Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berbasis Hak Sumberdaya Sistem Sea-Ranching Studi Kasus Sea Ranching Di Kepulauan Seribu-Dki Jakarta
View/Open
Date
2016Author
Taryono
Soewardi, Kadarwan
Fahrudin, Achmad
Kamal, M. Mukhlis
Satria, Arif
Metadata
Show full item recordAbstract
Sebagian besar perikanan pesisir di Indonesia telah mengalami tangkap
lebih. Sehingga nelayan sulit bertahan, tetapi juga sulit untuk
mengembangkan perikanan yang lebih jauh karena keterbatasan armada,
modal dan keahlian. Sedangkan budidaya laut, disamping membutuhkan
biaya besar, juga membutuhkan kepastian input, keahlian memadai serta
perubahan kultur pola menangkap menjadi pola budidaya. Salah satu usaha
meningkatkan produktivitas perikanan pesisir adalah dengan sea ranching,
yang menggabungkan perikanan tangkap dan budidaya. Namun implementasi
sea ranching membutuhkan perubahan paradigma dan pola pengelolaan
sumberdaya pesisir. Sehingga kemudian perlu dilakukan perumusan konsep
sea ranching dan kelembagaan pengelolaannya di Indonesia.
Berdasar penelitian sebelumnya, salah satu lokasi potensial untuk sea
ranching kerapu adalah di perairan Semak Daun, Kep. Seribu. Penelian ini
bertujuan untuk merumuskan model konseptual, merumuskan biaya dan
manfaat, merumuskan pola interaksi dan tindakan antar aktor dan
merumuskan kelembagaan yang tepat bagi pengelolaan dan pengembangan
sea ranching di Indonesia.
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan rumusan model umum sea
ranching, dengan mempelajari kasus sea ranching di perairan dangkal P.
Semak Daun KAKS. Penelitian dilakukan dengan melakukan pengamatan,
wawancara, diskusi mendalam dan diskusi kelompok dengan nelayan,
pembudidaya ikan dan masyarakat di Kel. P Panggang, KAKS. Penelitian ini
merupakan penelitian kualitatif, dengan analisis dilakukan dengan
menggunakan metode kausalitas, analisis biaya manfaat secara langsung dan
harga pasar serta analisis kelembagaan IAD dipadukan dengan analisis
DPSIR.
Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa sea ranching merupakan
kegiatan berbasis ekosistem, mempunyai dimensi alamiah (natural) dan
dimensi sosial. Model sea ranching mempunyai elemen : (1) pelepasan
ekosistem, (2) ekosistem yang sehat dan wilayah perairan demarkatif, (3)
Sistem hak sumberdaya yang efektif, dan (4) kelembagaan yang efektif.
Komponen model pengembangan sea ranching : (1) kesesuaian lokasi, (2)
kepastian spasial, (3) sistem hak, (4) rencana pengelolaan, (5) tata laksana.
Sedangkan tata laksana mempunyai unsur : (1) legitimasi, (2) transparansi,
(3) pengendalian akses, (4) pendanaan otonom dan berkelanjutan, (5)
aransemen kelembagaan.
Potensi penerimaan penerimaan sea ranching mencakup : (1) penjualan
hasil ikan tangkapan, dan (2) pengelolaan kegiatan wisata. Biaya yang
diperlukan untuk pengelolaan sea ranching : (1) biaya langsung operasional,
(2) biaya transaksi, dan (3) biaya pengelolaan wisata. Biaya transaksi meliputi
: (1) biaya mendapatkan informasi, (2) biaya pengawasan, (3) biaya pelatihan,
(4) biaya resolusi konflik, (5) biaya menghadiri pertemuan, (6) biaya
pengambilan keputusan, dan (7) biaya pengawasan dan penegakan. Pada
lokasi yang mempunyai karakteristik kepulauan, potensi bangkitan ekonomi
sea ranching sebagian besar akan dinikmati oleh ekonomi lokal.
Aktor dalam pengelolaan sea ranching dapat dikelompokan menjadi
pendukung, penyedia jasa dan pengguna. Relasi antar aktor bisa bersifat
sinergis (positip) tetapi juga antagonistis (negatif). Relasi antar aktor dan
interaksi dengan pengelolaan sea ranching dapat bersifat menguatkan atau
sebaliknya melemahkan pengelolaan sea ranching.
Komponen model kelembagaan sea ranching mencakup : (1)
karakteristik sumberdaya (alam, fisik, karakteristik masyarakat, modal sosial
dan finansial), (2) Aturan main dan pengambilan keputusan, (3) Aksi dan
situasi aksi aktor/lembaga dan (4) dampak yang ditimbulkan (pada ekosistem
perairan, kesejahteraan sosial masyarakat dan keuangan untuk pengelolaan).
Untuk mendukung pola sea ranching, pengelolaan wilayah harus berbasis hak
sumberdaya dengan instrumen pengelolaan berbasis teritorial (TURF). Agar
tercipta kondisi ini, maka diperlukan perubahan pada rejim pengelolaan
sumberdaya, rejim hak sumberdaya pada tingkat kebijakan makro yang
berimplikasi pada perubahan rejim sumberdaya.
Untuk mendukung kelembagaan yang efektif, maka diperlukan
legitimasi kelembagaan. Komponen yang mendukung legitimasi tersebut
meliputi aspek politis, ilmiah/saintifik, regulatif dan moralitas. Kelembagaan
yang efektif perlu mendapatkan dukungan pilar kelembagaan yang meliputi
aspek regulatif, normatif dan kognitif.
Collections
- DT - Fisheries [733]