| dc.contributor.advisor | Yovi, Efi Yuliati | |
| dc.contributor.advisor | Sundawati, Leti | |
| dc.contributor.author | Moh.Djauhari | |
| dc.date.accessioned | 2025-08-04T06:44:22Z | |
| dc.date.available | 2025-08-04T06:44:22Z | |
| dc.date.issued | 2025 | |
| dc.identifier.uri | http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/166579 | |
| dc.description.abstract | Perhutanan Sosial adalah paradigma pengelolaan sumber daya hutan atau
kehutanan baru. Dalam perkembangannya selama kurang lebih 40 tahun di Dunia,
konsep kehutanan partisipatif ini masih berupa konsep dan praktik pemberdayaan
masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Perhutanan Sosial yang tumbuh dan
berkembang secara alamiah, yang selaras dengan perkembangan masyarakat
kurang mendapat tempat dalam lapangan perubahan sosial yang lebih maju dan
progresif.Di Indonesia setelah Perhutanan Sosial menjadi program nasional, dalam
9 tahun belakangan ini Perhutanan Sosial cenderung lebih mundur dibanding tahun-
tahun sebelumnya. Dengan pendekatan perspektif sosiologis, penelitian dengan
lingkup kajian kelembagaan ini menguji dan membandingkan akibat-akibat dari
pelaksanaan Hutan Desa di wilayah adat di Kecamatan Kahayan Hilir, di Indonesia.
Aspek-askpek kelembagaan yang menjadi sorotan dari kasus Hutan Desa di
wilayah adat ini adalah aspek hak dan system penguasaan, pemanfaatan dan
pengelolaan, serta menganalisis proses pendefinisian teknis Perhutanan Sosial
berdasarkan pengalaman empiris pelakunya, terutama dari proses relasi-relasi
antarpelaku Perhutanan Sosial formal dan non-formal dan relasi-relasi dampak
pelaksanaan Perhutanan Sosial formal bagi keberadaan dan keberlanjutan praktik
Perhutanan Sosial non-formal.
Terdapat kesenjangan antara Perhutanan Sosial sebagai sebuah konsep dan
praktik di Indonesia. Penelitian kualitatif ini menggunakan Grounded Theory yang
menganalisis praktik-praktik Hutan Ulayat dalam rezim Perhutanan Sosial.
Penelitian ini menemukan bahwa praktik kelembagaan Hutan Ulayat masih
berbasis pada aturan-aturan masyarakat setempat atau adat. Implementasi Hutan
Desa di Kecamatan Kahayan Hilir, Kabupaten Pulang, Provinsi Kalimantan Tengah
merupakan strategi bagi masyarakat adat untuk memformalkan Hutan Ulayat
mereka. Hal ini memiliki konsekuensi praktis berupa asimilasi (dualitas) hukum
dan pertentangan (dualisme) aturan. Konsep dan praktik dualitas ini kemudian
membentuk definisi empiris dari Perhutanan Sosial dari bawah (lapangan).
Perhutanan Sosial adalah konsep pengelolaan hutan lestari yang perlu
menempatkan masyarakat sebagai pusat perubahan dan komunitas yang mengelola
sumber daya hutan dengan kekuatan, pengetahuan, dan kearifan mereka secara
mandiri. | |
| dc.description.abstract | Social Forestry represents a new paradigm in forest resource management.
Over its approximately 40 years of development worldwide, this participatory
forestry concept has largely remained a theoretical framework and a practice
focused on empowering communities within and around forests. Despite growing
naturally in harmony with community development, Social Forestry has received
limited recognition in more advanced fields of social change. In Indonesia, since
becoming a national program, Social Forestry has shown a declining trend over the
past nine years compared to previous periods. This institutional study adopts a
sociological perspective to examine and compare the impacts of Village Forest
implementation in customary areas within Kahayan Hilir District, Indonesia. The
analysis highlights key institutional aspects, including rights and control systems,
utilization and management, while also exploring the technical definition of Social
Forestry based on empirical experiences of stakeholders. Special attention is given
to the dynamics between formal and non-formal Social Forestry actors, as well as
the effects of formal Social Forestry implementation on the sustainability of non-
formal practices.
A significant gap exists between Social Forestry as a concept and its practical
application in Indonesia. This qualitative research employs grounded theory to
analyze customary forest practices within the Social Forestry framework. Findings
reveal that customary forest institutions continue to operate based on local
community rules. In Kahayan Hilir, Central Kalimantan Province, the Village
Forest initiative serves as a strategy for indigenous communities to formalize their
customary forests. However, this has led to practical challenges, including legal
duality and conflicting regulations. This duality between concept and practice
ultimately shapes the empirical definition of Social Forestry "from below" (i.e.,
field-level implementation). As a sustainable forest management model, Social
Forestry must place communities at the center of change—empowering them to
independently manage forest resources through their dynamic strengths, knowledge,
and wisdom. | |
| dc.description.sponsorship | | |
| dc.language.iso | id | |
| dc.publisher | IPB University | id |
| dc.title | Kelembagaan Sumber Daya Bersama di Bawah Rezim Perhutanan Sosial di Kecamatan Kahayan Hilir, Indonesia | id |
| dc.title.alternative | Common Resource Institutions Under Social Forestry Regime in Sub-district of Kahayan Hilir, Indonesia | |
| dc.type | Tesis | |
| dc.subject.keyword | perhutanan sosial | id |
| dc.subject.keyword | dualisme aturan | id |
| dc.subject.keyword | dualitas hukum | id |
| dc.subject.keyword | hutan ulayat | id |