dc.description.abstract | Pemanfaatan sumber daya alam (SDA) untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia sudah terjadi sejak awal kehidupan manusia. SDA yang bersifat open access dapat dengan mudah terdegradasi, begitupula dengan kepemilikan komunal yang cenderung mengarah pada terjadinya “the tragedy of the commons” seperti yang dinyatakan Hardin pada tahun 1968. Sementara itu, dalam perkembangan ilmu kelembagaan selanjutnya ditemukan bahwa kepemilikan komunal dapat menghindari terjadinya “the tragedy of the commons”. Situasi ini ditunjukkan oleh penelitian Ostrom (1990) terhadap pranata sosial masyarakat-masyarakat yang dapat bertahan lama, bahwa di masyarakat-masyarakat tersebut terdapat berbagai kesepakatan bersama dalam bentuk hukum yang dihormati oleh seluruh anggota masyarakatnya. Salah satu masyarakat tradisional di Indonesia yang hidup secara komunal adalah Suku Mentawai yang bermukim di Cagar Biosfer Pulau Siberut (CBPS). Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan strategi penguatan kelembagaan lokal pengelolaan SDA sumber penghidupan Suku Mentawai di CBPS.
Penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2014 hingga Mei 2015 di CBPS pada tiga desa, yakni Desa Matotonan, Desa Saibi Samukop, dan Desa Sagulubbek, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif. Data dikumpulkan dengan metode studi dokumen, wawancara mendalam, dan pengamatan (observasi) terlibat. Data yang diperoleh dianalisis dengan mengunakan analisis deskriptif, analisis pengaruh dan kepentingan stakeholders, analisis keberlanjutan kelembagaan lokal, dan penelaahan isi peraturan perundang-undangan.
Sumber penghidupan Suku Mentawai di CBPS berasal dari lahan dalam bentuk perladangan dan hutan. Secara tradisional Suku Mentawai memiliki sistem penguasaan dan tata guna atas lahan dan hutan (land tenure system). Saat ini, terdapat tiga rezim kepemilikan lahan di CBPS, yaitu kepemilikan bersama (common property) berbasiskan pada uma, kepemilikan pribadi (private property), kepemilikan oleh negara (state property). Penguasaan atas lahan oleh negara ini hampir di seluruh CBPS (91.36%) dalam bentuk hutan konservasi, hutan produksi, dan hutan lindung. Dalam pengelolaan SDA di CBPS teridentifikasi 19 stakeholders, dua diantaranya adalah key players, yaitu Balai Taman Nasional Siberut dan Dinas Kehutanan Kabupaten/Provinsi. Masing-masing stakeholders mempunyai kepentingan dan pengaruh yang berbeda dan selalu berubah sepanjang waktu. Dalam interaksinya, di antara stakeholders terdapat potensi bekerjasama, saling mengisi, dan berkonflik. Secara keseluruhan di antara stakeholders tersebut terdapat potensi untuk saling bekerjasama dan mengisi. Potensi ini menjadi peluang untuk melakukan pengelolaan kolaboratif di CBPS. Hasil analisis keberlanjutan kelembagaan, menunjukkan bahwa kelembagaan adat Suku Mentawai di CBPS dalam mengelola SDA memenuhi enam kriteria kelembagaan yang kuat, dalam artian kelembagaan tersebut sebenarnya
mempunyai kemampuan untuk mengelola SDA secara lestari. Namun, kelembagaan adat Suku Mentawai dalam mengelola SDA-nya belum mendapatkan pengakuan dari pemerintah. Sedangkan kelembagaan formal belum mampu mengelola SDA secara efektif dan efisien di CBPS, bahkan cenderung mengabaikan kelembagaan lokal. Selain aturan formal yang belum berkesesuaian dengan aturan informal, terdapat pula perubahan perilaku masyarakat Mentawai dalam mengelola SDA yang tidak berkesesuaian dengan aturan informal. Perubahan ini disebabkan oleh pengaruh ekonomi pasar, teknologi, dan penerapan kebijakan pemerintah daerah.
Dalam kelembagaan pengelolaan SDA di CBPS terdapat beberapa permasalahan, yaitu: (1) ketidak pastian hak kepemilikan/penguasaan lahan dan sumber daya di atasnya antara Suku Mentawai dengan pemerintah; (2) adanya pengalihan hak kepemilikan lahan uma yang bersifat komunal ke kepemilikan perseorangan melalui proses sertifikasi; dan (3) pengembangan budidaya padi sawah di ekosistem rawa sagu. Permasalahan-permasalahan ini berdampak pada keberlanjutan pemanfaatan SDA Suku Mentawai di CBPS.
Berdasarkan temuan penelitian, strategi penguatan kelembagaan lokal pengelolaan SDA sebagai sumber penghidupan Suku Mentawai di CBPS, sebagai berikut: pertama mengakui secara formal hak kepemilikan komunal masyarakat Mentawai di CBPS untuk mengelola SDA-nya. Pengakuan dilakukan di HP dan HL melalui penetapan Masyarakat Hukum Adat (MHA), dan membentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi serta Hutan Lindung (KPHP dan KPHL). Sedangkan, di HK dilakukan dengan merevisi zonasi TNS, dan menetapkan HSAW Teluk Saibi Sarabua sebagai salah satu jenis dari KPA atau KSA. Kedua, melibatkan masyarakat Mentawai dalam semua proses pengambilan keputusan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan hingga evaluasi dalam aktivitas pengelolaan SDA di CBPS, termasuk mengkolaborasikan pengaturan blok/zona pengelolaan sebagai aturan operasional pada HK, HP, dan HL dengan ruang kehidupan dan fungsi lahan (tradisional) masyarakat Suku Mentawai, serta membentuk struktur pengorganisasian CBPS yang disepakati oleh stakeholders di CBPS. | id |