Model Pemberdayaan Petani dalam Mewujudkan Desa Mandiri dan Sejahtera (Kajian Kebijakan dan Sosial Ekonomi tentang Ketahanan Pangan pada Komunitas Desa Rawan Pangan di Jawa)

Date
2007Author
Sumarti, Titik
Nasdian, Fredian Tonny
Pranadji, Tri
Rachman, Handewi Purwati S.
Sonaji, Rais
Masithoh, Siti
Metadata
Show full item recordAbstract
Masalah ketahanan pangan dan juga masalah kemiskinan pada hakikatnya merupakan masalah pembangunan masyarakat pedesaan, sehingga pembangunan ketahanan pangan seharusnya difokuskan pada upaya memberdayakan dan mensejahterakan masyarakat di pedesaan, khususnya keluarga (rumahtangga) petani gurem. Tujuan jangka panjang penelitian ini adalah menyusun model pemberdayaan petani untuk ketahanan pangan. Sedangkan tujuan jangka pendek adalah melakukan review arah, tujuan, pendekatan program yang terkait dengan kebijakan ketahanan pangan (program desa mandiri pangan); mengkaji dinamika sosial, budaya, ekonomi, dan politik masyarakat di daerah rawan pangan berbasis pada keragaman modal sosial dan ekologi setempat; serta mengkaji kelembagaan lokal dan ketahanan pangan rumah tangga petani. Penelitian dilakukan dengan: (1) review pendekatan dan implementasi program-program kebijakan ketahanan pangan pada aras makro (pusat), meso (daerah) dan mikro (komunitas); (2) mengidentifikasi potensi dan isue strategis sosial-budaya, ekonomi, politik dan lingkungan masyarakat; (3) mengidentifikasi karakteristik kelembagaan lokal dan interaksinya dengan kelembagaan intervensi ketahanan pangan; (4) mengidentifikasi kondisi ketahanan pangan rumahtangga petani. Penelitian dilakukan di dua kabupaten yang telah ditetapkan sebagai lokasi program aksi desa mandiri pangan (TA 2006), yaitu kabupaten Garut, Jawa Barat: desa Cigadog kecamatan Cikelet dan desa Girijaya kecamatan Kersamanah; dan kabupaten Klaten, Jawa Tengah: desa Jambakan kecamatan Bayat dan desa Glagah kecamatan Jatinom. Hasil penelitian menunjukkan bahwa; pertama, implementasi program desa mandiri pangan baru pada tahap penumbuhan kelompok afinitas, Garut-Jawa Barat relatif lebih berhasil dibandingkan di Klaten-Jawa Tengah. Kedua, keberhasilan tersebut terletak pada proses dan peran pendampingan. Ketiga, tumbuhnya motivasi kesadaran akan kemampuan warga sendiri (self help community). Keempat, tumbuhnya kesadaran warga setempat akan pentingnya kerja, kerjasama dan kesepakatan yang diwujudkan dalam aktifitas nafkah masing-masing dan penumbuhan kelompok afinitas. Kelima, tumbuhnya kepercayaan antara warga setempat dengan pemimpin, dimana warga didorong untuk menumbuhkan kemampuan mengelola kelembagaan yang mereka butuhkan.