| dc.description.abstract | Energi Baru Terbarukan (EBT) menjadi solusi penting dalam menghadapi
keterbatasan energi fosil dan mitigasi perubahan iklim, terutama bagi negara
berkembang seperti Indonesia. Sejalan dengan komitmen global melalui Paris
Agreement dan target nasional dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN)
hingga tahun 2050, Indonesia mendorong transisi energi melalui berbagai
kebijakan, termasuk pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa)
sebagai alternatif yang tidak hanya menghasilkan energi bersih tetapi juga
mengatasi permasalahan sampah. Salah satu contoh implementasinya adalah
PLTSa Bantargebang, yang mampu mengolah sampah menjadi listrik, sekaligus
menjadi model percontohan nasional dalam peroyek energi terbarukan. Namun,
pengembangan PLTSa menghadapi berbagai tantangan dan termasuk juga
tantangan sosial, khususnya keberadaan pemulung yang selama ini sudah berperan
dalam pengelolaan sampah daur ulang. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan
menganalisis keberlanjutan PLTSa dalam mendukung energi terbarukan dan juga
bagaimana PLTSa dapat dijadikan sebagai momentum dalam mendukung
transformasi sosial bagi pemulung yang selama ini berperan penting namun hidup
dalam kerentanan.
Penelitian ini dilakukan mulai dari Agustus 2023-Maret 2024 yang
berlokasi di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Kota
Bekasi. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi lapangan, indepth
interview, studi literature, dan Forum Group Discussion (FGD). Data yang
diperoleh kemudian akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan Multiaspect
Sustainability Analysis (MSA) untuk melihat status keberlanjutan dari PLTSa pada
aspek lingkungan, sosial, ekonomi, teknologi, dan kelembagaan. Kemudian akan
dilakukan juga analisis secara deskriptif untuk melihat bagaimana kondisi sosial
ekonomi pemulung ditengah keberadaan dari PLTSa pada aspek tingkat
pendidikan, peluang pekerjaan, tingkat pendapatan, dan relasi sosial . Berdasarkan
kedua pendekatan tersebut akan diketahui bagaimana strategi dalam pengembangan
PLTSa yang berkelanjutan dan bersifat adil bagi keadaan sosial disekitarnya.
Hasil penelitian menggunakan pendekatan MSA diperoleh status
keberlanjutan PLTSa Bantargebang dari masing-masing aspek sebagai berikut:
aspek lingkungan berstatus berkelanjutan (75), aspek sosial berstatus berkelanjutan
(69,5), aspek ekonomi kurang berkelanjutan (50), aspek teknologi kurang
berkelanjutan (50), dan aspek kelembagaan berkelanjutan (54,86). Pada aspek
ekonomi yang berstatus kurang berkelanjutan terdapat faktor yang paling
berpengaruh terhadap status keberlanjutannya apabila dilakukan perbaikan yaitu
faktor kualitas bahan baku. Kemudian pada aspek teknologi, faktor yang paling
berpengaruh terhadap status keberlanjutannya apabila dilakukan perbaikan adalah
faktor tonase sampah terolah perharinya. Namun secara keseluruhan, PLTSa
Bantargebang berada pada status yang berkelanjutan dengan nilai 59,87.
Selanjutanya berdasarkan data yang diperoleh dari lapangan, tingkat pendidikan
pemulung berada pada tingkat yang rendah yang didominasi pada lulusan SD
dengan persentase 86% dari total responden. Kemudian pada aspek peluang
pekerjaan juga terbatas bagi pemulung karena tingkat pendidikan dan keterampilan
yang rendah. Pada tingkat pendapatan rata-rata pendapatan pemulung sebesar Rp.
3.639.118 yang berada dibawah UMR Kota Bekasi yaitu Rp. 5.343.430. Kemudian
relasi sosial yang terjalin diantara pemulung diantaranya paguyuban daerah,
kegiatan keagamaan, dan ikatan kelembagaan yang menaungi pemulung.
Kemudian adanya relasi antar aktor yang berperan dalam pengelolaan sampah daur
ulang di TPST Bantargebang mulai dari pemulung, pelapak, pengepul,
penggiling/pengepress, industri, dan pabrikan/produsen.
PLTSa Bantargebang dinilai berstatus berkelanjutan dengan skor 59,87,
namun masih menghadapi tantangan pada aspek ekonomi dan teknologi. Kualitas
bahan baku sampah yang rendah meningkatkan kebutuhan pre-treatment dan biaya
operasional, sementara tonase sampah yang dibakar belum optimal akibat proses
pemilahan yang belum efektif. Padahal, pemilahan sejak dari sumber melalui
penegakan kebijakan dan edukasi publik menjadi kunci untuk meningkatkan
efisiensi dan keberlanjutan PLTSa. Sebagai bagian dari transisi menuju energi
bersih, PLTSa memiliki peran strategis dalam mengurangi emisi gas rumah kaca
dan mendukung prinsip ekonomi sirkular. Keberhasilan implementasinya sangat
bergantung pada peningkatan efisiensi teknologi dan pengendalian emisi,
penguatan kelembagaan dan tata kelola melalui integrasi dalam perencanaan energi,
serta dukungan sistemik dari negara. Dengan itu, PLTSa berpotensi menjadi pilar
penting dalam pencapaian target energi terbarukan 23% pada 2025 dan komitmen
NDC Indonesia. Namun tanpa reformasi kebijakan yang kuat, PLTSa berisiko
menjadi proyek percontohan yang tidak berkelanjutan secara ekonomi dan teknis.
Pemulung di TPST Bantargebang berperan penting dalam sistem
pengelolaan sampah, namun hidup dalam kondisi sosial ekonomi yang rentan
dengan tingkat pendidikan rendah, pendapatan tidak stabil, dan minim akses
terhadap layanan dasar serta perlindungan kerja. Kehadiran PLTSa sebagai solusi
teknologi membawa potensi pengurangan akses pemulung terhadap sumber
penghidupan mereka, terutama jika sistem pemilahan tidak efektif. Meski
demikian, terdapat sinyal perubahan dari dalam komunitas pemulung, seperti
meningkatnya kesadaran akan pentingnya pendidikan dan keinginan keluar dari
sektor informal. Peluang ini perlu ditangkap melalui pembangunan sistem transisi
yang inklusif dan adil, termasuk pelatihan keterampilan, perlindungan sosial, serta
pelibatan aktif pemulung dalam perencanaan dan pengelolaan sampah modern.
Dalam kerangka ekonomi sirkular, PLTSa harus menjadi solusi akhir untuk residu,
bukan menggantikan proses daur ulang informal. Tanpa reformasi tata kelola
pemilahan dan penguatan sektor informal, PLTSa justru dapat memperburuk
ketimpangan sosial dan merusak ekosistem sirkular yang telah terbentuk. | |