dc.description.abstract | Perlawanan komunitas Talangsari/tragedi Talangsari adalah sebuah
perlawanan yang menuntut adanya keadilan agraria pada masa kekuasaan rezim
Orde Baru, akan tetapi perlawanan tersebut distigma sebagai Gerombolan
Pengacau Keamanan yang ingin menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi
lain. Stigma negatif ini sebagai bentuk upaya rezim Orde Baru dalam
meminggirkan peran Islam politik dalam pentas politik nasional. Pada masa
reformasi telah dilakukan upaya untuk menghilangkan stigma negatif tersebut,
akan tetapi sampai saat ini stigma sebagai komunitas pengacau keamanan tetap
disandangnya. Masalahnya adalah : Mengapa di dalam struktur politik yang
terbuka di era demokratisasi saat ini stigmatisasi terhadap perlawanan komunitas
Talangsari tidak mampu dihilangkan secara substansif ?.
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan : (1) kondisi-kondisi hubungan
agraria yang menjadi pemicu utama terjadinya perlawanan komunitas Talangsari,
(2) saling keterkaitan di antara unsur-unsur yang mendukung dilancarkannya aksi
perlawanan komunitas petani Talangsari, (3) menjelaskan proses stigmatisasi
yang dilakukan oleh rezim Orde Baru terhadap komunitas Talangsari,
(4) Seberapa jauh gerakan kolektif komunitas Warsidi di Talangsari mempunyai
kesamaan dengan gerakan kelompok non action mission (kelompok sempalan)
lainnya ?
Penelitian ini sengaja dilakukan di komunitas Talangsari berdasarkan
kreteria tertentu, menggunakan paradigma kritis, dengan desain studi kasus
terhadap komunitas Talangsari, sebagai konsekuensinya adalah digunakan metode
kualitatif. Data dikumpulkan dengan wawancara mendalam, dokumentasi,
observasi dan data sekunder. Sumber data diperoleh dari komunitas Talangsari
yang masih hidup dan berdomisili di dusun Talangsari, instansi pemerintah.
Prosesdan analisis data mengikuti tahapan reduksi data dan klasifikasi
berdasarkan kategori yang dibangun oleh konsep, selanjutnya dibuat hubungan
antar konsep.
Setelah komunitas petani Talangsari melakukan perlawanan pada tahun
1989 yang memakan korban kurang lebih 246 jiwa, negara membangun
(mengkonstruk wacana) bahwa perlawanan yang dilakukan oleh komunitas petani
Talangsari adalah gerombolan pengacau keamanan. Gerombolan pengacau
keamanan tersebut merupakan bentuk nyata ancaman bahaya laten bagi bangsa
Indonesia dari kekuatan kanan (Islam) yang menggunakan ideologi jihad sebagai
basis gerakan dengan tujuan menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi
lain. Pelabelan (stigma negatif) terhadap komunitas Talangsari melalui dua cara;
pertama pelabelan dengan melakukan penilaian yang dilakukan oleh terhadap
perilaku/tindakan sosial yang dianggap menyimpang (devians) dari norma-norma
yang berlaku, sedangkan yang kedua, pelabelan juga dapat dilakukan dengan
melakukan intervensi dalam bentuk tindakan. Oleh sebab itu dalam kamus politik
rezim Orde Baru, upaya stigmatisasi terhadap kekuatan Islam politik adalah
dengan memunculkan kasus melalui program operasi khusus (Opsus). Adapun
yang menjadi tujuan rezim Orde Baru adalah agar kekuatan Islam politik tidak
muncul dalam pentas politik nasional, Islam hanya sebatas ritual.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pertama, adanya ketegangan
struktural antara petani dengan otoritas kawasan hutan register 38 Gunung balak,
yang merupakan prakondisi utama munculnya perlawanan komunitas petani
Talangsari. Kondisi ini dipicu oleh kebijakan pembangunan yang tidak responsif
terhadap kepentingan petani. Kedua, adanya aktor supra lokal yang ikut berperan
menggerakkan petani untuk melakukan perlawanan, aktor supra lokal yang
dimaksud adalah kekuatan di luar komunitas Warsidi tetapi mempunyai agenda
lain yang tujuan jangka panjangnya untuk melemahkan posisi Islam politik di
pentas politik nasional. Ketiga, adanya pelabelan komunitas petani Talangsari
sebagai Gerombolan Pengacau Keamananan yang menggunakan ideologi Islam
(Jihad) sebagai basis gerakan yang berhasil melumpuhkan kolektivitas gerakan
petani. Keempat, Gerakan perlawanan komunitas Warsidi di Talangsari adalah
gerakan yang muncul atas dasar kepentingan ekonomi, yang dilabel sebagai
gerakan keagamaan yang menjadikan ideologi jihad sebagai basis gerakan,
sedangkan perlawanan komunitas Moro di Filipina adalah gerakan perlawanan
yang menuntut kemerdekaan politik (politik Islam) dalam bentuk negara merdeka. | id |