Penentuan Awal Bulan Baru Penanggalan Hijriah Berdasarkan Pendekatan Ethnooceanography Dan Ethnoastronomy
View/Open
Date
2016Author
Salnuddin
Nurjaya, I Wayan
Jaya, Indra
Natih, Nyoman. M. N.
Metadata
Show full item recordAbstract
Pergerakan matahari dan bulan terhadap rotasi bumi menjadi rujukan sistem
waktu di bumi, dimana pergerakan bulan menjadi dasar sistem penanggalan Hijriah
(lunar system). Pemaknaan penanggalan Hijriah melalui proyeksi posisi bulan
(Ethnoastronomy) dan pergerakan pasang surut (Ethnooceanography) sebagai
nilai-nilai kearifan lokal telah lama diketahui dan diaplikasikan oleh masyarakat
Indonesia timur. Suku Sama menerapkannya pada konstruksi rumah dan bagan
tancap, Suku Muna/Buton dan Bugis dalam manajemen pelayaran, sedangkan
masyarakat di Pulau Tidore mengaplikasikannya pada penentuan awal bulan
Ramadhan dan Syawal. Bentuk aplikasi mereka tersebut belum pernah dilakukan
kajian ilmiah, sehingga perlu untuk dikaji melalui suatu penelitian. Penelitian ini
memiliki empat tujuan utama yaitu; 1) Menentukan variasi tunggang air melalui
nilai amplitudo konstituen harmonik pergerakan pasang surut dari pengelompokkan
data berdasarkan sistem penanggalan Masehi dan Hijriah; 2).Membuktikan
karakteristik pasang surut berdasarkan Ethnooceanography dan Ethnoastronomy
dari masyarakat Tidore dan Suku Pelaut; 3) Mencari dasar secara ilmiah
(oseanografi) bagian dari karakteristik pergerakan vertical pasang surut dari Suku
Sama dlam menentukan tunggang air dan cara Joguru Kesultanan Tidore
menentukan awal bulan baru Hijriah dan 4). Membangun solusi penentuan awal
bulan Hijriah bagi masyarakat di Indonesia berdasarkan karakteristik pergerakan
pasang surut.
Perhitungan konstituen harmonik pasang surut, data sebaiknya tersusun
berdasarkan penanggalan Hijriah. Susunan data awal yang dimulai dengan fase
bulan baru (penanggalan Hijriah) menghasilkan deviasi amplitudo relatif stabil dan
membentuk pola yang sama sepanjang tahun. Perhitungan tunggang pasang surut
dengan Metode Suku Sama (MSS) sangat effektif, hanya menggunakan dua data
pengukuran yang hasilnya sama dengan perhitungan menggunakan nilai konstituen
harmonik; Tunggang air atau Likkas Silapas (LS) selain bulan Sya’ban berada di
bawah nilai tunggang air rata-rata atau Mean Highest Water Level (MHWL) dan
pengukuran tunggang air dengan MSS tidak dapat diterapkan untuk pengukuran
pasang surut di fase bulan baru.
Selisih tinggi air atau Likas boe (LB) bulan Sya’ban relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan bulan lainnya; adanya kesamaan penggunaan nilai 1/3 (33 %)
dari persamaan perhitungan tunggang air dengan menggunakan MSS dan dengan
menggunakan selisih rasio amplitudo; Tunggang air rata-rata atau Mean Hightest
Water Level (MHWL) tidak memberi pengaruh nyata tiap bulan Hijriah (Fhit < 0.5),
sedangkan tunggang air tinggi tertinggi (Hight Hightest Water Level) atau HHWL
memberi pengaruh yang nyata (Fhit > 0.5); Tunggang air HHWL di Bulan Sya’ban,
Dzulhijjah dan Djumadil awal lebih berpengaruh nyata pada nilai tunggang air
dibandingkan bulan lainnya.
Cara suku pelaut (Metode Manzillah) effektif dalam mengidentifikasi waktu
dalam penanggalan Hijriah dan variasi tingi air (peak) melalui penentuan posisi
bulan terhadap “Rasi bintang 7 (RB7). Metode Manzillah mempunyai dasar ilmiah
iii
untuk menentukan variasi tinggi pergerakan pasang surut dalam periode bulan dan
tahun Hijriah, makin jauh bulan dari ekuator langit (RB7) dengan deklinasi negatif
(Dec -) maka tinggi air pasang surut peak I < peak II (siklus harian) pergerakan
pasang surut dan sebaliknya jika deklinasi positif (Dec +) maka peak I > peak II
dan posisi bulan di sekitar ekuator langit (peak I peak II).
Penentuan awal bulan baru dengan Metode Joguru (MJ) merupakan hasil
“Ijtihad” akibat bulan sabit tipis (Hilal) di awal bulan baru Ramadhan dan Syawal
tidak pernah terlihat di wilayah Tidore dan sekitarnya. Ada korelasi yang kuat (R2
= 0.87 – 0.85) antara variasi tinggi air tiap peak I dan II terhadap awal masuknya
bulan baru Hijriah; Koefesien determinasi (R2) untuk parameter Gaussian dan
slackwater memberi karakter hari masuknya bulan baru Hijriah, dengan makin
bergesernya hari menuju bulan baru, maka makin kecil nilai koefesien
determinasinya; Waktu terjadinya slackwater (tsw) dan median menjadi indikator
penentu masuknya awal bulan baru Hijriah (Ramadhan dan Syawal).
Menggantikan indikator awal bulan Hijriah dari Hilal (first new cresent)
yang tidak nampak di Tidore ke slackwater merupakan pendekatan ilmiah untuk
menentukan awal bulan baru Hijriah dengan memindahkan waktu pemantauan
sebesar 3 jam (45o) sebelum matahari tenggelam; Waktu pemantauan dengan
Metode Joguru (slackwater) harus dilakukan setelah shalat Ashar dengan waktu
kritis sebesar 54 menit; Perbandingkan waktu masuknya bulan Ramdhan dan
Syawal dari Metode Joguru dengan data referensi mempunyai kesesuaian
(akurasinya 100 %); Ada indikasi wilayah Indonesia menjadi batas penanggalan
Hijriah.
Metode Joguru memberi solusi penentuan awal bulan baru hijriah di
Indonesia yaitu; Metode Joguru dijadikan metode baku (referensi baru) dalam
penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawal untuk wilayah yang tidak pernah
menyaksikan hilal sekaligus dapat melakukan sidang isbat secara terpisah dengan
sidang isbat untuk wilayah Indonesia barat; Metode Joguru segera diaplikasikan
kembali penggunaannya oleh Kesultanan Tidore, dimana informasi lain yang
dihasilkan dapat menentukan lokasi optimum pemantauan Hilal diwilayah barat
Indonesia dengan merujuk titik ikat waktu ijtimak dengan indikator waktu
slackwater (tsw) terhadap waktu shalat Ashar; Lokasi pemantuan Hilal optimum
yang merujuk dari Metode Joguru harus menjadi dasar referensi lokasi dan waktu
terlihatnya Hilal guna mengambil keputusan saat sidang isbat penentuan awal bulan
baru Ramadhan dan Syawal di wilayah Indonesia barat; Pendekatan referesi waktu
pengukuran jam matahari yang merujuk pada waktu shalat fardhu dapat
diaplikasikan untuk kriteria ketampakan Hilal (tinggi bulan) dari pemantauan Hilal
di lokasi lain.