Stabilisasi Harga Cabai di Pasar Induk Kramat Jati
Abstract
Harga cabai di Indonesia menunjukkan fluktuasi yang tinggi dan sering kali
melebihi Harga Acuan Pemerintah (HAP). Kondisi ini menimbulkan risiko bagi
petani, pedagang, maupun konsumen, serta menjadi perhatian penting bagi
pemerintah dalam menjaga stabilitas pangan. Pasar Induk Kramat Jati (PIKJ) di
Jakarta memainkan peran sentral dalam pembentukan harga cabai secara nasional
meskipun volume pasokan yang masuk relatif kecil dibandingkan produksi
nasional. Hal ini terjadi karena PIKJ merupakan pusat distribusi untuk wilayah
Jabodetabek, wilayah dengan konsumsi cabai terbesar di Indonesia, serta
berfungsi sebagai pasar rujukan bagi banyak daerah lain.
Penelitian ini bertujuan menganalisis peramalan harga cabai di PIKJ
menggunakan pendekatan Long Short Term Memory (LSTM) dan mengkaji
pengaruh pasokan terhadap harga cabai dengan model Autoregressive Distributed
Lag (ARDL). Data yang digunakan berupa data harian harga dan pasokan cabai
rawit merah, cabai merah keriting, dan cabai merah besar di PIKJ, dilengkapi
dengan wawancara mendalam/ in-depth interview terhadap pedagang dan
pengelola pasar. Analisis dilakukan dengan membandingkan hasil peramalan
LSTM dengan data aktual serta mengestimasi persamaan ARDL untuk melihat
hubungan jangka pendek maupun jangka panjang antara harga dan pasokan. Data
yang digunakan berupa data harian harga dan pasokan cabai rawit merah, cabai
merah keriting, dan cabai merah besar selama periode 1 Januari 2023 – 30
September 2024.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa model LSTM memiliki akurasi tinggi
dalam memprediksi harga cabai, dengan tingkat kesalahan relatif rendah (MAPE
< 10%) dan visualisasi prediksi yang hampir berhimpitan dengan harga aktual.
Sebagai contoh, pada tanggal 1 Oktober 2024 harga aktual cabai rawit merah
sebesar Rp 32.000,- per kg, sedangkan harga prediksi sebesar Rp 28.450,- per kg
(nilai eror sebesar 11%). Akan tetapi, jika memperhitungkan nilai eror dari
seluruh titik prediksi menghasilkan nilai MAPE 7%. Temuan ini mengindikasikan
bahwa LSTM mampu menangkap pola musiman, tren jangka pendek, serta
gejolak harga harian cabai, sehingga dapat berfungsi sebagai sistem peringatan
dini (early warning system) bagi pemerintah maupun pedagang.
Sementara itu, hasil estimasi ARDL menunjukkan bahwa harga cabai di
PIKJ dipengaruhi oleh pasokan cabai itu sendiri serta harga dan pasokan cabai
jenis lain yang bersifat substitusi. Misalnya, kenaikan pasokan cabai merah
keriting secara signifikan menurunkan harganya, sedangkan kenaikan harga cabai
merah keriting berpengaruh positif terhadap harga cabai rawit merah. Hal ini
menegaskan adanya hubungan substitusi antar jenis cabai di pasar. Selain itu, hasil
ARDL juga menunjukkan bahwa penyesuaian harga cabai berlangsung cukup
cepat ketika terjadi deviasi dari keseimbangan jangka panjang.
Implikasi kebijakan dari temuan ini adalah pentingnya intervensi pemerintah
yang bersifat simultan antar jenis cabai, bukan hanya fokus pada satu komoditas
saja. Saat harga berada di atas Harga Acuan Pemerintah (HAP), langkah yang
dapat dilakukan adalah distribusi cabai dari sentra produksi dan subsidi biaya
ii
transportasi. Sebaliknya, saat harga berada di bawah HAP, strategi yang dapat
ditempuh adalah pengurangan pasokan ke PIKJ dan penyerapan surplus oleh
pemerintah, misalnya melalui program cadangan pangan. Selain itu, hasil
penelitian juga menekankan perlunya pengembangan sistem informasi pasokan
berbasis data yang lebih rinci, mengingat pencatatan inbound–outbound logistics
di PIKJ masih sangat terbatas dan desentralistis. Pada akhirnya, penelitian ini
memberikan kontribusi pada pemahaman dinamika harga cabai di PIKJ melalui
pendekatan gabungan LSTM dan ARDL. Temuan empiris ini dapat dijadikan
dasar bagi perumusan kebijakan stabilisasi harga cabai yang lebih tepat sasaran,
baik melalui sistem peringatan dini berbasis peramalan maupun melalui intervensi
distribusi dan pasokan lintas komoditas.
Kata Kunci: ardl, harga cabai, lstm, pasokan cabai, stabilisasi harga Chili prices in Indonesia exhibit high volatility and often exceed the
Government Reference Price (HAP). This condition creates risks for farmers,
traders, and consumers, and it remains a major concern for the government in
maintaining food stability. The Kramat Jati Wholesale Market (PIKJ) in Jakarta
plays a central role in shaping national chili prices, even though its supply volume
is relatively small compared to national production. This influence arises because
PIKJ serves as the primary distribution hub for the Greater Jakarta (Jabodetabek)
area, the largest chili consumption region in Indonesia and functions as a
reference market for many other regions.
The results showed that the LSTM model achieved high accuracy in
predicting chili prices, with a relatively low error rate (MAPE < 10%) and
forecast visualizations that closely aligned with actual prices. For example, on
October 1, 2024, the actual price of red cayenne pepper was Rp 32,000 per kg,
while the predicted price was Rp 28,450 per kg (an error of 11%). However,
calculating the error values from all prediction points yields a MAPE of 7%.
These findings indicated that LSTM successfully captured seasonal patterns,
short-term trends, and daily price fluctuations, making it suitable as an early
warning system for both the government and traders. Meanwhile, the ARDL
estimation revealed that chili prices at PIKJ were influenced not only by their own
supply but also by the prices and supply of substitute chili varieties. For example,
an increase in the supply of curly red chili significantly reduced its price, while an
increase in the price of curly red chili positively affected the price of red cayenne
chili. The ARDL results also showed that price adjustments occurred relatively
quickly when deviations from long-run equilibrium emerged.
The policy implications of this study are that government interventions
should be designed simultaneously across chili varieties rather than focusing on a
single commodity. When prices rise above the Government Reference Price
(HAP), effective measures include distributing chili from production centers and
providing transportation subsidies. Conversely, when prices fall below HAP,
strategies may include reducing supply to PIKJ and absorbing surplus stocks
through government food reserve programs. Moreover, the study highlighted the
urgent need to develop a more detailed, data-driven supply information system,
given the limited and decentralized recording of inbound–outbound logistics at
PIKJ. Overall, this research contributes to a better understanding of chili price
dynamics at PIKJ through the combined application of LSTM and ARDL
approaches. Its empirical findings provide a practical basis for formulating more
targeted chili price stabilization policies, both through forecast-based early
warning systems and cross-commodity supply interventions.
Keywords: ardl, chili price, lstm, supply chain, volatility
Collections
- MT - Economic and Management [3180]
