| dc.description.abstract | Konflik penguasaan sumber daya hutan sering terjadi akibat benturan
antara kebijakan negara dan praktik lokal. Di Kabupaten Pasaman Barat,
Sumatera Barat, pemerintah memberikan konsesi seluas 1.590 hektar kepada
koperasi melalui skema Hutan Tanaman Rakyat (HTR) selama 35 tahun. Namun,
masyarakat telah lebih dahulu mengakses dan mengelola lahan tersebut
berdasarkan mekanisme adat Siliah Jariah dari tokoh adat (Datuk). Proses ini
berlangsung secara sosial dan kultural dalam bentuk pewarisan lahan ulayat yang
dilembagakan secara lokal. Akibatnya, terjadi dualisme klaim: secara hukum
formal, lahan merupakan bagian dari konsesi koperasi; sementara secara sosial,
masyarakat menganggap lahan tersebut sebagai bagian dari wilayah kelola adat.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi
kasus di Pigogah Patibubur. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam
terhadap 11 informan kunci yang dipilih secara purposive, observasi langsung,
serta dokumen seperti SK menteri, peta kehutanan, arsip desa, dan laporan
instansi kehutanan. Analisis tematik digunakan untuk menelusuri pola akses dan
penguasaan berbasis hukum dan sosial.
Terdapat tiga temuan utama dalam penelitian relasi kuasa dan resistensi di
Pigogah Patibubur. Pertama, konflik dipicu oleh tumpang tindih klaim antara
koperasi pemegang izin legal dengan masyarakat pendatang Mandailing dan Jawa
yang mengklaim hak atas lahan melalui mekanisme adat. Kedua, relasi kuasa
dalam penguasaan sumber daya menunjukkan dominasi struktural pihak yang
memiliki legalitas, khususnya koperasi, terbatas pada pendatang suku Mandailing
dan suku Jawa. Ketiga, ketidakberdayaan masyarakat pendatang tersebut dalam
mempertahankan akses terhadap sumber daya bukan disebabkan oleh ketiadaan
perlawanan, melainkan karena ketidaksetaraan dukungan struktural dan
ketimpangan akses sumber daya.
Implikasi dari temuan ini menekankan perlunya desain kebijakan yang
transformatif, yang mampu menjembatani legalitas negara dan legitimasi
masyarakat melalui pengakuan sebagian atas hak adat, dialog lintas-aktor, serta
pendekatan tata kelola yang mengakui pluralitas hukum dan dinamika sosial di
tingkat lokal. Penelitian ini memberikan kontribusi konseptual dalam memahami
konflik agraria berbasis hutan serta menjadi masukan praktis bagi penguatan
program perhutanan sosial yang lebih adil dan partisipasi. | |