| dc.description.abstract | Situ Rawa Kalong ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Alam
Perkotaan Tapos Cimanggis berdasarkan Rencana Induk Kepariwisataan Kota
Depok tahun 2017-2025 dan Rencana Strategis DSDA Jawa Barat tahun 20182023.
Sumber daya air Situ Rawa Kalong di Kota Depok memainkan peran penting dalam
mencegah banjir serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar.
Penelitian ini mempunyai tujuan utama yaitu membangun formulasi model
pengelolaan berkelanjutan dan penguatan kelembagaan Kawasan Wisata Situ Rawa
Kalong di Kota Depok, Jawa Barat. Untuk mencapai tujuan utama ada beberapa
tujuan antara yaitu pertama, menganalisis kondisi eksisting Kawasan Wisata Situ
Rawa Kalong berdasarkan dimensi biofisik lingkungan, ekonomi, sosial budaya,
dan kelembagaan. Kedua, menganalisis status keberlanjutan Kawasan Wisata Situ
Rawa Kalong. Ketiga, merumuskan strategi dan prioritas strategi pengelolaan
berkelanjutan Kawasan Wisata Situ Rawa Kalong. Keempat, menyusun model
pengelolaan berkelanjutan dan penguatan kelembagaan Kawasan Wisata Situ Rawa
Kalong. Adapun novelty dari penelitian pada penajaman strategi pengelolaan yang
berkelanjutan pada Kawasan Wisata Situ Rawa Kalong Depok berdasarkan pada
faktor-faktor pengungkit dalam dimensi lingkungan, ekonomi, sosial budaya, dan
kelembagaan; serta terbangunnya formulasi model pengelolaan berkelanjutan
Kawasan Wisata Situ Rawa Kalong Depok menggunakan sistem dinamik,
berdasarkan multikriteria yang mengintegrasikan dimensi lingkungan biofisik,
ekonomi, sosial budaya dan kelembagaan, serta penguatan kelembagaan dalam
model pengelolaan yang berkelanjutan.
Tujuan pertama yaitu menganalisis kondisi eksisting Kawasan Wisata Situ
Rawa Kalong. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif dan
penilaian deskripsi kondisi eksisting kawasan. Untuk melakukan survei lapangan,
dilakukan pengukuran, pemetaan ArcGIS, skoring, dan dokumentasi. Sebelum
revitalisasi dilakukan pada tahun 2019, lokasi ini dalam kondisi tercemar. Upaya
revitalisasi meningkatkan kualitas air (Kategori B) untuk wisata non kontak, dan
penambahan sarana prasarana. Namun demikian, kurangnya perencanaan yang
matang dan kolaborasi antara pemangku kepentingan, pengelolaan berkelanjutan
masih belum mencapai tingkat keberhasilan yang optimal. Penataan wilayah belum
sepenuhnya berfokus pada keberlanjutan, tetapi revitalisasi sudah mencakup
pembangunan infrastruktur seperti taman, pedestrian, dan fasilitas umum lainnya.
Situ masih menghadapi masalah kualitas air, penurunan tutupan lahan hijau, dan
tekanan pembangunan di luar wilayahnya dari segi biofisik. Secara ekonomi, ada
potensi penerimaan pajak yang besar, tetapi retribusi masih rendah. Sosial budaya
Betawi pinggiran (ora), Jawa dan Sunda telah menjadi identitas lokal, tetapi konflik
antara kepentingan dan kesadaran konservasi masih menjadi masalah. Organisasi
pengelolaan dan pembangunan tenaga kerja pariwisata masih lemah, demikian juga
partisipasi masyarakat belum optimal.
Tujuan kedua, menganalisis status keberlanjutan menggunakan metode
Multidimensional Scaling dengan software Rapfish R. Hasil analisis menyatakan
status keberlanjutan dimensi kelembagaan dan sosial budaya kurang
berkelanjutan, tetapi cenderung membaik. Indeks rata-rata keberlanjutan dimensi
kelembagaan dan sosial budaya adalah 34,13% dan 43,78%. Dimensi lingkungan
menghasilkan status cukup berkelanjutan dan cenderung membaik dengan indeks
keberlanjutan rata-rata 60,08%. Dimensi ekonomi menghasilkan status cukup
berkelanjutan dan cenderung menurun dengan indeks keberlanjutan rata-rata
61,17%. Penguatan organisasi pengelola, dampak sosial, daya dukung lingkungan,
dan penerimaan retribusi adalah komponen penting keberlanjutan berdasarkan
analisis leverage.
Tujuan ketiga adalah menyusun strategi dan prioritas strategi pengelolaan
berkelanjutan Situ Rawa Kalong, menggunakan metode force field analysis dan
analytical hierarchy process. Force field analysis merupakan metode yang
digunakan dalam analisis faktor pendorong dan penghambat. Faktor pendorong
utama dimensi lingkungan adalah daya dukung kawasan, topografi landai, sarana
prasarana layak (meski sudah melebihi batas 10%). Faktor penghambat utama
dimensi lingkungan adalah kualitas air masih tercemar berat hingga sedang,
penggunaan lahan kurang mendukung, keanekaragaman hayati menurun. Faktor
pendorong utama dimensi ekonomi penerimaan pajak yang cukup tinggi sebagai
sumber investasi, daya beli masyarakat dalam kategori sedang, potensi peningkatan
retribusi untuk pemeliharaan kawasan, potensi peningkatan kesempatan kerja dan
peluang usaha. Faktor penghambat utama dimensi ekonomi pendapatan masyarakat
dalam kategori rendah-sedang, diversitas mata pencaharian yang berhubungan
dengan pariwisata masih kurang. Faktor pendorong utama dimensi sosial budaya
yaitu potensi SDM untuk peningkatan kesadaran konservasi dan pariwisata,
identitas lokal kawasan sebagai daya tarik wisata. Faktor penghambat utama
dimensi sosial adalah konflik sosial yang menurunkan kerja sama dan partisipasi
masyarakat, kesadaran dan aktivitas konservasi masyarakat yang masih rendah.
Faktor pendorong utama dimensi kelembagaan yaitu potensi organisasi pengelola
sudah ada (Pokdarwis), kerja sama sudah ada tapi belum terprogram, potensi
partisipasi masyarakat yang bisa ditingkatkan. Faktor penghambat utama dimensi
kelembagaan terdiri dari belum adanya regulasi/kebijakan yang menetapkan
organisasi pengelola secara resmi, pembangunan SDM pariwisata masih sangat
kurang. Secara umum, nilai faktor pendorong lebih besar dari faktor
penghambatnya, sehingga pengelolaan berkelanjutan potensial dilakukan. Hasil
analisis leverage sebagai faktor kunci, faktor pendorong dan penghambat hasil
analisis FFA dalam dimensi lingkungan, ekonomi, sosial budaya dan kelembagaan
menjadi dasar dalam menentukan prioritas strategi. Prioritas strategi dengan
menggunakan metode Analytical Hierarchy Process, menitikberatkan pada
memberikan kekuatan hukum terhadap terbentuknya organisasi pengelola dan
pelaksanaannya (bobot 0,449); menjalin sinergitas antar dimensi untuk menjamin
keberlanjutan pengelolaan Situ Rawa Kalong sebagai kawasan wisata (bobot 0,30);
meningkatkan dukungan pemerintah dan stakeholder dalam pengelolaan Kawasan
Wisata Situ Rawa Kalong (bobot 0,15); meningkatkan kolaborasi masyarakat
dalam pengelolaan Kawasan Wisata Situ Rawa Kalong untuk mengurangi konflik
kepentingan (bobot 0,09).
Tujuan keempat menyusun formulasi model pengelolaan berkelanjutan dan
penguatan kelembagaan Situ Rawa Kalong Depok. Untuk mengelola Kawasan
Wisata Situ Rawa Kalong, pendekatan sistem untuk mengidentifikasi komponen
penting yang memengaruhi keberlanjutan wilayah dengan memberikan gambaran
yang lengkap. Faktor organisasi pengelola sangat penting untuk menentukan
kebijakan pengelolaan berkelanjutan, seperti yang ditunjukkan hasil analisis System
Dynamics. Skenario pengelolaan berkelanjutan yang diambil berskala moderat
menyesuaikan dengan potensi dan kendala yang ada di Situ Rawa Kalong.
Berdasarkan skenario moderat faktor kunci, ditunjukkan peningkatan signifikan
pada beberapa aspek antara kondisi dasar dan skenario moderat, seperti organisasi
pengelola yang bertambah dari 0,13 menjadi 0,57; partisipasi masyarakat dari 0,25
menjadi 0,60; dampak sosial dikurangi dari 0,56 menjadi 0,18; pendidikan dari 0,41
menjadi 0,60; penerimaan retribusi yang meningkat dari 0 menjadi 5.765 rupiah;
serta daya dukung yang meningkat dari 284.510 menjadi 1.236.057 orang per tahun.
Kualitas air diskenariokan membaik dari nilai -27 menjadi -15, menunjukkan
perbaikan kondisi lingkungan. Analisis ISM (Interpretative Structural Modeling)
digunakan untuk membangun model struktur kelembagaan Situ Rawa Kalong.
Hasil analisis struktur kelembagaan menempatkan tiga aktor utama yaitu Direktorat
Sumber Daya Air (DSDA) Jawa Barat sebagai pengelola utama; BBWSCC (Balai
Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane) sebagai pengontrol dan pencipta standar
pengelolaan sumber daya air; masyarakat memberikan masukan dan ide sesuai
kebutuhan lokal. Salah satu tanggung jawab DSDA Jabar adalah menyusun
organisasi pengelola yang diketuai oleh DSDA sendiri. Organisasi pengelola ini
termasuk DLHK Kota Depok (yang bertanggung jawab atas pelestarian wilayah),
Pokdarwis Kelurahan Curug (yang bertanggung jawab atas pemanfaatan wisata),
perguruan tinggi (yang bertanggung jawab atas peningkatan kapasitas masyarakat),
DISPORYATA, sektor bisnis, dan media (yang bertanggung jawab atas promosi
dan pengembangan ekonomi wisata). Keberhasilan pengelolaan kawasan wisata
sangat bergantung pada kerja sama yang kuat antara seluruh pihak yang terlibat.
Struktur kelembagaan yang jelas dan terstruktur memungkinkan pengawasan yang
baik, partisipasi masyarakat yang optimal, dan pembagian tugas yang efisien. Oleh
karena itu, pengelolaan Situ Rawa Kalong dapat berjalan secara berkelanjutan dan
menguntungkan masyarakat sekitar. | |