Show simple item record

dc.contributor.advisorMulatsih, Sri
dc.contributor.advisorWiyono, Eko Sri
dc.contributor.authorMariana
dc.date.accessioned2025-08-14T08:44:31Z
dc.date.available2025-08-14T08:44:31Z
dc.date.issued2025
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/169223
dc.description.abstractPengelolaan sumber daya ikan di Indonesia selama ini berbasis input control, yaitu pembatasan pada jumlah dan ukuran kapal serta alat tangkap, tanpa pengaturan volume hasil tangkapan, sehingga menimbulkan berbagai masalah seperti potensi lebih tangkap, markdown ukuran kapal, pendataan produksi yang kurang akurat, serta PNBP yang tidak mencerminkan nilai sumber daya yang ditangkap. Kasus markdown misalnya terjadi di Pelabuhan Perikanan Belawan dan Sibolga, di mana kapal pukat cincin dan pukat ikan melakukan penyimpangan sebesar 22,62 GT yang menyebabkan hilangnya potensi PNBP SDA sebesar empat miliar rupiah (Wahyudi 2011). Untuk mengatasi persoalan tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mereformasi kebijakan melalui Kebijakan Ekonomi Biru, yang menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi kelautan dengan keberlanjutan ekologi sebagaimana didefinisikan Bank Dunia (2017). Strategi utama yang diterapkan adalah Penangkapan Ikan Terukur (PIT) berbasis kuota dengan pengendalian hasil tangkapan (output control) dan skema perizinan pascaproduksi, di mana pungutan didasarkan pada jumlah hasil tangkapan yang didaratkan. Kebijakan ini diatur dalam PP No. 85 Tahun 2021 dan mulai berlaku pada 2023, dengan tujuan meningkatkan penerimaan negara dari PNBP SDA, baik di tingkat pusat maupun daerah, melalui pungutan pascaproduksi pada kapal penangkap ikan yang mendaratkan hasilnya di pelabuhan perikanan. Penelitian ini bertujuan untuk 1) Menganalisis potensi PNBP SDA perikanan tangkap pascaproduksi di pelabuhan perikanan UPT Pusat, 2) Manganalisis tingkat keberlanjutan pelabuhan perikanan dalam PNBP SDA perikanan tangkap pascaproduksi, dan 3) Menyusun strategi meningkatkan potensi PNBP SDA perikanan tangkap pascaproduksi di pelabuhan perikanan. Metode yang digunakan penghitungan menggunakan rumus penarikan PNBP SDA perikanan tangkap pascaproduksi, penyusunan indeks komposit menggunakan Principal Component Analysis (PCA) dan Analisis Kuadran. Berdasarkan hasil penghitungan potensi PNBP SDA perikanan tangkap menggunakan pendekatan sumber daya ikan di masing-masing pelabuhan perikanan sebagian besar lebih rendah dari target yang ditetapkan. Hal tersebut karena perhitungan target masing- masing pelabuhan perikanan UPT Pusat termasuk dengan pelabuhan binaan sekitarnya. Adapun hasil perhitungannya, potensi PNBP SDA perikanan tangkap pascaproduksi di pelabuhan perikanan masih didominasi oleh kapal penangkapan ikan > 30 GT sebesar Rp 115.864.657.771 (93,6%) dan dari kapal migrasi (= 30 GT) sebesar Rp 7.885.558.310 (6,4%). Adapun tiga pelabuhan penyumbang terbesar adalah PPS Nizam Zachman, PPS Bitung, dan PPN Sibolga. Hasil penghitungan indeks komposit potensi pelabuhan perikanan yang dibentuk dari 15 indikator memperlihatkan bahwa indikator volume produksi dan kapasitas daya tampung kolam pelabuhan merupakan indikator dominan yang mencerminkan kesiapan pelabuhan dalam aspek operasional dan ekonomi. PPS Nizam Zachman Jakarta merupakan pelabuhan perikanan dengan indeks paling tinggi sebesar 0,892 dan diikuti oleh PPS Bitung, PPS Cilacap dan PPS Kendari yang mencerminkan kesiapan tertinggi baik dari sisi ekonomi, kelembagaan, maupun infrastruktur. Kesiapan dari pelabuhan perikanan masih didominasi oleh pelabuhan perikanan samudera dimana sejalan dengan kapasitas tata kelola yang baik, kelengkapan infrastruktur dan aktivitas ekonomi yang tinggi dari kelas pelabuhan perikanan tersebut. Kontribusi dari hasil penghitungan dimensi menunjukkan kontribusi dimensi kelembagaan paling dominan disetiap pelabuhan perikanan yang mengindikasikan secara administratif dan tata kelola pelabuhan perikanan sudah terstruktur dan siap dalam mendukung pelaksanaan kebijakan PNBP SDA perikanan tangkap pascaproduksi. Dimensi lingkungan menjadi aspek dengan kontribusi terendah, yang mengindikasikan bahwa aspek lingkungan belum menjadi fokus utama dalam pengelolaan pelabuhan. Berdasarkan analisis kuadran, mayoritas pelabuhan berada pada kuadran III yang mengindikasikan perlunya peningkatan baik dari sisi tata kelola pelabuhan maupun strategi optimalisasi penerimaan PNBP SDA. Sementara itu, pelabuhan seperti PPS Nizam Zachman dan PPS Bitung telah menunjukkan performa tinggi dan dapat dijadikan model percontohan.
dc.description.abstractFisheries resource management in Indonesia has historically been based on input control, focusing on restrictions on vessel size, number, and fishing gear, without regulating the volume of catches. This approach has led to various issues such as overfishing potential, vessel size markdowns, inaccurate production data, and non-tax state revenue (PNBP) that does not reflect the true value of harvested resources. For instance, a markdown case occurred at Belawan and Sibolga Fishing Ports, where purse seine and trawl vessels committed a deviation of 22.62 GT, resulting in the loss of potential PNBP of approximately four billion rupiah (Wahyudi, 2011). To address these issues, the Ministry of Marine Affairs and Fisheries (KKP) reformed its policy through the Blue Economy framework, which balances marine economic growth with ecological sustainability as defined by the World Bank (2017). A key strategy implemented is the Measured Fishing Policy (Penangkapan Ikan Terukur/PIT) based on catch quotas (output control) and post-production licensing schemes, where levies are determined by the volume of landed catches. This policy is regulated under Government Regulation No. 85 of 2021 and took effect in 2023, aiming to increase state revenue from fisheries non-tax state revenue (PNBP SDA) at both central and regional levels through post-production levies on fishing vessels landing their catches at designated fishing ports. This study aims to: (1) analyze the potential of post-production fisheries PNBP at central government fishing ports, (2) assess the sustainability level of fishing ports in implementing post-production fisheries PNBP, and (3) formulate strategies to enhance the potential of post-production fisheries PNBP at fishing ports. The methodology includes the calculation of post-production fisheries PNBP using the official levy formula, the development of a composite index using Principal Component Analysis (PCA), and Quadrant Analysis. The results indicate that the potential post-production fisheries PNBP calculated based on fishery resources at each fishing port is generally lower than the established targets. This discrepancy arises because target calculations for central government fishing ports also include their surrounding assisted ports. The calculated potential shows that post-production fisheries PNBP is still dominated by fishing vessels over 30 GT, contributing IDR 115,864,657,771 (93.6%), while vessels of 30 GT or less (migratory vessels) contribute IDR 7,885,558,310 (6.4%). The three largest contributing ports are PPS Nizam Zachman Jakarta, PPS Bitung, and PPN Sibolga. The composite index results, constructed from 15 indicators, reveal that production volume and harbor pond capacity are dominant indicators reflecting the operational and economic readiness of fishing ports. PPS Nizam Zachman scored the highest index value at 0.892, followed by PPS Bitung, PPS Cilacap, and PPS Kendari, reflecting their superior readiness in economic, institutional, and infrastructural aspects. The readiness level is still predominantly driven by oceanic fishing ports, consistent with their robust governance capacity, comprehensive infrastructure, and high economic activity levels. The dimension analysis shows that institutional aspects make the most significant contribution across all fishing ports, indicating that administrative and governance structures are well-organized and capable of supporting the implementation of post-production fisheries PNBP. Conversely, the environmental dimension makes the lowest contribution, indicating that environmental considerations are not yet a primary focus in fishing port management. Based on the quadrant analysis, most fishing ports are positioned in Quadrant III, indicating the need for improvement in both port governance and strategies for optimizing PNBP revenue. Meanwhile, ports such as PPS Nizam Zachman and PPS Bitung demonstrate high performance and can serve as benchmark models for other fishing ports.
dc.description.sponsorship-
dc.language.isoid
dc.publisherIPB Universityid
dc.titlePotensi Penerimaan Negara Bukan Pajak Sumber Daya Alam Perikanan Tangkap Pascaproduksi Pada Unit Pelaksana Teknis Pelabuhan Perikanan Pusatid
dc.title.alternative-
dc.typeTesis
dc.subject.keywordpenerimaan negara bukan pajakid
dc.subject.keywordpelabuhan perikananid
dc.subject.keywordPrincipal Component Analysis (PCA)id
dc.subject.keywordprincipal component analysisid
dc.subject.keywordPerikanan tangkapid


Files in this item

Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record