Analisis Kelembagaan Pemanfaatan Sumberdaya Taman Nasional Sebangau-Kalimantan Tengah
View/ Open
Date
2014Author
Susetyo, Edi Sulistyo Heri
Basuni, Sambas
Satria, Arif
Hidayat, Aceng
Metadata
Show full item recordAbstract
Masalah yang dihadapi dalam mengelola taman nasional di Indonesia adalah terlalu mahalnya biaya untuk mengeluarkan atau membatasi orang yang mengambil manfaat sumberdaya taman nasional, termasuk menjaga batas taman nasional agar tidak dimasuki orang. Dalam situasi seperti ini dapat dikatakan bahwa sumberdaya taman nasional bersifat open acces dan karenanya banyak para penunggang gratis (free riders). Sumberdaya taman nasional tergolong common pool resources (CPRs), yaitu tipe sumberdaya yang bersifat substraktif tinggi (highsubstractable) dan bersaing (rivalry) dalam memanfaatkannya karena tersedia secara terbatas. Akibatnya, pemanfaatan unit sumberdaya taman nasional oleh seseorang akan mengurangi ketersediaannya bagi orang lain. Lebih daripada itu, jika dimanfaatkan secara berlebih akan menimbulkan eksternalitas negatif dan kerusakan pada sistem sumberdaya itu sendiri sehingga terjadi apa yang disebut dengan tragedy of the common. Penelitian ini dilakukan untuk mengungkap kelembagaan informal dalam memperkuat kelembagaan formal untuk mencapai tujuan pengelolaan TNS. Untuk mencapai tujuan tersebut maka ditetapkan tujuan antara sebagai berikut: (1) mengidentifikasi dan menganalisis aktor yang terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya TNS; (2) mengidentifikasi dan menganalisis interaksi antar aktor dalam pemanfaatan sumberdaya TNS; (3) mengidentifikasi dan menganalisis kelemahan-kelemahan kelembagaan formal dalam pemanfaatan sumbedaya TNS; (4) mengidentifikasi dan menganalisis kelembagaan informal dalam pemanfaatan sumberdaya TNS; dan (5) merumuskan strategi penguatan kelembagaan pemanfaatan sumberdaya TNS. Hasil analisis kelembagaan formal menunjukkan bahwa terdapat tiga faktor yang menyebabkan rendahnya kinerja pemanfaatan TNS.Pertama, TNS belum menyiapkan prasyarat utama untuk dapat memanfaatkan sumberdaya TNS secara berkelanjutan, yaitu sistem zonasi. Hal ini mengakibatkan: (1) Balai TNS (BTNS) tidak dapat mengembangkan pemanfaatan jasa wisata secara intensif dan menyeluruh, (2) tidak ada wilayah (zona) bagi masyarakat untuk dapat memanfaatkan sumberdaya TNS secara tradisional. Belum adanya sistem zonasi merupakan masalah umum taman nasional di Indonesia. Sampai tahun 2011, baru 62% taman nasional yang telah memiliki sistem zonasi dan telah ditetapkan oleh Pemerintah. Kedua, Surat Keputusan Menhut No. 447/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL) tidak sejalan dengan peraturan di atasnya yaitu PP 13/1994 tentang Perburuan Satwa Buru, PP 8/1999 tentang Pemanfaatan TSL, PP 28/2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA), UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. Berdasarkan SK 447/2003, pemanfaatan TSL di taman nasional dilarang. Larangan ini menjadi sumber konflik antara BTNS dengan masyarakat setempat dan telah berakibat pada rendahnya kinerja pemanfaatan sumberdaya TNS.Ketiga, adanya perbedaan perlakuan terhadap masyarakat setempat yang memanfaatkan TSL akibat perbedaan penafsiran diantara pegawai BTNS atas istilah HHBK dan TSL. Masyarakat yang memanfaatkan getah jelutung di TNS tidak ditangkap petugas walaupun mereka tidak memiliki ijin sementara masyarakat setempat yang memanfaatkan kulit gemor ditangkap dan diadili karena pengambilannya dilakukan dengan cara menebang pohonnya. Saat ini, aktor-aktor yang terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya TNS dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok.Pertama, kelompok aktor yang memanfaatkan sumberdaya TNS berdasarkan kelembagaan formal, yaitu BTNS dan WWF.Para aktor ini memanfaatkan jasa ekosistem berupa wisata dan karbon.Kedua, kelompok aktor yang memanfaatkan sumberdaya TNS berdasarkan kelembagaan informal, yaitu masyarakat setempat yang terdiri atas para penangkap ikan (nelayan), para pengambil getah jelutung, dan para pengambil kulit gemor.Masyarakat setempat memiliki aturan (kelembagaan) informal dalam memanfaatkan sumberdaya alam, yaitu kelembagaan adat Kedamangan.Berdasarkan kelembagaan adat Kedamangan, para nelayan mempunyai peranan penting dalam pola interaksi antar anggota masyarakat setempat.Para nelayan merupakan penguasa sungai yang mendapatkan legitimasi dari adat Kedamangan, serta diakui dan dipatuhi oleh seluruh anggota masyarakat adat Kedamangan sehingga kelembagaan adat Kedamangan merupakan kelembagaan yang kuat. Melalui PP No. 28/2011, Pemerintah memberikan hak kepada masyarakat setempat untuk memanfaatkan sumberdaya di zona tradisonal taman nasional, sekaligus dalam rangka memberdayakannya. Hak untuk memanfaatkan sumberdaya di zona tradisional taman nasional ini tidak terbatas pada hak akses dan mengambil sumberdaya berupa HHBK dan perburuan tradisional saja tetapi juga hak mengelola dalam bentuk budidaya tradisional dan hak untuk mengeluarkan yang lain (eksklusi). Dengan demikian, tingkatan kepemilikan yang diberikan oleh Pemerintah kepada masyarakat tradisional setempat adalah “Proprietor” karena mencakup empat strata hak, yaitu hak akses, hak mengambil, hak mengelola, dan hak mengeluarkan yang lain. Pemberian hak (kewenangan) di zona tradisional taman nasional dari Pemerintah kepada masyarakat ini dapat dipandang sebagai bentuk desentralisasi atau devolusi. Strategi penguatan kelembagaan pemanfaatan sumberdaya taman nasional dalam upaya memecahkan masalah konflik dengan masyarakat setempat di TNS serta tingginya biaya eksklusi adalah melakukan integrasi kelembagaan formal dan informal khususnya di zona tradisional. Pemberian hak dari pemerintah kepada masyarakat setempat untuk mengelola zona tradisional dengan aturan pengelolaannya mengikuti aturan (kelembagaan) informal adat Kedamangan dan secara teknis dilakukan berdasarkan pengetahuan (ekologi) tradisional masyarakat setempat dapat dipandang sebagai bentuk desentralisasi atau devolusi.Implikasinya adalah bahwa BTNS harus segera menyusun dan menetapkan sistem zonasi TNS termasuk di dalamnya zona tradisional yang akan didesentralisasikan kewenangan pengelolaannya kepada masyarakat setempat, melakukan revisi Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 447/2003, dan perlunya kesamaan tafsiran atas istilah HHBK dan TSL serta pemanfaatannya.
Collections
- DT - Forestry [347]