Keberlanjutan dan Kontribusi Sektor Kehutanan terhadap Pembangunan Wilayah di Indonesia
Date
2025Author
Humaidi, Dedy
Rustiadi, Ernan
Juanda, Bambang
Putri, Eka Intan Kumala
Metadata
Show full item recordAbstract
Kawasan Hutan Indonesia seluas 120 juta ha atau 63 % dari daratan Indonesia, tersebar di seluruh provinsi. Sejalan dengan peran hutan dalam SDG1, SDG8, dan SDG15 serta UU No. 41/1999 tentang Kehutanan yang menekankan kesejahteraan rakyat. Sumber daya hutan di Indonesia yang melimpah tersebut kurang dimanfaatkan dalam perekonomian nasional untuk pembangunan berkelanjutan. Selain itu, keragaman kontribusi ekonomi lintas wilayah, serta keterkaitan langsung dan tidak langsung dengan berbagai sektor ekonomi belum diketahui. Pertimbangan efek limpahan spasial dan simultanitas juga diperlukan untuk melihat hubungan antara kehutanan dan kemiskinan, selain mengevaluasi pembangunan keberlanjutan. Pembangunan berkelanjutan membutuhkan integrasi dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan, dengan hutan yang memiliki peran penting dalam kerangka kerja ini karena peran multifungsi dan sosial-ekonominya.
Penilaian status keberlanjutan sektor kehutanan Indonesia di tingkat provinsi dilakukan dengan menggunakan metodologi Multi-Dimensional Scaling (MDS). Analisis mencakup dimensi ekonomi, lingkungan, sosial, dan kelembagaan untuk mengidentifikasi kesenjangan dan faktor yang mempengaruhi yang signifikan. Pengkajian peran dan keterkaitan sektor ekonomi di Indonesia menggunakan data Tabel Interregional Input-Output (IRIO) 2016 yang memuat 52 sektor dari semua provinsi, untuk memetakan Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung ke Belakang (KLTB), Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung ke Depan (KLTD), Indeks Daya Penyebaran (IDP), serta Indeks Derajat Kepekaan (IDK) untuk sektor kehutanan dan penebangan kayu. Kontribusi sektor kehutanan dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia dianalisis menggunakan model spasial simultan panel. Sistem persamaan simultan spasial berbasis data panel provinsi diterapkan dengan estimator Three-Stage Least Squares (3SLS) yang lebih baik dari Two-Stage Least Squares (2SLS) melalui uji instrumen, kondisi rank dan order, dan diagnostik spasial.
Studi ini menunjukkan bahwa dimensi lingkungan memberikan status keberlanjutan tertinggi, menunjukkan hasil yang nyata dari kebijakan berorientasi konservasi yang diterapkan dalam dekade terakhir. Dimensi kelembagaan menunjukkan keberlanjutan yang cukup baik namun ada beberapa provinsi yang masih menunjukkan keberlanjutan yang kurang. Dimensi sosial menunjukkan mayoritas provinsi memiliki indeks keberlanjutan cukup dan berpotensi untuk ditingkatkan dengan peningkatan upaya pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat untuk peningkatan kesejahteraan. Dimensi ekonomi memiliki nilai keberlanjutan yang masih tertinggal dibanding dimensi lainnya, hal ini menunjukkan adanya trade-off antara ekonomi dan lingkungan dan perlunya strategi kebijakan yang difokuskan untuk meningkatkan nilai ekonomi sektor ini dengan tetap menjaga kondisi lingkungan.
Analisis terhadap peran dan keterkaitan sektor ekonomi di Indonesia menunjukkan heterogenitas spasial yang mencolok. Provinsi Riau memiliki keterkaitan ke depan yang paling tinggi (KLTD = 3,05), sedangkan Provinsi Jawa Barat memiliki keterkaitan ke belakang yang terbesar (KLTB = 1,43). Meski demikian, nilai IDP di seluruh provinsi berada di bawah 1, menandakan kemampuan terbatas untuk menarik pertumbuhan dari sektor pemasoknya. Sebaliknya, IDK melebihi 1 di 13 provinsi, terutama di Sumatera dan Kalimantan, yang menunjukkan kapasitas tinggi dalam memasok industri hilir.
Hasil estimasi model spasial simultan antara PDRB, PDRB Hutan dan tingkat kemiskinan, mengonfirmasi adanya hubungan simultan yang signifikan antara ketiga variabel endogen. Sektor kehutanan berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah dan berpotensi menurunkan kemiskinan, meskipun pengaruhnya relatif terbatas. Pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi justru menurunkan proporsi kontribusi kehutanan terhadap PDRB, menandakan adanya kompetisi dengan sektor lain, sementara produksi kayu dan perizinan pemanfaatan positif mendorong kinerja kehutanan. Efek spasial signifikan ditemukan pada ketiga persamaan, baik positif maupun negatif, sehingga kebijakan sektor kehutanan perlu dirancang secara terintegrasi dengan strategi pemerataan dan koordinasi antarwilayah untuk mencapai pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.
Secara keseluruhan, sektor kehutanan Indonesia lebih berfungsi pada sisi supply daripada demand, hal ini menyebabkan kurang dapat berperan sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Kebijakan yang disarankan meliputi: (i) memperluas kerangka perhitungan PDB kehutanan, (ii) mendukung investasi multi-usaha yang terpadu, dan (iii) memperkuat hubungan lintas provinsi. Langkah-langkah ini dapat memanfaatkan potensi ekonomi sektor kehutanan secara lebih optimal sekaligus mempertahankan keberadaannya secara lestari. Selain itu, hasil penelitian ini menekankan bahwa pentingnya peningkatan tata kelola hutan, perluasan rantai nilai kehutanan berkelanjutan, finalisasi batas hutan negara, dan kemajuan sistem sertifikasi dan perizinan. Peningkatan kapasitas kelembagaan dan kinerja ekonomi, di samping melestarikan manfaat ekologis, sangat penting untuk mencapai keberlanjutan jangka panjang. Kontribusi penelitian ini adalah menyajikan bukti empiris untuk mendukung perumusan kebijakan kehutanan menyasar pengentasan kemiskinan sekaligus menjaga keberlanjutan. Pendekatan kolaborasi regional diperlukan untuk mendorong peran sektor kehutanan dalam pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan pengentasan kemiskinan.
