Kebijakan Resolusi Konflik Usaha Tambang Di Kawasan Hutan: Studi Kasus Di Kalimantan Timur
View/Open
Date
2016Author
Subarudi
Kartodihardjo, Hariadi
Soedomo, Sudarsono
Sapardi, Hadiyanto
Metadata
Show full item recordAbstract
Sistem pengelolaan SDA di Indonesia terdistribusikan dalam sektor-sektor (situation) sehingga mempengaruhi penyusunan aturan main dalam pengelolan SDA yang ada, baik yang tertulis maupun tidak tertulis (structure). Aturan main tersebut mempengaruhi perilaku pengusaha dan penguasa (pemerintah) dalam pelaksanaan pengurusan SDA (behaviour) sehingga memunculkan persoalan konflik pemanfaatan SDA yang masih terus terjadi dan bermuara pada kerusakan SDA itu sendiri (performance). Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memformulasikan kebijakan yang tepat dalam mengungkap dan menyelesaikan kebijakan usaha tambang berkelanjutan di kawasan hutan. Untuk mencapai umum tujuan itu, maka dijabarkan tujuan-tujuan khusus sebagai berikut: (1) Menganalisis kinerja dan perilaku aktor dalam kebijakan pengurusan tambang di kawasan hutan; (2) Menganalisis kelembagaan kesejarahan dan situasi dalam kebijakan pengurusan tambang di kawasan hutan; (3) Memformulasikan penataan kelembagaan untuk meningkatkan kinerja kebijakan pengurusan tambang di kawasan hutan.
Penelitian ini dilaksanakan di Kalimantan Timur dengan fokus lokasi di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Samarinda. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam terhadap informan, pengamatan terlibat dan review dokumen. Informan terdiri dari 10 orang di tingkat pusat, 15 orang di tingkat provinsi, 20 orang di tingkat kabupaten terdiri dari Kementerian Kehutanan dan unit pelaksana teknisnya di daerah, Tim Pinjam Pakai Kawasan Hutan, perguruan tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), konsultan, masyarakat dan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP). Informan kunci ini ditentukan secara snowball. Pada penelitian ini digunakan pendekatan kelembagaan dan SSBP (situation, structure, behavior, performance) yang didukung dengan analisis isi (content analysis), analisis pemangku kepentingan (stakeholder analysis) dan analisis deskriptif kualitatif.
Situasi kebijakan ditandai oleh karakteristik SDH yang secara dejure dikuasai pemerintah, tetapi defacto open access, sifat keberadaan tambang di atas permukaan lahan, biaya transaksi yang tinggi untuk memperoleh informasi potensi dan sebaran batubara, dan pola interaksi, komunikasi dan koordinasi antar pemerintahan yang kurang lancar sehingga menambah biaya pelaksanaan kebijakan (policing cost). Situasi tersebut mempengaruhi penyusunan struktur kebijakan usaha tambang di kawasan hutan. Kelembagaan kesejarahan menunjukan bahwa kebijakan usaha pertambangan sejak era kolonial hingga era reformasi (path dependency) belum mengalami perubahan, dimana sektor pertambangan dan kehutanan masih ditempatkan sebagai tumpuan dan penopang pertumbuhan ekonomi melalui rezim ekstraksi SDA tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungannya. Persoalan konflik kebijakan tidak muncul di era Kolonial dan mulai muncul pada era Orde Lama dalam bentuk konflik laten. Pada era Orde Baru muncul konflik permukaan karena penetapan areal yang sama untuk wilayah
tambang dan kawasan hutan, namun konflik tersebut dapat diredam dengan keberadaan Inpres No.1/1976 sebagai salah satu solusi atas konflik pemanfaatan lahan.
Struktur kebijakan mempengaruhi perilaku aktor pemerintah yang masih melakukan ‘negosiasi’ dan melakukan kolusi, korupsi dan nepotisme dalam proses perizinan dan pelaksanaan kebijakan dengan pelaku usaha. Pelaku usaha (agent) dengan kekuatan modal berupa rente ekonomi yang tinggi (US$ 20 per ton), SDM yang berkualitas, jejaring kekuasaan yang luas, dan teknologi informasi yang canggih telah mempengaruhi pemerintah (principal) dalam menyusun kebijakan publik yang diarahkan untuk keamanan dan keuntungan bagi kepentingan bisnisnya. Hal ini menunjukkan ada ketidakseimbangan kekuasaan dan ketimpangan informasi antara pelaku usaha dengan aparatur negara yang memunculkan kasus penyalahgunaan kekuasaan dan penyimpangan di lapangan. Contohnya pelaku usaha yang berorientasi hit and run dan rent seekers, tidak memiliki NPWP dan menunggak pembayaran royalti dan dana jaminan reklamasi masih tetap dapat beroperasi dengan aman.
Pada akhirnya perilaku aktor menghasilkan pelaksanaan usaha tambang di kawasan hutan yang ditandai dengan biaya transaksi yang tinggi dalam proses perizinan, kegiatan reklamasi yang tidak dilaksanakan, ketimpangan alokasi produk batubara untuk kebutuhan domestik dan ekspor batubara, manipulasi produksi dan ekspor batubara, dan ketidak konsistenan kebijakan pengurusan tambang di kawasan hutan. Dengan demikian, beberapa poin penting perbaikan kelembagaan sebagai opsi kebijakan usaha tambang di kawasan hutan adalah pengaturan atau pengendalian perilaku pelaku usaha tambang; penguatan nilai kebijakan dan birokrasi pemerintah; penyempurnaan aturan yang digunakan; pemenuhan keseimbangan informasi untuk menghindari asymmetric power and information; pengaturan kembali persoalan rente ekonomi; dan peningkatan koordinasi dan komunikasi.