| dc.description.abstract | Desa menjadi rumah mayoritas rakyat Indonesia, tetapi masih terperangkap dalam kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan struktural. Akar persoalan ini, tidak sematamata terletak pada kekurangan anggaran atau program, melainkan cara negara memandang dan memperlakukan desa sebagai objek pembangunan. Pusat dari relasi timpang ini adalah sistem pendataan yang top-down, agregatif, dan tidak partisipatif, yang tidak menangkap keragaman sosial, budaya, dan kerentanan lokal. Dalam era big data, data seyogyanya menjadi alat emansipasi, bukan sebaliknya menjadi alat dominasi. Warga desa tidak mengetahui tentang data apa yang dikumpulkan tentang mereka, oleh siapa, dan untuk kepentingan apa. Akibatnya, mereka menjadi tidak terlihat dalam kebijakan publik, terutama kelompok rentan, seperti: perempuan kepala keluarga, lansia, atau anak-anak disabilitas. Dalam banyak kasus, pendataan yang tidak akurat menyebabkan program bantuan sosial salah sasaran, memperkuat ketimpangan, dan merusak kepercayaan sosial di tingkat lokal. Tulisan ini mengkritisi teknokratisme pembangunan dan mengaitkannya dengan konsep kolonialisme data yang dikemukakan Nick Couldry dan Ulises Mejias. Negara memandang desa “dari atas”, menggunakan kategori statistik yang menyederhanakan kompleksitas sosial. Pengetahuan lokal, musyawarah warga, dan pengalaman komunitas dianggap tidak valid dalam sistem formal. Pendataan berubah menjadi proses ekstraktif, di mana warga hanya menjadi objek pencatatan, tanpa partisipasi, dan tanpa kendali atas data mereka sendiri.
Sebagai respons atas kondisi tersebut, ditawarkan pendekatan Data Desa Presisi (DDP). DDP bukan sekadar inovasi teknis, melainkan sebuah gerakan epistemik. DDP memadukan pendekatan mikro spasial, sensus menyeluruh, dan partisipasi warga secara aktif dalam seluruh proses. Dalam DDP, desa menjadi subjek pengetahuan: warga bukan hanya pemberi data, tetapi juga penafsir, pengguna, dan pemilik data. Dengan demikian, DDP mengusung tiga prinsip utama: (1) setiap keluarga terpetakan secara spasial dan sosial; (2) data digunakan untuk musyawarah dan pengambilan keputusan lokal, bukan hanya laporan birokratis; dan (3) desa memiliki kontrol penuh atas data, termasuk hak untuk menyimpan, mengatur akses, dan menggunakan data secara mandiri. Dalam hal ini, DDP merupakan bentuk nyata dari dekolonisasi data dan menjadi gerakan tindakan kolektif warga menuju kedaulatan pengetahuan. Akhirnya seruan manifesto kolektif dibutuhkan untuk membangun sistem data yang adil, partisipatif, dan demokratis; mendesak negara mengakui data komunitas sebagai dasar kebijakan; serta membangun aliansi antara desa, kampus, dan jaringan sipil sebagai kekuatan baru pengetahuan. Dalam dunia yang dipenuhi oleh dashboard dan algoritma, masa depan pembangunan harus dimulai dari desa dari data yang dimiliki, dipahami, dan diperjuangkan oleh warga itu sendiri. | id |