Show simple item record

dc.contributor.advisorJune, Tania
dc.contributor.advisorSopaheluwakan, Ardhasena
dc.contributor.authorAdhyani, Noor Laily
dc.date.accessioned2017-05-24T03:33:41Z
dc.date.available2017-05-24T03:33:41Z
dc.date.issued2017
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/85469
dc.description.abstractKekeringan adalah salah satu bencana alam yang terjadi secara perlahan (slow onset disaster) berlangsung lama hingga musim hujan tiba dan berdampak luas. Kekeringan terjadi disebabkan oleh anomali kondisi cuaca seperti penurunan intensitas curah hujan dibandingkan dengan kondisi normal. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis karakteristik kekeringan dengan memanfaatkan indeks SPI dan SPEI berdasarkan skala waktu dan geografis, menganalisis hubungan antara indeks SPI dengan SPEI, SPEI dengan data kekeringan pertanian dan mempelajari pemanfaatan SPEI untuk pendugaan indikator awal kekeringan pertanian. Dalam merepresentasikan tingkat kekeringan menggunakan indeks kekeringan karena dianggap dapat memberikan penilaian kuantitatif dari kondisi iklim wilayah yang dikaji. Pada penelitian ini mengkaji dua indikator kekeringan, yaitu Standardized Precipitation Index (SPI) dan Standardized Precipitation Evapotranspiration Index (SPEI). Metode Thornthwaite (SPEI TRO), Hargreaves (SPEI HAR) dan Penman-Monteith (SPEI PEN) merupakan tiga metode pendugaan evapotranspirasi yang digunakan dalam indeks SPEI. Korelasi antara SPI dengan ketiga indeks SPEI mendekati angka satu menunjukkan bahwa indeks SPI dan SPEI sama, meskipun masukan data berbeda. Uji signfikansi menunjukkan, tidak ada perbedaan yang signifikan antara SPI dengan SPEI TRO, SPEI HAR, dan SPEI PEN, kecuali untuk daerah kering seperti provinsi Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Perbedaan yang terjadi mengidentifikasikan bahwa kekeringan yang terjadi pada daerah kering, dipengaruhi oleh kenaikan suhu udara terhadap evapotranspirasi. Korelasi antara SPI dengan ketiga indeks SPEI pada periode JJA lebih kecil dibandingan dengan periode lainnya, dikarenakan rendahnya intensitas curah hujan dan tingginya evapotranspirasi pada periode tersebut. Dari hubungan keempat indikator kekeringan dengan atmospheric water balance (CH – E0), menunjukkan bahwa SPEI TRO mampu merepresentasikan kekeringan dibandingkan indeks lainnya. Hasil lain menunjukkan pada periode basah DJF dan MAM, awal kejadian kekeringan terjadi ketika intensitas curah hujan sama dengan evaporasi. Sedangkan pada periode kering JJA dan SON, awal kejadian kekeringan terjadi ketika evaporasi mencapai nilai maksimum. Hasil kajian menyatakan bahwa 45% dari kejadian kering SPEI-1 TRO dan 37% SPEI-3 TRO dengan selang waktu 0 – 5 bulan dapat diduga sebagai awal dari kekeringan pertanian.id
dc.language.isoidid
dc.publisherBogor Agricultural University (IPB)id
dc.subject.ddcApplied Climatologyid
dc.subject.ddcClimatologyid
dc.subject.ddc2016id
dc.subject.ddcBogor, Jawa Baratid
dc.titleKajian Pada Standardized Precipitation Evapotranspiration Index (Spei) Sebagai Indikator Awal Kekeringan Pertanianid
dc.typeThesisid
dc.subject.keywordkekeringanid
dc.subject.keywordSPIid
dc.subject.keywordSPEIid
dc.subject.keywordevapotranspirasiid
dc.subject.keyworddurasiid
dc.subject.keywordtingkat keparahanid


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record