Kutu Putih Ubi Kayu, Phenacoccus Manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae), Hama Invasif Baru Di Indonesia

View/Open
Date
2015Author
Wardani, Nila
Rauf, Aunu
Winasa, I Wayan
Santoso, Sugeng
Metadata
Show full item recordAbstract
Kutu putih Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae) merupakan hama asing invasif yang berasal dari Amerika Selatan. Di Indonesia, hama ini pertama kali ditemukan menyerang pertanaman ubi kayu di Kecamatan Sukaraja, Bogor pada pertengahan tahun 2010. Kegiatan penelitian meliputi: (a) survei petani, (b) studi ekologi dan perkembangan populasi dan serangan kutu putih di lapangan, (c) studi potensi peningkatan populasi kutu putih pada varietas ubi kayu yang memiliki kadar sianida yang berbeda, dan (d) studi potensi pemangsaan oleh predator utama. Survei petani dilakukan di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, dengan mewawancarai 60 petani ubi kayu. Perkembangan populasi dan serangan kutu putih dan musuh alami dilakukan pada tiga varietas ubi kayu. Pengamatan dilakukan setiap dua minggu pada 40 tanaman contoh untuk setiap varietas. Studi neraca hayati P. manihoti dilakukan pada dua varietas ubi kayu yang memiliki kadar sianida berbeda. Studi pemangsaan predator Plesiochrysa ramburi (Schneider) (Neuroptera: Chrysopidae) pada kutu putih P. manihoti dilakukan dalam cawan petri di laboratorium. Hasil wawancara dengan petani menunjukkan sebanyak 52% responden berumur lebih dari 60 tahun, dengan pekerjaan utama adalah bertani. Tingkat pendidikan petani umumnya (83%) tamatan atau pernah sekolah SD. Petani ubi kayu umumnya (67%) tidak tergabung dalam kelompok tani. Sebanyak 73% responden menyatakan tidak pernah berhubungan dengan tenaga penyuluh pertanian. Luas lahan yang diusahakan untuk pertanaman ubi kayu umumnya (88%) kurang dari 0.50 ha. Petani di lokasi penelitian umumnya (87%) berstatus sebagai penggarap, dengan pengalaman bertanam ubi kayu lebih dari 15 tahun. Penanaman ubi kayu tidak tergantung pada musim, tetapi dilakukan kapan saja saat lahan kosong. Varietas ubi kayu yang paling banyak ditanam oleh petani yaitu Roti (90%), disusul oleh Manggu (15%) dan Jimbul (5%). Sebagian besar petani (97%) menggunakan kotoran kambing sebagai pupuk kandang, dan sisanya (3.3%) menggunakan kotoran ayam. Pupuk kandang diberikan sebanyak satu kali yaitu pada saat tanaman berumur 15-30 hari dengan dosis 11-15 ton/ha. Pupuk urea diberikan sebanyak dua kali, pada saat tanaman berumur 3 dan 7 bulan, dengan dosis 200-500 kg/ ha. Penyiangan gulma umumnya (68%) dilakukan sebanyak dua kali yaitu pada saat ubi kayu berumur 4 dan 8 bulan. Panen umumnya (92%) dilakukan pada saat ubi kayu berumur 10-13 bulan. Petani ubi kayu umumnya (87%) menyebutkan kutu putih P. manihoti merupakan hama yang paling penting pada pertanaman ubi kayu. Sebagian besar petani (82%) mengemukakan bahwa hama kutu putih mulai menyerang tanaman ubi kayu sejak tahun 2007. Tampaknya mereka menyamakan kutu putih P. manihoti dengan kutu putih pepaya (Paracoccus marginatus) yang juga menyerang ubi kayu. Hampir separuh responden menyatakan bahwa serangan kutu putih menyebabkan kehilangan hasil berkisar 40-50%. Walaupun demikian, umumnya petani tidak melakukan tindakan pengendalian. Pengamatan lapangan menunjukkan bahwa gejala bunchy top mulai terlihat sejak tanaman berumur 8 mst dan meningkat dengan cepat mulai 16 mst, bersamaan dengan datangnya musim kemarau (Mei-Juni). Perkembangan tingkat serangan lebih cepat terjadi pada varietas Jimbul; pada 18 mst seluruh tanaman telah meperlihatkan gejala bunchy top. Sementara pada varietas Roti dan Manggu, 100% gejala bunchy top berturut-turut terjadi pada 30 dan 36 mst. Terdapat pola hubungan antara saat awal terjadi serangan dengan tinggi tanaman dan bobot umbi yang dihasilkan. Tanaman ubi kayu yang terserang sejak muda berukuran lebih pendek dan menghasilkan bobot umbi yang lebih rendah, dibandingkan bila serangan terjadi setelah tanaman berumur lebih lanjut. Lebih rendahnya hasil panen pada varietas Jimbul (0.94 kg / pohon) daripada varietas Manggu (3,16 kg / pohon), diduga karena pada varietas yang disebut pertama serangan kutu putih terjadi lebih awal dan lebih berat. Musuh alami yang paling banyak dijumpai di pertanaman ubi kayu yang terserang kutu putih adalah predator P. ramburi. Predator ini biasanya meningkat populasinya di akhir musim kemarau, pada saat populasi kutu putih sudah mencapai puncaknya dan tanaman ubi kayu sudah terserang berat. Kelimpahan P. ramburi lebih tinggi pada varietas Jimbul yang memiliki tingkat serangan kutu putih yang lebih berat. Banyaknya predator yang ditemukan mencapai 100 butir telur, 80 ekor larva, dan 70 ekor pupa per pohon yang terjadi pada 24 mst. Perikehidupan P. manihoti sangat dipengaruhi oleh varietas ubi kayu. Masa inkubasi telur P. manihoti berlangsung 7.93±0.09 dan 8.33±0.11 hari, masa perkembangan nimfa 12.32±0.13 dan 15.67±0.13 hari, berturut-turut pada varietas UJ-5 dan Adira-1. Rataan keperidian adalah 386.37±5.83 pada UJ-5 dan 318.67±2.81 butir telur pada Adira-1. Laju pertambahan intrinsik (rm) adalah 0.258±0.001 pada UJ-5 dan 0.220±0.001 pada Adira-1. Rataan masa generasi (T) pada UJ-5 dan Adira-1 berturut-turut 22.795±0.050 dan 25.532±0.047 hari. Keseluruhan hasil penelitian menunjukkan bahwa varietas UJ-5 lebih sesuai bagi perkembangan dan pertumbuhan populasi kutu putih ubi kayu. Larva instar-1 P. ramburi paling banyak memangsa kutu putih instar-1 (72 ekor), diikuti oleh instar-2 (42 ekor ), instar-3 (11 ekor), dan hanya sedikit memangsa imago kutu putih (1 ekor). Larva predator instar-2 memangsa kutu putih nimfa instar-1, instar-2, instar-3, dan imago berturut-turut 89, 92, 20, dan 8 ekor. Sementara larva P. ramburi instar-3 paling banyak memangsa kutu putih nimfa instar-2 (151 ekor ), dibandingkan instar-1 (142 ekor), instar-3 (71 ekor), dan imago (57 ekor). Seekor larva P. ramburi diperkirakan mampu memangsa sebanyak 757 ekor kutu putih dari berbagai instar selama hidupnya. Penelitian lanjutan khusus pada larva instar-3 P. ramburi menunjukkan preferensi pemangsaan terhadap kutu putih nimfa instar-1 dan instar-2 dibanding terhadap instar-3 dan imago. Indeks preferensi (Li) bernilai positif untuk nimfa instar-1 dan instar-2, serta negatif untuk instar-3 dan imago. Preferensi terhadap nimfa instar- 1 dan instar-2 berkaitan dengan masa penanganan yang lebih singkat pada mangsa yang berukuran lebih kecil. Hubungan antara kerapatan mangsa dan tingkat pemangsaan menunjukkan tanggap fungsional tipe-2, dengan laju pemangsaan (a) dan masa penanganan mangsa (Th) berturut-turut 0.24/jam dan 0.69 jam.
Collections
- DT - Agriculture [754]