Analisis Carbon Pricing di Sektor Kehutanan dan Alih Guna Lahan dalam Perencanaan Pembangunan Rendah Karbon di Indonesia
Date
2025Author
Yuniarti, Putri Irma
Fauzi, Akhmad
Putri, Eka Intan Kumala
Sambodo, Maxensius Tri
Metadata
Show full item recordAbstract
Masalah utama yang mendorong penelitian ini adalah tingginya emisi dari sektor kehutanan dan alih guna lahan (FOLU) di Indonesia, yang belum tertangani secara sistemik meskipun berbagai kebijakan non-pasar telah diterapkan. Secara global, carbon pricing menjadi salah satu instrumen utama dalam kebijakan iklim, namun penerapannya di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan. Dalam konteks nasional, penerapan carbon pricing perlu mempertimbangkan kompleksitas tata kelola lahan, konflik tenurial, serta peran masyarakat lokal dan sektor swasta dalam konservasi dan penggunaan lahan. Keterlibatan masyarakat lokal dan sektor swasta sangat penting, namun hingga kini masih minim dan bersifat simbolik. Oleh karena itu, kajian ini diperlukan untuk merumuskan skenario kebijakan harga karbon yang adil, realistis, dan sesuai dengan kondisi Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji efektivitas kebijakan carbon pricing dalam sektor kehutanan dan penggunaan lahan (FOLU) di Indonesia. Secara khusus, penelitian ini diarahkan untuk mengidentifikasi variabel-variabel kunci yang memp engaruhi keberhasilan kebijakan tersebut, memetakan aktor-aktor strategis beserta relasi kekuasaan dan kepentingannya dalam proses perumusan dan implementasi kebijakan, serta mensimulasikan berbagai skenario strategis yang mungkin terjadi dalam konteks ketidakpastian kelembagaan dan politik. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan merumuskan strategi kebijakan yang berbasis bukti untuk mendorong integrasi yang lebih efektif antara pendekatan pasar dan non-pasar dalam upaya pengurangan emisi gas rumah kaca dari sektor FOLU.
Pendekatan metodologis dalam penelitian ini menggabungkan tiga pendekatan analisis prospektif yang saling melengkapi. Pertama, metode MICMAC digunakan untuk menganalisis struktur pengaruh dan ketergantungan antarvariabel dalam sistem kebijakan rendah karbon. Kedua, metode MACTOR diterapkan untuk memetakan kekuatan relatif antaraktor serta konvergensi dan divergensi mereka terhadap tujuan strategis kebijakan carbon pricing. Ketiga, metode SMIC-PROB digunakan untuk mengevaluasi probabilitas terjadinya 16 kombinasi skenario kebijakan, yang dibangun berdasarkan empat hipotesis utama. Seluruh data diperoleh melalui wawancara mendalam dengan para pakar dan penyebaran kuesioner yang dirancang secara sistematis.
Hasil analisis MICMAC menunjukkan bahwa dalam sistem kebijakan rendah karbon sektor FOLU di Indonesia, terdapat dua variabel utama yang memiliki tingkat pengaruh tinggi namun ketergantungan rendah, yaitu kebijakan carbon pricing dan penegakan hukum lingkungan. Kedua variabel ini berada dalam kuadran penggerak (driving variables) dan bertindak sebagai pendorong sistemik yang dapat memicu transformasi di seluruh elemen lainnya. Kebijakan harga karbon yang kredibel berperan sebagai instrumen fiskal strategis, sementara regulasi dan penegakan hukum berfungsi sebagai kerangka normatif yang memastikan kepatuhan aktor terhadap arah kebijakan. Sebaliknya, variabel teknologi rendah karbon, investasi hijau, dan keterlibatan pemangku kepentingan termasuk dalam kategori variabel tergantung (dependent variables). Artinya, ketiga elemen tersebut cenderung bereaksi terhadap perubahan kebijakan dan regulasi, dan tidak memiliki kapasitas untuk mendorong perubahan secara mandiri. Kemudian dalam analisa pengaruh tidak langsung (indirect influences), carbon pricing tampil sebagai penggerak dominan dengan efek sistemik yang menjalar ke hampir seluruh variabel lain melalui berbagai jalur pengaruh. Ini memperkuat argumen bahwa strategi carbon pricing tidak hanya berdampak secara fiskal, tetapi juga sebagai katalis perubahan institusional dan teknologis.
Analisis MACTOR menunjukkan koalisi inti yang kuat antara Pemerintah, InterForum, akademisi, dan LSM dalam mendukung kebijakan carbon pricing, terutama untuk tujuan ekonomi dan sosial. Namun, tujuan lingkungan seperti pengurangan emisi karbon dan konservasi hutan mendapat resistensi dari swasta dan investor yang khawatir pada biaya dan dampak terhadap profitabilitas.
Hasil SMIC-PROB menempatkan skenario LowCarbon + Business as Usual (BAU) sebagai yang paling mungkin terjadi. Pola ini konsisten dengan Permen LHK No. 7/2023 yang menerapkan pengendalian ketat hanya pada ekosistem berisiko tinggi, sementara wilayah lain memakai mekanisme offset yang lebih longgar. Instrumen non-pasar seperti mekanisme award, RBP, dan social forestry memperkuat penurunan emisi, tetapi belum cukup mengubah struktur pasar karbon. Dominasi skenario ini dipengaruhi lemahnya penegakan hukum, tumpang tindih tenurial, rendahnya harga karbon, biaya transaksi tinggi, serta rendahnya inklusi masyarakat adat dan lokal.
Untuk menggeser ke arah yang lebih ambisius, diperlukan harmonisasi standar MRV, kenaikan harga karbon, penguatan mekanisme award, integrasi hasil RBP ke pasar karbon, serta pengaitan social forestry dengan NEK. Langkah ini diharapkan mendorong integrasi pasar dan non-pasar, memperluas cakupan pengendalian emisi, dan memaksimalkan manfaat ekonomi, sosial, dan ekologis. The main issue driving this research is the high level of emissions from Indonesia's forestry and land-use change (FOLU) sector, which remains unaddressed in a systemic manner despite the implementation of various non-market policies. Globally, carbon pricing has become a central instrument in climate policy. However, it faces big challenges in Indonesia. At the national level, implementing carbon pricing requires careful attention to the complexity of land governance, tenure disputes, and the contributions of local communities and the private sector in managing and utilizing land. Although the involvement of these stakeholders is crucial, their engagement has so far been limited and mostly symbolic. This study is therefore essential to develop carbon pricing policy scenarios that are equitable, practical, and suited to Indonesia’s unique specific condition.
The objective of this research is to comprehensively assess the effectiveness of carbon pricing policy within Indonesia’s forestry and land-use (FOLU) sector. Specifically, it aims to identify key variables influencing policy success, map strategic actors along with their power relations and interests in policy formulation and implementation, and simulate a range of strategic scenarios under conditions of institutional and political uncertainty. Furthermore, the study seeks to formulate evidence-based policy strategies that promote more effective integration between market-based and non-market approaches to reducing greenhouse gas emissions from the FOLU sector.
The methodological approach integrates three complementary foresight techniques. First, the MICMAC method is used to analyse the structure of influence and dependence among variables within the low-carbon policy system. Second, the MACTOR method maps the relative power among actors and their convergences and divergences regTabarding strategic goals related to carbon pricing. Third, the SMIC-PROB method evaluates the probability of 16 policy scenario combinations, derived from four hypotheses. All data were collected through in-depth expert interviews and systematically designed questionnaires.
The MICMAC analysis reveals two key variables within Indonesia’s low-carbon policy system for the FOLU sector which are carbon pricing policy and environmental law enforcement. Both exhibit high influence but low dependence, positioning them in the driving quadrant. These variables serve as systemic drivers that can trigger transformation across other elements. Credible carbon pricing functions as a strategic fiscal instrument, while regulatory enforcement provides a normative framework to ensure compliance. Conversely, variables such as low-carbon technology, green investment, and stakeholder engagement fall under dependent variables, meaning they tend to respond to policy changes but lack the capacity to independently drive change. In terms of indirect influence, carbon pricing emerges as a dominant indirect driver with widespread systemic effects, reinforcing its dual role as both a fiscal instrument and a catalyst for institutional and technological change.
The MACTOR analysis shows a strong core coalition between the Government, InterForum, academia, and NGOs in supporting carbon pricing policies, particularly for economic and social objectives. However, environmental goals such as carbon emission reduction and forest conservation face resistance from the private sector and investors concerned about costs and impacts on profitability.
The SMIC-PROB results place the LowCarbon + Business as Usual (BAU) scenario as the most likely to occur. This pattern aligns with Minister of Environment and Forestry Regulation No. 7/2023, which applies strict control only to high-risk ecosystems, while other areas use a more flexible offset mechanism. Non-market instruments such as the award mechanism, Result-Based Payment (RBP), and social forestry strengthen emission reduction efforts but are not yet sufficient to transform the carbon market structure. The dominance of this scenario is influenced by weak law enforcement, overlapping land tenure, low carbon prices, high transaction costs, and limited inclusion of Indigenous peoples and local communities.
To shift towards a more ambitious direction, it is necessary to harmonize MRV standards, increase carbon prices, strengthen the award mechanism, integrate RBP results into the carbon market, and link social forestry with the NEK framework. These measures are expected to promote integration between market and non-market instruments, broaden emission control coverage, and maximize economic, social, and ecological benefits.
