Model Agribisnis Padi Organik Di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat
View/Open
Date
2016Author
Ristianingrum, Anita
Chozin, M.A.
Machfud
Sugiyanta
Mulatsih, Sri
Metadata
Show full item recordAbstract
Semakin meningkatnya jumlah penduduk maka pemerintah perlu
melakukan upaya peningkatan produksi padi. Gerakan revolusi hijau telah
menyebabkan ketergantungan petani terhadap pupuk kimia sangat tinggi dan
penggunaannya seringkali berlebihan. Hal tersebut menyebabkan turunnya bahan
organik tanah sehingga produktivitas lahan menurun. Tahun 2010 pemerintah
menurunkan anggaran subsidi pupuk dari Rp 20 trilyun menjadi Rp 11 trilyun
sehingga harga pupuk semakin meningkat. Penggunaan pupuk kimia secara
intensif juga mengakibatkan pencemaran lingkungan perairan serta produk tidak
sehat. Oleh karena itu perlu dikembangkan sistem pertanian padi organik yang
ramah lingkungan dan berkelanjutan untuk memperbaiki kesuburan lahan dan
mengurangi ketergantungan petani terhadap pupuk kimia sehingga sistem
produksi padi dapat berkelanjutan.
Kabupaten Cianjur sebagai salah satu sentra produksi padi telah
mengalami penurunan produktivitas padi dari 58.45 ku/ha tahun 2010 menjadi
sebesar 56.81 ku/ha pada tahun 2011. Sejak tahun 2007, Balai Besar Wilayah
Sungai Citarum (BBWSC) telah melakukan pelatihan budidaya padi metode
System of Rice Intensification (SRI) organik dengan tujuan meningkatkan kembali
kualitas lahan dan efisiensi air untuk peningkatan produksi padi. Hingga tahun
2012 sebanyak 430 petani Kabupaten Cianjur telah mengikuti pelatihan dan
diharapkan dapat menyebarkan hasil pelatihan ke petani lainnya, namun petani
peserta pelatihan yang menerapkan pertanian padi organik hanya sebanyak 156
orang (36.28%) atau 0.05% dari total petani padi sebanyak 296 549 orang dengan
luas lahan sebesar 79.3 ha atau 0.13 % dari luasan lahan sawah seluas 63 299 ha.
Tujuan penelitian ini adalah: (1) Menganalisis risiko produksi, risiko harga
dan risiko kelembagaan pada pertanian padi organik; (2) Melakukan valuasi
ekonomi pertanian padi organik melalui pendekatan produktivitas lahan dan
menilai kesediaan petani untuk menerima (willingness to accept/WTA)
pembayaran jasa lingkungan pertanian padi organik; (3) Menganalisis faktorfaktor
yang mempengaruhi petani dalam penerapan pertanian padi organik;
(4) Membangun model agribisnis padi organik di Kabupaten Cianjur; dan
(5) Menganalisis status keberlanjutan pertanian padi organik saat ini dan
memprediksi status keberlanjutan pertanian padi organik setelah pengembangan
melalui model agribisnis padi organik di Kabupaten Cianjur.
Data primer diperoleh melalui wawancara dengan pakar dan petani serta
observasi lapangan. Pakar terdiri atas staf Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur,
penyuluh pertanian lapangan (PPL), peneliti Balai Besar Penelitian Tanaman Padi
(BB Padi), staf BBWSC, ketua Gabungan Petani Organik (GPO) dan akademisi.
Jumlah petani contoh sebanyak 52 orang petani padi organik dan 52 orang petani
padi non organik menggunakan metode simple random sampling pada 4
kecamatan dengan jumlah petani padi organik terbanyak. Data sekunder diperoleh
dari laporan Dinas Pertanian, GPO, Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), BBWSC
dan publikasi ilmiah.
Untuk menganalisis risiko produksi dan harga menggunakan ukuran
variance, standard deviation dan coefficient variation. Valuasi ekonomi
menggunakan metode harga pasar (Market Price Method) dan pendekatan
kesediaan petani untuk menerima (Willingness to accept/WTA) pembayaran jasa
lingkungan pertanian padi organik. Untuk menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi pengambilan keputusan petani menggunakan analisis regresi
logistik (logit). Untuk menyusun model agribisnis padi organik menggunakan
metode Interpretive Structural Modeling (ISM). Untuk menganalisis status
keberlanjutan pertanian padi organik menggunakan metode Rap-Organik (Rapid
Appraisal)/Multi Dimensional Scaling (MDS).
Hasil analisis risiko menunjukkan bahwa besarnya risiko produksi
pertanian padi organik sebesar 0.11 ton dan pertanian padi non organik sebesar
0.19 ton untuk setiap 1 ton hasil yang diperoleh. Besarnya risiko harga padi
organik sebesar Rp 0.05 dan padi non organik sebesar Rp 0.12 untuk setiap Rp 1
harga. Faktor penyebab terjadinya risiko produksi dan harga adalah kurangnya
ketrampilan petani dalam budidaya padi organik serta lemahnya manajemen dan
keterbatasan modal dalam pemasaran sehingga posisi tawar petani menjadi
rendah. Risiko kelembagaan yang dihadapi petani adalah Dinas Pertanian/PPL,
kelompok tani, koperasi dan perbankan yang belum menjalankan perannya
dengan baik untuk mendukung pengembangan pertanian padi organik.
Hasil analisis valuasi ekonomi menunjukkan bahwa manfaat kualitas
lingkungan dari pertanian padi organik sebesar Rp 5 021 220.67/ha karena adanya
peningkatan produktivitas padi dan harga serta penurunan biaya produksi. Lahan
sawah di Kabupaten Cianjur seluas 63 299 ha sehingga total manfaat kualitas
lingkungan sebesar Rp 317.84 milyar. Nilai WTA pertanian padi organik sebesar
Rp 5 991 547.37/ha sehingga total manfaat kualitas lingkungan berdasarkan non
market value sebesar Rp 378.78 milyar. Hasil analisis faktor-faktor yang
mempengaruhi petani dalam penerapan pertanian padi organik menunjukkan
bahwa faktor yang berpengaruh signifikan adalah keikutsertaan pelatihan, harga
padi, kebijakan pemerintah dan status pemilikan lahan.
Model agribisnis untuk pengembangan pertanian padi organik yaitu pada
subsistem input diperlukan peningkatan kesadaran dan ketrampilan petani dalam
pembuatan input organik serta ketersediaan bahan organik. Pada subsistem
usahatani, perlunya komitmen pemerintah terhadap pengembangan pertanian padi
organik dan pelatihan untuk meningkatkan ketrampilan budidaya padi organik.
Pada subsistem pemasaran diperlukan pembentukan koperasi untuk pemasaran
bersama. Pada subsistem penunjang perlunya perhatian pemerintah dengan
menetapkan kebijakan khusus untuk pengembangan pertanian padi organik, peran
lembaga penelitian/Perguruan Tinggi untuk menghasilkan teknologi pertanian
padi organik, dan peran perbankan untuk memberikan bantuan permodalan.
Status keberlanjutan pertanian padi organik di Kabupaten Cianjur adalah
kurang berkelanjutan. Indeks keberlanjutan dimensi ekologi sebesar 37.62,
ekonomi sebesar 34.82, sosial sebesar 38.72, infrastruktur dan teknologi sebesar
30.37, serta kelembagaan sebesar 28.35. Setelah dilakukan pengembangan maka
prediksi status keberlanjutan menjadi sangat berkelanjutan. Indeks keberlanjutan
dimensi ekologi sebesar 96.44, ekonomi sebesar 95.95, sosial sebesar 96.40,
infrastruktur dan teknologi sebesar 95.65, serta kelembagaan sebesar 96.30.