dc.description.abstract | Penyakit bulai pada jagung di Indonesia merupakan kendala utama penurunan produksi karena dapat menyebabkan kehilangan hasil hingga 100%. Penggunaan kultivar tahan bulai yang intensif di tahun 1970-an mampu menurunkan tingkat kejadian penyakit bulai. Namun kejadian penyakit bulai dilaporkan kembali pada tahun 1990-an ketika ada temuan bahwa telah terjadi pematahan ketahanan beberapa kultivar hibrida yang pada mulanya dilaporkan tahan bulai, mulai terinfeksi oleh penyebab bulai. Data penurunan hasil hingga puso, kejadian ketahanan bulai terhadap fungisida, patahnya ketahanan kultivar tahan bulai, serta kejadian penyakit yang selalu ada sepanjang tahun, memicu upaya pengendalian bulai terus dilakukan. Langkah pengendalian yang tepat perlu didukung oleh diagnosis penyebab penyakit yang memadai. Namun hingga kini, identifikasi pseudo fungi penyebab bulai yang tergolong dalam kelas Oomycetes masih sulit dilakukan. Identifikasi secara molekuler terkendala ketiadaan primer spesifik spesies di Indonesia. Langkah pengendalian juga terkendala oleh terbatasnya informasi tentang fisiologi dan ekologi, serta keragaman yang tinggi diantara pseudo fungi penyebab bulai di Indonesia. Oleh karena itu, dilakukan penelitian yang bertujuan mempelajari karakter morfologi, molekuler, fisiologi, dan lingkungan abiotik spesies pseudo fungi penyebab penyakit bulai pada jagung di Indonesia. Penelitian tersebut telah menambah pengetahuan tentang keragaman morfologi, molekuler, gejala dan perubahan fisiologi yang terjadi, serta faktor lingkungan abiotik yang mempengaruhi perkembangan penyakit. Pengetahuan tersebut digunakan dalam penyusunan peta sebar penyakit bulai berbasis morfologi, molekuler dan peta preferensi penyakit berbasis faktor abiotik yang berpengaruh terhadap kejadian penyakit bulai di Indonesia. Pengamatan terhadap jagung bergejala bulai di-13 provinsi di Indonesia menunjukkan adanya tiga kelompok morfologi pseudo fungi penyebab bulai. Kelompok pertama mempunyai konidia dengan bentuk bulat dan agak bulat (spherical dan subspherical) berukuran 12-23 x 25-44 μm dan berdinding tipis, konidiofor bercabang 3 sampai 4 kali berukuran 111-410 μm dilengkapi dengan sterigmata diidentifikasi sebagai P. maydis. Konidia kelompok ke-2 berbentuk spherical berlapis tebal dengan ukuran ketebalan 1-2 μm, berdiameter 9-10 x 10-11 μm, dengan konidiofor membentuk percabangan sebanyak 2 kali teridentifikasi sebagai P. sorghi. Konidia kelompok ke-3 berdinding tipis, berbentuk oval, berdiameter 11-15 x 15-40 μm dengan konidiofor bercabang 3 kali, berukuran 150-300 μm diidentifikasi sebagai P. philippinensis. Spesimen Peronosclerospora sp. aff. P. sorghi asal NTT berbeda dengan spesimen asal Bogor dan Malang, sehingga spesimen P. sorghi asal NTT, berpeluang diusulkan sebagai kandidat jenis baru. Uji konfirmasi secara molekuler menggunakan empat pasang primer spesifik yaitu PmUF/PmUR, PsUF/PsUR, PsrUF/PsrUR, dan PpUF/PpUR direkomendasikan sebagai metode identifikasi pseudo fungi penyebab bulai pada jagung di Indonesia berbasis PCR. Empat pasang primer spesifik tersebut dirancang di area lestari gen penyandi cytochrome oxidase 1, cytochrome oxidase 2, dan area ITS (internal transcribed spacer). Spesimen Peronosclerospora yang ditemukan menunjukkan tingkat keragaman genetik yang tinggi. Analisis sikuen DNA dan asam amino menunjukkan bahwa terjadi variasi yang tinggi antar spesimen pseudo fungi penyebab bulai jagung di Indonesia. Pengamatan terhadap faktor lingkungan abiotik di-5 provinsi di Jawa menunjukkan bahwa spesies pseudo fungi P. maydis lebih banyak dijumpai pada dataran rendah (400 mdpl) dan sedang (400-700 mdpl) bersuhu sekitar 25-30 °C, kelembapan relatif 80-100%, curah hujan 1000-4000 mm/tahun, dan tipe tanah aluvial. Namun kejadian penyakit di-13 provinsi di Indonesia menunjukkan preferensi terhadap curah hujan rerata tahunan yang beragam sesuai dengan spesies penyebab penyakit. Spesies P. maydis dijumpai pada curah hujan dengan kisaran paling lebar yaitu 1000 sampai 4000 mm/tahun, selanjutnya untuk P. sorghi dijumpai pada kisaran 1500-3000 mm/tahun. Spesies P. philippinensis mempunyai kisaran terpendek yaitu 1500-2000 mm/tahun. Preferensi spesies pseudo fungi juga dipengaruhi oleh ketinggian tempat dan lokasi. Pemetaan daerah sebar penyakit bulai dan pemetaan preferensi spesies pseudo fungi penyebab bulai terhadap curah hujan rerata per tahun telah disusun. Peta yang telah disusun dapat digunakan sebagai dasar penentuan kultivar jagung yang akan ditanam di suatu lokasi berbasis karakter lingkungan abiotik yang berpengaruh terhadap penyakit bulai di Indonesia. Variasi gejala di lapangan dan di rumah kaca telah diamati di semua area survei pada fase pertumbuhan tanaman dan kultivar jagung yang berbeda-beda. Kejadian penyakit dengan kisaran tertinggi lebih banyak diamati terjadi pada fase vegetatif tanaman. Keragaman respons tanaman jagung berbeda-beda, dan tidak dipengaruhi oleh jenis kultivar jagung yang ditanam. Variasi gejala yang diamati antara lain gejala klorotik sistemik, klorotik non sistemik, gejala kerdil, gejala daun menyempit dan tegak seperti kipas, serta gejala malformasi tongkol dan biji jagung. Keragaman gejala di lapangan tampaknya berhubungan dengan spesies pseudo fungi penyebab bulai pada jagung. Konfirmasi perubahan fisiologi di rumah kaca menunjukkan bahwa gejala klorosis berkaitan dengan penurunan kandungan total klorofil daun berkisar 75.9% sampai 89.8% dan penurunan konduktansi stomata akibat penutupan stomata oleh propagul pseudo fungi bulai. Abnormalitas tongkol jagung disebabkan oleh gangguan proses fotosintesis yang ditunjukkan dengan penurunan gula total pada daun. Infeksi pseudo fungi pada beberapa kultivar lokal jagung berpengaruh terhadap peningkatan enzim yang berperan dalam pertahanan tanaman terhadap penyakit yakni polifenol oksidase dan peroksidase. Pengetahuan memadai yang dihasilkan dari penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk menunjang penyusunan strategi pengendalian terhadap penyakit bulai jagung di Indonesia. Pengendalian penyakit bulai yang tepat berdasarkan pengetahuan terkini tentang morfologi dan molekuler pseudo fungi penyebab bulai, fisiologi tanaman jagung terinfeksi bulai, dan lingkungan abiotik yang mempengaruhi perkembangan penyakit bulai diharapkan mampu mengurangi risiko kejadian epidemi bulai di tingkat lapangan. | id |