebasan untuk menyatakan dan menampung opini publik dan membangun wacana publik, merumuskan dan menyampaikan berbagai kepentingan-kepentingan Orang Rimba yang selama ini sering diabaikan oleh lembaga representasi atas hal-hal yang konkrit (seperti sarana kesehatan, pendidikan, informasi harga hasil-hasil hutan dan diseminasi budaya lokal serta kearifan menjaga hutan dan lingkungan). Media ini dapat menjadi ruang publik melawan dominasi dan menjadi pembeda dengan media mainstrem yang sulit untuk menghindar dari agenda setting pemiliknya. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa ruang publik media alternatif melalui radio komunitas dapat menggugah optimisme lahirnya kesempatan politik yang besar bagi Orang Rimba untuk menyuarakan kepentingannya. Diskusi publik dan opini yang berkembang di ranah Orang Rimba kemudian dapat menggugah kesadaran kritisnya, termasuk melakukan resistensi atas berbagai kebijakan negara yang dianggap tidak adil kepada mereka.
Tindakan komunikatif dan resistensi Orang Rimba dalam kasus kontestasi hak komunal terhadap kawasan hutan yang diberikan izin konsesi kepada PT. WP di bagian akhir disertasi ini, menegaskan bahwa praktik dominasi suatu sistem pengelolaan sumber daya hutan masih terjadi di republik ini. Tindakan komunikatif ditunjukkan melalui ruang publik “musyawarah” untuk mencapai konsensus. Tindakan komunikatif inilah yang diarahkan oleh Habermas melalui diskursus sehingga dapat menghasilkan “ideal speech situation”. Sebagai negara yang demokratis, pilihan ruang publik “musyawarah” oleh Orang Rimba difungsikan untuk menyuarakan kepentingan publik dan memainkan peran penting dalam pertimbangan mengoreksi kebijakan negara yang dianggap tidak adil kepada mereka. Di samping itu diskursus tata kelola hutan TNBD dalam ruang publik “musyawarah” juga memberikan kesempatan Orang Rimba untuk menggunakan kekuasaan komunikatifnya. Resistensi Orang Rimba dalam tindakan protes dengan mengokupasi lahan dapat dipahami sebagai penekan agar mendapat respon yang serius dari pihak perusahaan merealisasikan konsensus yang telah disetujui masing-masing pihak dalam “musyawarah” bersama antar pihak. Diskursus ini terbukti mampu mempengaruhi kebijakan negara terhadap tata kelola hutan yang selama ini dianggap hanya berpihak kepada korporasi. Perjuangan ini dikomunikasikan dengan menyampaikan argumen terbaik pada level birokrasi (negara) dan terbukti mampu menggeser kebijakan negara dengan memberikan hak kelola lahan seluas 114 hektar yang selama ini dikuasai oleh PT. WP kepada Orang Rimba Kelompok Terap.
Collections
- DT - Human Ecology [567]