Pengaruh Suhu Inkubasi Pada Bioreproduksi Dan Diferensiasi Seks, Serta Analisis Strategi Reproduksi Penyu Lekang (Lepidochelys Olivacea) Berdasarkan Marka Molekuler Mikrosatelit
View/ Open
Date
2015Author
Dima, Alfred Onisimus Maksimus
Solihin, Dedy Duryadi
Manalu, Wasmen
Boediono, Arief
Metadata
Show full item recordAbstract
Kawasan Pantai Bena merupakan salah satu daerah penyebaran penyu lekang (Lepidochelys olivacea) di Laut Timor sehingga didirikan Taman Buru Bena (TBB). Pendirian TBB merupakan salah satu upaya konservasi terhadap keberadaan penyu tersebut. Penyu lekang tergolong reptil yang dilindungi dengan kategori Appendix I CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) sehingga segala bentuk pemanfaatan dan peredarannya harus mendapat perhatian secara serius. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi potensi biologi dan reproduksi penyu lekang sebagai upaya konservasi populasi penyu lekang. Penelitian ini terdiri atas empat bagian. Penelitian pertama menganalisis pengaruh suhu inkubasi feminin (30-33ºC) pada kuantitas level mRNA aromatase pada penyu hijau (Chelonia mydas) yang berasal dari dua jaringan, yaitu otak dan kompleks Adrenal-Kidney-Gonad (AKG). Penelitian pertama ini merupakan studi pendahuluan untuk menentukan jaringan mana yang digunakan untuk analisis ekspresi gen determinasi seks pada penyu lekang. Penelitian kedua dirancang untuk mengkaji aspek bioreproduksi, morfometrik, dan performa lokomotori penyu lekang yang diinkubasi pada suhu feminin (30-33ºC) dan suhu maskulin (26-27ºC). Penelitian ketiga dirancang untuk mengukur profil ekspresi gen aromatase, Rspond 1, dan steroidogenik faktor-1(SF-1), yang terlibat dalam determinasi seks selama perkembangan embrional penyu lekang yang diinduksi pada suhu feminin (30-33ºC) dan suhu maskulin (26-27ºC). Pengukuran nilai cycle threshold (CT) dilakukan pada tahap perkembangan embrio selama Thermosensitive period (TSP), yaitu stadia perkembangan embrio 23-25 dan setelah TSP, yaitu stadia perkembangan embrio 26-27. Penelitian keempat dirancang untuk mempelajari pola perkawinan penyu lekang betina dan aliran gen dalam populasi alam menggunakan marka mikrosatelit sebagai marka molekuler. Hasil penelitian pertama menunjukkan bahwa gen aromatase yang berasal dari jaringan otak terekspresi dengan nilai rataan cycle threshold (CT) sebesar 30.59 yang tidak berbeda nyata (p˃0.01) dari nilai rataan CT dari jaringan kompleks AKG (31.33). Hal ini berarti bahwa untuk keperluan pengukuran profil ekspresi mRNA gen aromatase pada tukik C. mydas dapat menggunakan jaringan yang berasal dari otak melalui analisis real time-PCR. Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka untuk keperluan penelitian ketiga, RNA dari jaringan otak embrio penyu lekang digunakan untuk mengukur profil ekspresi tiga gen determinasi seks, yaitu gen aromatase, SF-1, dan Rspond 1. Hasil penelitian kedua menunjukkan bahwa telur yang diinkubasi pada suhu feminin (30-33ºC) secara berturut-turut mempunyai periode inkubasi lebih singkat (48-52 hari), daya tetas lebih tinggi (88.33%), dan pertumbuhan embrio yang lebih tinggi. Berkaitan dengan pengukuran morfometrik dan kualitas tukik pascapenetasan menunjukkan bahwa tukik yang diinkubasi pada suhu feminin v memiliki karapas yang lebar, plastron yang panjang dan lebar, flipper dan lengan belakang yang panjang, leher yang panjang, frekuensi ayunan flipper yang lebih banyak, ukuran panjang leher relatif, panjang flipper relatif, dan postur tubuh yang lebih besar dibandingkan dengan tukik yang ditetaskan pada suhu maskulin. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa induksi dengan suhu feminin memengaruhi bioreproduksi, morfometrik tukik, dan performa lokomotori penyu lekang. Hasil penelitian ketiga menunjukkan bahwa level ekspresi gen aromatase dan Rspond 1 setelah TSP pada embrio yang diinkubasi pada suhu feminin lebih tinggi dan berbeda dari yang diinkubasi pada suhu maskulin. Sebaliknya, pengukuran ekspresi gen SF-1 pada penyu lekang menunjukkan bahwa tidak berbeda nyata di antara kedua suhu inkubasi pada semua stadia perkembangan embrio penyu lekang. Meskipun demikian, data empiris menunjukkan bahwa level ekspresi SF-1 pada semua stadia perkembangan embrio penyu lekang lebih tinggi pada suhu maskulin dibandingkan dengan pada suhu feminin. Dengan demikian, gen aromatase dan Rspond 1 memegang peranan penting dalam diferensiasi ovarium penyu lekang yang diinkubasi pada suhu feminin, sedangkan gen SF-1 berpengaruh pada diferensiasi testis penyu lekang yang diinkubasi pada suhu maskulin. Hasil penelitian keempat menunjukkan bahwa penggunaan lima lokus mikrosatelit (OR-1,OR-4, OR-7, OR-11, dan OR-14), dapat mendeteksi peristiwa paternitas majemuk dengan sebaran alel paternal, yaitu lokus OR-11 (3 alel), OR- 4 dan OR-1 (2 alel), dan OR-14 (1 alel). Berdasarkan jumlah alel tukik yang ditemukan pada lokus OR-11, fakta ini mempertegas bahwa penyu lekang betina di perairan Taman Buru Bena melakukan perkawinan dengan lebih dari satu jantan (poliandri). Hasil analisis CERVUS menunjukkan rataan jumlah kandidat jantan sebanyak 2 ekor. Fakta ini menegaskan bahwa peristiwa peternitas majemuk terjadi pada populasi penyu lekang di perairan Laut Timor. Hasil penelitian ini secara keseluruhan memberikan fakta-fakta ilmiah bahwa suhu inkubasi dapat memengaruhi bioreproduksi, morfometrik, performa lokomotori, dan profil ekspresi gen determinasi seks tukik penyu lekang. Artinya, perubahan iklim mikro di sarang inkubasi telur akan memengaruhi fenotipe penyu lekang sebagai spesies yang bergantung suhu (Temperature-dependent Sex Determination=TSD). Berkaitan dengan strategi konservasi genetik, tingkah laku reproduksi penyu betina yang melakukan perkawinan dengan sejumlah penyu jantan (poliandri), yang berhubungan dengan peristiwa paternitas majemuk, dapat meningkatkan ukuran populasi dan keragaman genetik populasi penyu lekang di perairan Taman Buru Bena.