Sebaran Dan Keanekaragaman Komunitas Bentik Karang Mesofotik Berdasarkan Karakteristik Oseanografi (Perairan Bali Dan Lombok)
Date
2025Author
Arafat, Dondy
Bengen, Dietriech Geoffrey
Subhan, Beginer
Naulita, Yuli
Metadata
Show full item recordAbstract
Ekosistem karang mesofotik (Mesophotic Coral Ecosystems/MCEs)
merupakan zona terumbu karang pada kedalaman yang berperan penting sebagai
refugia atau tempat perlindungan bagi spesies karang dari tekanan perubahan iklim
dan aktivitas antropogenik. Di Indonesia, khususnya di wilayah Segitiga Karang
(coral triangle), kajian mengenai karang mesofotik masih sangat terbatas, padahal
kawasan ini menyimpan keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi. Penelitian
ini dilatarbelakangi oleh perlunya informasi ilmiah terkini mengenai sebaran
vertikal serta keanekaragaman komunitas bentik karang keras, karang lunak, dan
spons. Selanjutnya mengkaji pengaruh faktor oseanografi seperti suhu, salinitas,
dan massa air terhadap struktur komunitas tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi komposisi dan distribusi komunitas bentik karang mesofotik di
perairan Bali dan Lombok, menggambarkan parameter oseanografi termasuk massa
air pada kolom perairan karang mesofotik, menjelaskan distribusi serta kontribusi
takson bentik terhadap zona mesofotik, dan menguraikan keterkaitan antara
karakteristik oseanografi dengan distribusi komunitas bentik di zona dangkal
hingga mesofotik.
Penelitian ini memberikan kebaruan dalam tiga hal utama. Pertama, ini
merupakan studi pertama di Indonesia yang secara sistematis memetakan
komunitas bentik pada karang mesofotik dengan pendekatan spasial dan vertikal,
mengintegrasikan data in-situ (sensor CTD), citra satelit, dan model reanalisis
oseanografi. Kedua, penelitian ini mengidentifikasi karakteristik massa air berbeda
antara zona dangkal (Tropical Surface Water – TSW) dan zona mesofotik (North
Pacific Subtropical Water – NPSW) di Selat Lombok, yang dibawa oleh Arus
Lintas Indonesia (ARLINDO) atau Indonesian Throughflow (ITF). Ketiga,
ditemukan adanya pergeseran dominansi komunitas dari karang keras seperti
Acropora, Porites, dan Turbinaria di perairan dangkal, ke komunitas spons dan
karang lunak di zona mesofotik (30–50 m), serta peran signifikan genera karang
mesofotik seperti Leptoseris dan Tubastrea yang beradaptasi terhadap tekanan
hidrostatik dan cahaya rendah. Temuan ini memperkuat hipotesis Deep Reef
Refugia dan memperluas pemahaman ekologis tentang adaptasi bentik di bawah
tekanan oseanografi.
Penelitian ini dilaksanakan pada enam stasiun pengamatan yang tersebar di
perairan Bali (2022) dan Lombok (2020). Pengambilan data bentik dilakukan
dengan metode Underwater Photo Transect (UPT) pada kedalaman 10–50 m.
Parameter oseanografi diukur menggunakan alat Sensor CTD dan didukung dengan
data satelit reanalisis dari Copernicus Marine Environment Monitoring Service.
Analisis data mencakup statistik deskriptif, PERMANOVA, SIMPER, serta teknik
multivariat seperti nMDS dan Principal Component Analysis (PCA), untuk
mengevaluasi pola spasial dan vertikal komunitas bentik serta hubungan dengan
faktor oseanografi.
Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan komposisi komunitas
bentik antara perairan dangkal dan zona mesofotik. Di perairan dangkal (10–30 m),
karang keras mendominasi dengan pertumbuhan cepat dan morfologi bercabang
yang toleran terhadap cahaya tinggi. Sementara itu, di kedalaman 30–50 m, terjadi
pergeseran dominansi ke spons dan karang lunak, seiring dengan penurunan
intensitas cahaya dan perubahan kondisi fisik air laut. Analisis karakteristik massa
air menunjukkan pengaruh kuat dari massa air NPSW dan TSW yang membentuk
stratifikasi termohalin di kolom perairan, berperan dalam menentukan distribusi
vertikal komunitas. PCA dan nMDS mengungkapkan keterkaitan yang signifikan
antara parameter oseanografi (suhu, salinitas, DO, pH, dan nutrien) dengan
distribusi dan struktur komunitas bentik. Kombinasi analisis spasial dan vertikal ini
menegaskan pentingnya integrasi pendekatan oseanografi dalam konservasi
ekosistem karang mesofotik, serta menekankan posisi strategis Bali dan Lombok
sebagai wilayah pengamatan penting di Coral Triangle yang dilintasi oleh ITF.
Komposisi komunitas bentik sangat bervariasi secara vertikal dan spasial
antara perairan Bali dan Lombok. Di zona dangkal (kedalaman 10–30 m),
komunitas didominasi oleh karang keras (hard coral) seperti Acropora, Montipora,
Porites, dan Turbinaria, yang memiliki bentuk pertumbuhan bercabang atau tabular
serta adaptif terhadap intensitas cahaya tinggi. Sementara itu, pada zona upper
mesofotik (30–50 m), terjadi penurunan dominansi karang keras dan peningkatan
dominansi spons (sponge) serta karang lunak (soft coral), mengindikasikan adanya
perubahan struktur komunitas yang dipengaruhi oleh gradien kedalaman dan
ketersediaan cahaya. Pola distribusi ini dikonfirmasi melalui visualisasi data
tutupan komunitas dan hasil analisis Bray-Curtis serta dendrogram klaster, yang
menunjukkan diferensiasi komunitas antara lokasi dan kedalaman.
Analisis karakteristik oseanografi menunjukkan bahwa parameter suhu dan
salinitas mengalami perubahan yang konsisten terhadap kedalaman dan musim.
Massa air yang teridentifikasi di zona mesofotik adalah TSW dan NPSW yang
terbawa oleh ARLINDO (sudah disebutkan diatas) melalui Selat Lombok. Tropical
Surface Water (TSW). Karakteristik oseanografi menunjukkan stratifikasi kuat
antara zona dangkal hingga ekosistem karang mesofotik (kedalaman hingga 100)
North Pacific Subtropical Water – NPSW) di Selat Lombok memiliki karakter
massa air yang nilai suhu rendah, salinitas tinggi, dan biasa ditemukan di kedalaman
>100 m. Variabilitas suhu dan salinitas, baik vertikal maupun musiman, mengontrol
ketersediaan cahaya, nutrien, oksigen terlarut, dan pH, yang krusial bagi adaptasi
ekologi organisme bentik. Selat Lombok sebagai jalur utama Arus Lintas Indonesia
(ITF) memperkuat implikasi langsung dinamika massa air terhadap struktur
komunitas MCEs dan proses ekologisnya.Perbedaan massa air ini menghasilkan
stratifikasi termohalin yang signifikan, dengan suhu yang menurun dan salinitas
yang meningkat seiring bertambahnya kedalaman. Variabilitas ini turut membentuk
zona oseanografi yang berbeda, memengaruhi ketersediaan cahaya dan nutrien di
habitat bentik. Distribusi spasial suhu dan salinitas yang divisualisasikan melalui
data satelin dari Copernicus dan data insitu CTD, menunjukkan perbedaan antara
musim barat dan timur, menekankan dinamika musiman yang berpengaruh
terhadap komunitas bentik.
Distribusi dan keanekaragaman karang keras, karang lunak, dan spons
(takson bentik) menunjukkan pola stratifikasi yang jelas antara zona dangkal dan
mesofotik. Di Bali, tingkat kekayaan genera karang keras lebih tinggi di zona
dangkal, sementara di Lombok, spons menunjukkan kontribusi yang lebih besar di
zona mesofotik. Genera spons seperti Stylissa, Ircinia, dan Callyspongia menjadi
dominan di kedalaman 30–50 m, sedangkan karang lunak seperti Sinularia dan
Nephthea menggantikan posisi karang keras pada zona tersebut. Indeks
keanekaragaman Shannon (H') dan Evenness (E) mengindikasikan adanya
distribusi komunitas yang lebih merata pada zona mesofotik, meskipun kekayaan
spesies secara keseluruhan lebih rendah dibandingkan zona dangkal. Hasil analisis
SIMPER memperlihatkan kontribusi takson-takson utama terhadap perbedaan antar
zona dan lokasi, menunjukkan adanya adaptasi ekologis terhadap kondisi fisik
perairan yang berbeda.
Analisis keterkaitan antara komunitas bentik dan parameter oseanografi
dilakukan menggunakan PCA dan nMDS, yang menunjukkan bahwa faktor
oseanografi seperti suhu, salinitas, oksigen terlarut (DO), pH, dan nutrien (NO3 dan
PO4) berpengaruh signifikan terhadap distribusi komunitas bentik. Zona dangkal
dikaitkan dengan suhu yang lebih tinggi dan fluktuatif, mendukung spesies karang
dengan toleransi cahaya tinggi, sedangkan zona mesofotik memiliki parameter yang
lebih stabil namun dengan intensitas cahaya lebih rendah, mendukung organisme
dengan morfologi foliose atau encrusting seperti Leptoseris dan Pachyseris. Pola
ini mendukung hipotesis refugia, bahwa ekosistem karang mesofotik menyediakan
kondisi mikrohabitat yang mendukung kelangsungan spesies bentik yang rentan
terhadap perubahan lingkungan ekstrem di perairan dangkal. Temuan ini
menekankan pentingnya integrasi data oseanografi dalam perencanaan konservasi
dan pengelolaan ekosistem karang mesofotik.
Berdasarkan hasil temuan dan analisis dalam penelitian ini,
direkomendasikan agar ekosistem karang mesofotik di perairan Bali dan Lombok
dijadikan prioritas dalam kebijakan konservasi dan pengelolaan wilayah pesisir dan
laut Indonesia. Rekomendasi dari penelitian ini adanya integrasi karateristik
oseanografi dengan distribusi komunitas bentik, dalam Upaya penetapan kawasan
konservasi laut, terutama dalam upaya mitigasi dampak perubahan iklim terhadap
terumbu karang dangkal. Selain itu, penguatan pemantauan jangka panjang dengan
dukungan teknologi canggih, untuk eksplorasi bawah laut untuk mengisi
kekosongan data di zona mesofotik yang selama ini kurang terjangkau. Penelitian
lanjutan perlu diarahkan untuk mengkaji konektivitas genetik dan dinamika larva
antara ekosistem karang mesofotik dan ekosistem perairan dangkal (shallow) guna
memahami peran ekologisnya secara lebih menyeluruh. Terakhir, penting untuk
meningkatkan kapasitas riset dan kolaborasi antar-lembaga, termasuk
pemberdayaan masyarakat pesisir, agar strategi konservasi berbasis sains ini dapat
diterapk
Collections
- DT - Fisheries [766]
