Perjuangan Untuk Hidup: Cacing Tanah Melalui Deforestasi Di Bungku (Jambi) Dan Gunung Gede (Jawa Barat)
View/ Open
Date
2016Author
Darmawan, Andy
Suryobroto, Bambang
Atmowidi, Tri
Manalu, Wasmen
Metadata
Show full item recordAbstract
Prinsip Gause, di mana spesies dengan niche yang tidak berbeda saling menyingkirkan, mengakibatkan penurunan keanekaragaman. Prinsip ini telah dibuktikan di laboratorium dan kami menunjukkan prinsip ini berlaku dalam kehidupan nyata. Hal ini diawali oleh manusia yang mengubah lingkungan dengan melalui perubahan hutan menjadi perkebunan. Pada saat yang sama, manusia juga mengintroduksi tanaman agrikultur dan dengan sengaja atau tidak, ikut mengintroduksi cacing tanah bersama tanaman tersebut. Cacing asli dan eksotik dapat hidup bersamaan selama mereka memiliki relung yang berbeda dan kesetimbangan kompetisi tidak tercapai. Namun, deforestasi telah membuat cacing tanah hidup dalam kesetimbangan kompetisi dan mengakibatkan penurunan keanekaragamannya.
Kami memulai penelitian pada bulan Juli 2012. Sampling pertama dilakukan di Desa Bungku, Jambi, Indonesia pada bulan November 2012. Daerah sampling meliputi hutan sekunder, kebun kelapa sawit, kebun karet, dan hutan karet. Kami hanya menemukan satu spesies cacing tanah, yaitu Pontoscolex corethrurus. Sampling kedua dilakukan di Gunung Gede, Jawa Barat, Indonesia antara awal Juli hingga akhir Oktober 2012 dan awal September hingga akhir Desember 2013. Kami mengamati dua daerah, yaitu Bodogol dan Situ Gunung. Daerah sampling meliputi hutan, kebun campuran, dan kebun monokultur.
Kami memperoleh 23 spesies cacing tanah dan 5 spesies (Drawida nepalensis Michaelsen, 1907, Notoscolex javanica (Michaelsen, 1910), Pheretima pura species-group of Sims & Easton, 1972, Polypheretima moelleri (Michaelsen, 1921), dan Polypheretima sempolensis Easton, 1979) merupakan cacing Oriental. Tujuh spesies (Amynthas asiaticus Michaelsen, 1900, Amynthas hupeiensis (Michaelsen, 1895), Amynthas illotus species-group sensu Sims & Easton, 1972, Amynthas morrisi species-group sensu Sims & Easton, 1972, Amynthas robustus (Perrier, 1872), Metaphire planata (Gates 1926), dan Ocnerodrilus occidentalis Eisen, 1878) merupakan cacing yang baru dilaporkan di Indonesia. Cacing lainnya (Amynthas aeruginosus (Kinberg, 1867), Amynthas gracilis (Kinberg, 1867), Amynthas minimus (Horst, 1893), Dichogaster affinis (Michaelsen, 1890), Drawida barwelli (Beddard, 1886), Metaphire californica (Kinberg, 1867), Metaphire javanica (Kinberg, 1867), Perionyx excavatus Perrier, 1872, Pheretima darnleiensis (Fletcher, 1886), Polypheretima bifaria species-group of Easton, 1979, dan Pontoscolex corethrurus (Muller, 1857)) diduga diintroduksi melalui tanaman agrikultur. Cacing yang dominan adalah Ocnerodrilus occidentalis dan Pontoscolex corethrurus.
vi
Pada tulisan ini kami menunjukkan gangguan oleh manusia telah mengubah kondisi lingkungan. Tanaman agrikultur pada studi ini analog dengan percobaan prinsip Gause. Perubahan yang konstan ditunjukkan oleh peningkatan bahang, pH, dan kandungan air tanah, sementara karbon organik menurun. Perubahan lingkungan ini tidak mendukung cacing tanah dengan toleransi rendah sehingga mengakibatkan kematian. Dua spesies yang bertahan, Ocnerodrilus occidentalis dan Pontoscolex corethrurus muncul sebagai cacing tanah yang mendominasi dan saling berkompetisi. Hal tersebut ditunjukkan dengan peningkatan kepadatan salah satu spesies diikuti oleh penurunan kepadatan spesies lainnya. Ocnerodrilus occidentalis mampu mencapai populasi yang tinggi dan mengalahkan Pontoscolex corethrurus pada daerah dengan bahang tanah yang tinggi.