Evaluasi Metabolit Sekunder Tanaman Sebagai Inhibitor Deaminasi Pada Pakan Fermentasi
Date
2025Author
Susanto, Irwan
Jayanegara, Anuraga
Wiryawan, I Komang Gede
Laconi, Erika Budiarti
Ridwan, Roni
Metadata
Show full item recordAbstract
Silase adalah hijauan yang diawetkan melalui proses ensilase, memanfaatkan
terjadinya fermentasi asam laktat secara alami dalam keadaan anaerob. Pembuatan silase
bertujuan untuk memperpanjang masa penyimpanan hijauan, sehingga memastikan
ketersediaan pakan yang berkelanjutan bagi ruminansia. Kualitas silase sebagai sumber
pakan ruminansia sangat dipengaruhi oleh efisiensi konservasi protein selama fermentasi.
Salah satu tantangan utama dalam produksi silase berkualitas adalah terjadinya deaminasi,
yaitu proses pelepasan gugus amina dari asam amino yang dikatalisis oleh enzim Glutamat
dehidrogenase (GDH), menghasilkan amonia (NH3) yang menandai degradasi protein.
Kondisi ini diperburuk oleh aktivitas mikroorganisme proteolitik dan pembusuk seperti
Clostridium sp. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas senyawa bioaktif
dari metabolit sekunder tanaman—khususnya tanin, saponin, dan minyak atsiri—sebagai
inhibitor deaminasi dalam sistem fermentasi pakan, melalui pendekatan integratif yang
mencakup meta-analisis, bioinformatika, dan metagenomik.
Kajian awal menggunakan meta-analisis dari 40 publikasi ilmiah dengan total 191
studi menunjukkan bahwa suplementasi tanin secara signifikan (P<0,05) menurunkan
konsentrasi NH3-N dan fraksi nitrogen non-protein (NPN), meningkatkan konservasi
protein dan kualitas silase. Saponin dan minyak atsiri, terutama minyak atsiri dari cumin,
menunjukkan aktivitas antimikroba yang dapat menekan pertumbuhan bakteri pembusuk.
Meta-regresi mengkonfirmasi bahwa model regresi linier dengan persamaan: Model: -
2,105 + (-0,003 × level), p-value = 0,046. Hasil ini menunjukkan bahwa peningkatan dosis
ekstrak tanaman hingga 9 – 10 g/kg atau setara dengan 1% ektrak fitobiotik menunjukkan
hasil lebih baik. NH3-N merupakan produk utama dari deaminasi asam amino,
mengindikasikan peran penting fitobiotik dalam menghambat deaminasi protein selama
ensilase. Analisis fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak kulit kayu Swietenia macrophylla
dan Acacia mangium memiliki kandungan tanin dan flavonoid tinggi serta kapasitas
antioksidan yang sangat baik. Selanjutnya minyak atsiri cumin berperan sebagai anti
mikroba yang cukup kuat yang aktif secara biologis dalam mencegah bakteri pembusuk.
Uji fermentasi silase pada jenis sumber hijauan yang berbeda konsisten
menunjukkan bahwa jenis hijauan legum Indigofera secara signifikan (0<0,05) memiliki
kualitas fisik, kandungan nutrien dan produk fermentasi yang lebih baik dibandingkan jenis
hijauan legum lain. Lebih lanjut, pengaruh suplementasi yang dilakukan memperlihatkan
bahwa kombinasi Lactiplantibacillus plantarum dan ekstrak tanaman mampu menjaga
kualitas fisik silase serta meningkatkan kecernaan bahan organik dan kering. Penggunaan
ekstrak kulit akasia yang tinggi akan kandungan tanin, fenolik dan antioksidan terbukti
lebih efektif menurunkan kontaminasi jamur dan mempertahankan mutu organoleptik
silase serta stabilitas nutrien dan asam amino. Uji filogenik jenis ekstrak mengkonfirmasi
hasil dari pengaruh ekstrak kulit akasia memiliki kandungan asam amino esensial dan
nonesensial yang lebih tinggi dibandingkan jenis ekstrak lain. Selain itu, korelasi positif
yang kuat antara kandungan tanin dan kapasitas antioksidan (r = 0,94) menegaskan bahwa
sinergi senyawa tanin dan fenolik berkontribusi terhadap stabilitas nutrisi selama ensilase.
Data metagenomik mendukung temuan tersebut, menunjukkan bahwa perlakuan ekstrak
akasia mampu menekan populasi Clostridium spp. hingga di bawah 2% dari total mikroba,
menandakan efek antimikroba yang nyata terhadap bakteri pembusuk dibandingkan dengan
perlakuan lain. Hal ini mengkonfirmasi hasil bahwa jenis ekstrak kulit akasia yang tinggi
akan kandungan tanin lebih efektif dalam menjaga kualitas silase.
Lebih lanjut, pendekatan bioinformatika dilakukan untuk mengevaluasi afinitas
interaksi senyawa metabolit sekunder terhadap enzim target deaminasi, yaitu Glutamate
Dehydrogenase (GDH, PDB ID: 1BGV). Studi molecular docking menunjukkan bahwa
sebagai inhibitor deaminasi metabolit sekunder punicalagin dari golongan tanin memiliki
nilai energi afinitas terkecil dengan nilai -16,3 Kkal/mol. Sedangkan pada golongan
saponin terdapat Theasapogenol B dengan nilai -11,4 Kkal/mol dan pada cumin terdapat
alpha hederin dengan nilai energi afinitas -11,3 Kkal/mol terhadap penghambatan GDH
dibandingkan ligan kontrol maupun substrat alami (glutamat). Interaksi dominan berupa
ikatan hidrogen dan gaya van der Waals terhadap residu aktif seperti Lys89, Ser380, dan
Asp165 menunjukkan potensi penghambatan kompetitif yang kuat. Hasil ini divalidasi
melalui simulasi dinamika molekuler (molecular dynamics) selama 100 ns yang
menunjukkan stabilitas konformasi kompleks tanin-GDH berdasarkan analisis RMSD,
RMSF, SASA, dan Radius of Gyration (RG). Punicalagin memiliki efektifitas dalam
mempertahankan struktur protein dalam kondisi stabil dan tidak menyebabkan rusaknya
struktur asam amino selama simulasi proses metabolisme penghambatan molecular
dynamic dilakukan. Analisis bioavailabilitas berdasarkan aturan Lipinski menunjukkan
bahwa metabolit sekunder yang digunakan efektif secara bioavailabilitas farmakokinetik
dan aman secara toksikologis, dibuktikan oleh hasil negatif uji AMES dan tidak adanya
indikasi hepatotoksisitas.
Pengujian pengaruh fitobiotik dan probiotik pada silase indigofera dilanjutkan
dengan melihat pengaruhnya pada fermentasi in vitro. Berdasarkan hasil penelitian, dapat
disimpulkan bahwa suplementasi kombinasi probiotik Lactiplantibacillus plantarum dan
fitobiotik (ekstrak kulit akasia, kulit mahoni, dan cumin) pada silase indigofera
berpengaruh terhadap fermentasi rumen in vitro, kecernaan, serta produksi metana
(p<0,05). Penggunaan probiotik meningkatkan laju fermentasi dan aktivitas mikroba
fermentatif (P<0,05), sementara fitobiotik, khususnya akasia, terbukti efektif menekan
produksi metana tanpa mengganggu stabilitas pH atau kecernaan (p<0,05). Interaksi
sinergis antara probiotik dan fitobiotik meningkatkan efisiensi fermentasi, terlihat dari
peningkatan produksi gas dan asam lemak volatil (VFA) serta perbaikan rasio C2:C3.
Namun, penggunaan probiotik secara tunggal cenderung meningkatkan metana, sehingga
kombinasi dengan fitobiotik ataupun penggunaan fitobiotik Tunggal menjadi penting untuk
menyeimbangkan efisiensi fermentasi dengan mitigasi emisi gas rumah kaca. Pengaruh
tunggal fitobiotik ekstrak kulit akasia menunjukkan pengaruh positif yang lebih stabil
mulai dari proses fermentasi selama penyimpanan dan proses fermentasi in vitro rumen.
Penelitian tahap berikutnya dilakukan untuk mengetahui rasio aplikatif silase secara TMR
dengan rasio yang berbeda pada konsentrat dan rumput gajah.
Hasil penelitian ini menganalisis pentingnya penyesuaian rasio ransum. Rasio
optimal antara silase Indigofera zollingeriana yang disuplementasi ekstrak kulit akasia
terhadap konsentrat dan rumput gajah menunjukkan bahwa rasio 25% silase dan 75%
konsentrat menghasilkan produksi VFA dan asam propionat tertinggi. Hasil kombinasi
50% silase dan 50% rumput gajah menunjukkan lebih ke arah peningkatan butirat rumen.
Efisiensi fermentasi juga tercermin dari peningkatan proporsi asetat dan propionat,
tergantung pada kombinasi perlakuan. Secara keseluruhan, hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa metabolit sekunder tanaman, khususnya tanin dari kulit akasia,
memiliki potensi tinggi sebagai aditif fungsional untuk menekan deaminasi protein dalam
silase. Pendekatan integratif berbasis meta-analisis, bioinformatika, bioteknologi in vitro
rumen, dan metagenomik tidak hanya memberikan validasi mekanistik dari potensi bioaktif
senyawa tersebut, tetapi juga membuka peluang formulasi aditif silase yang lebih presisi
dan efisien, dengan kontribusi nyata terhadap sistem peternakan tropis yang berkelanjutan
dan rendah emisi metana.
Collections
- DT - Animal Science [361]
