Pengendalian Konversi Lahan Pertanian Di Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali: Analisis Kelembagaan Subak Dan Pakraman
Abstract
Konversi lahan pertanian tidak terlepas dari situasi ekonomi secara
keseluruhan. Situasi ekonomi yang menguntungkan di suatu wilayah selanjutnya
akan mendorong terjadinya proses migrasi penduduk ke wilayah tersebut sehingga
akan berdampak pada pergeseran lahan pertanian ke penggunaan lainnya.
Penyebab pertama, kebijakan yang kontradiktif terjadi karena di satu pihak
pemerintah berupaya melarang terjadinya alih fungsi, tetapi di sisi lain kebijakan
pertumbuhan industri atau manufaktur dan sektor non pertanian lainnya justru
mendorong terjadinya alih fungsi lahan-lahan pertanian. Penyebab kedua, cakupan
kebijakan yang terbatas. Peraturan-peraturan tersebut di atas baru dikenakan
terhadap perusahaan-perusahaan atau badan hukum yang akan menggunakan
tanah atau akan merubah tanah pertanian ke non pertanian. Perubahan
penggunaan tanah sawah ke non pertanian yang dilakukan secara
individual/peorangan belum tersentuh oleh peraturan-peraturan tersebut, di sisi
lain perubahan fungsi lahan yang dilakukan secara individual secara langsung
diperkirakan cukup luas. Dalam kenyataannya, Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) justru merencanakan untuk mengkonversi tanah sawah beririgasi teknis
menjadi non pertanian.
Kelemahan lain penyebab konversi lahan pertanian adalah lemahnya
peraturan perundangan yang ada, yaitu: (1) Objek lahan pertanian yang dilindungi
dari proses konversi ditetapkan berdasarkan kondisi fisik lahan, padahal kondisi
fisik lahan relatif mudah direkayasa, sehingga konversi lahan dapat berlangsung
tanpa melanggar peraturan yang berlaku; (2) Peraturan yang ada cenderung
bersifat himbauan dan tidak dilengkapi sanksi yang jelas, baik besarnya sanksi
maupun penentuan pihak yang dikenai sanksi; (3) Jika terjadi konversi lahan
pertanian yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku sulit ditelusuri
lembaga yang paling bertanggung jawab untuk menindak karena ijin konversi
adalah keputusan kolektif berbagai instansi.
Pembangunan yang mendominasikan pariwisata sebagai basis
pertumbuhan akan menghadapi masalah bagi masyarakat lokal. Secara evolutif,
hubungan antara wisatawan dengan masyarakat lokal menyebabkan terjadinya
proses komersialisasi dari keramahtamahan masyarakat lokal. Pada awalnya
wisatawan dipandang sebagai 'tamu' dalam pengertian tradisional, yang disambut
dengan keramahtamahan tanpa motif ekonomi. Dengan semakin bertambahnya
jumlah wisatawan, maka hubungan berubah terjadi atas dasar pembayaran, yang
tidak lain daripada proses komersialisasi, dimana masyarakat lokal sudah mulai
agresif terhadap wisatawan, mengarah kepada eksploitasi dalam setiap interaksi,
tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang.
Berkembangnya industri pariwisata modern, seperti maraknya villa,
cottage, atau hotel telah mengubah struktur agraria dalam konteks penguasaan
tanah dari makna tanah yang bersifat kolektif dalam organisasi produksi agraria
subak menjadi makna tanah yang bersifat privat individualistik, manakala tanahtanah
berubah peruntukannya menjadi hotel yang komersial, seperti yang terjadi
di Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali. Kondisi ini mempengaruhi keberadaan
subak yang basis filosofi agrarianya “kolektivitas” dalam pendistribusian air
berubah menjadi disfungsional karena struktur agrarianya menjadi privat
individualistik. Ketidakberfungsian subak melalui “proses individualisasi
penguasaan tanah” menyebabkan laju konversi lahan pertanian dari peruntukan
pangan ke non pangan (turisme) meluncur dengan hebat.
Terkait dengan uraian permasalahan di atas, penelitian ini memiliki tiga
tujuan, yaitu: (1) mengetahui peran stakeholder dan kelembagaan lokal dalam
mencegah konversi lahan pertanian; (2) merumuskan model pengendalian
konversi lahan pertanian yang berbasis kelembagaan lokal subak dan desa
pakraman; dan (3) merumuskan arahan kebijakan bagi pemerintah daerah dan
kelembagaan lokal subak dan desa pakraman dalam mengendalikan konversi
lahan pertanian. Ketiga tujuan tersebut menggunakan berbagai data yang berasal
dari pemerintah daerah, kelembagaan lokal (subak, desa pakraman), dan sumber
data lainnya.
Tujuan pertama penelitian dijawab dengan menggunakan analisis
stakeholder. Analisis ini dilakukan dengan menganalisis tugas pokok dan fungsi
(tupoksi) masing-masing stakeholder dan kelembagaan subak serta desa pakraman
ke dalam matriks. Tujuan kedua dan ketiga dijawab dengan menggunakan sistem
dinamik. Sistem dinamik pada dasarnya menggunakan hubungan-hubungan
sebab-akibat (causal) dalam menyusun model suatu sistem yang kompleks,
sebagai dasar dalam mengenali dan memahami tingkah laku dinamis sistem
tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Terdapat dua kekuatan
stakeholder yang berpengaruh terhadap laju konversi lahan pertanian, yaitu: (a)
pemerintah daerah dan swasta yang sangat pro konversi lahan; (b) pemerintah
desa pakraman dan subak yang anti konversi lahan. Selama ini pemerintah daerah
dan swasta adalah pihak yang paling dominan dalam menentukan pemanfaatan
ruang sehingga sangat pro konversi lahan. Agar terjadi keseimbangan antara pihak
yang pro dengan yang anti konversi lahan, maka pemerintah desa pakraman dan
kelembagaan lokal subak harus diikutsertakan dalam perencanaan pemanfaatan
ruang. Proposal ini meniscayakan apa yang kemudian dikonseptualisasikan
sebagai “duality of land governance”. Upaya pencegahan konversi lahan pertanian
akan maksimal apabila mengikutsertakan kelembagaan subak di dalam
pengambilan keputusan investasi oleh semua stakeholder mulai dari perencanaan
hingga evaluasi; (2) Kelembagaan lokal subak dan desa pakraman berpengaruh
signifikan dalam mengendalikan konversi lahan melalui efektivitas bekerjanya
awig-awig; (3) Untuk menahan laju konversi lahan pertanian ke peruntukan lain,
maka diusulkan implementasi skenario I. Skenario ini berintikan gagasan model
pengendalian konversi lahan pertanian yang diarahkan pada pengurangan akses
jalan umum yang menuju lahan sawah, peningkatan bantuan pemerintah terhadap
desa (desa wisata), serta dukungan sarana prasarana untuk kelembagaan lokal
subak dan desa pakraman.