Hama Invasif Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero dan Parasitoid Anagyrus lopezi (De Santis) di Indonesia: Studi Molekuler dan Prediksi Climex.
Date
2020Author
Nopriawansyah
Rauf, Aunu
Kusumah, Yayi Munara
Nurmasnyah, Ali
Koesmaryono, Yonny
Metadata
Show full item recordAbstract
Budidaya singkong walaupun relatif mudah, tetapi tidak lepas dari berbagai
kendala. Salah satu kendala budidaya tanaman singkong adalah serangan hama.
Hama invasif yang baru ditemukan menyerang tanaman singkong adalah kutu
putih Phenacoccus manihoti. Sejak terdeteksinya P. manihoti di Indonesia pada
tahun 2010, berbagai musuh alami lokal belum mampu mengendalikan hama ini,
sehingga pada Maret 2014 dilakukan introduksi parasitoid A. lopezi dari Thailand
ke Indonesia yang dilakukan oleh Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas
Pertanian, IPB bekerjasama dengan International Center for Tropical Agriculture
(CIAT) dan FAO.
Pengendalian P. manihoti dengan parasitoid A. lopezi perlu didukung
dengan kegiatan penelitian baik yang bersifat fundamental maupun terapan.
Hingga kini penelitian tentang P. manihoti dan parasitoid A. lopezi yang sudah
dilakukan adalah tentang biologi dan persebaran geografi P. manihoti, sedangkan
parasitoid tentang enkapsulasi dan karakteristik biologi dan interaksi multitrofik.
Akan tetapi, tidak ada penelitian mengenai pendekatan molekuler P. manihoti di
Indonesia dan A. lopezi di dunia. Begitu pula informasi tentang potensi
penyebaran P. manihoti di Indonesia belum diketahui.
Penelitian ini bertujuan: (1) mengidentifikasi dan menganalisis
keanekaragaman genetik, struktur populasi, serta hubungan filogenetik P.
manihoti di Indonesia dengan menggunakan gen COI DNA mitokondria; (2)
mengidentifikasi dan menganalisis keanekaragaman genetik, struktur populasi A.
lopezi, serta hubungan filogenetiknya dengan spesies Anagyrus sp. yang lain
dengan menggunakan gen 28S ribosoma; (3) menperkirakan potensi persebaran
P. manihoti di Indonesia berdasarkan kesesuaian iklim menggunakan
permodelan Climex.
Karakterisasi gen COI kutu putih singkong P. manihoti berdasarkan 36
sampel dari Bogor, Pati, Semarang, NTB, Bangka, Cilegon, Lampung, dan
Malang, memperlihatkan ukuran pita DNA 518 pasang basa. Hasil penyejajaran
berganda (multiple alignment) menunjukkan situs konservatif 434 (83.622%)
sebagai yang tertinggi dan yang terendah adalah situs parsimoni 10 (1.92%).
Komposisi nukleotida pada penelitian ini menunjukkan rata-rata komposisi
pasangan basa nukleotida A+T lebih tinggi (79.71%) dibandingkan G+C (20.30
%), dengan masing-masing komposisi yaitu Timin (46.9%), Adenin (32.8%),
Sitosin (13.6%), dan Guanin (6.6 %). Analisis homologi dari delapan populasi
ditemukan delapan haplotype. Keragaman haplotype (Hd) antara populasi berkisar
antara 0.00000 hingga 0.83333. Nilai keanekaragaman haplotipe (Hd) paling
tinggi terdapat di populasi Lampung sebesar 0.00225, sedangkan yang paling
kecil nol (Hd = 0) yang ditemukan pada populasi Pulau Bangka, Bogor, Malang,
Pati, dan Lombok. Hal yang sama juga ditunjukkan dari hasil analisis
keanekaragaman nukleotida (π) dimana nilai yang tertinggi adalah 0.002358
berada di wilayah Lampung dan yang terendah adalah 0.0000 yaitu pada daerah
Bangka, Bogor, Malang, Pati, dan Lombok. Persentase jarak genetik antarpopulasi
P. manihoti adalah 0.00000-0.00409. Jarak genetik 0.00409 antar populasi yang
paling besar terjadi pada populasi Bangka-Semarang, Cilegon-Semarang, Malang-
Semarang, Pati-Semarang, dan Lombok-Semarang. Hasil filogenetik
membuktikan bahwa terjadi suatu pemisahan berdasarkan konstruksi pohon
filogenetik.
Pita elektroforesis, ukuran gen 28S, dan hasil BLASTn sampel A. lopezi
menunjukkan posisi target gen 28S dengan panjang 635 bp. Hasil identity
menunjukkan sebesar (87%-91%) dan query cover (89%-99%), sedangkan
perbedaan interpopulasi membandingkan antara A. lopezi dan outgroupnya, A.
pseudococci. Distribusi frekuensi nukleotida pada gen sekuen mengungkapkan
bahwa distribusi nukleotida Adenin (A) bervariasi dari 19.91 hingga 21.26% dan
untuk Timin (T) dari 22.14 hingga 22.83%, sedangkan untuk nukleotida Guanin
dan Sitosin (G dan C), distribusi yang diamati masing-masing adalah 29.61
hingga 31.06% dan 26.30 hingga 26.77%. Hasil amplifikasi dari 25 individu
menghasilkan 12 haplotipe. Estimasi keanekaragaman genetik A. lopezi
menunjukkan bahwa keanekaragaman haplotipe bervariasi 0.00 hingga 1.00
dengan rata-rata 0.91, menyiratkan bahwa haplotipe sangat berbeda satu sama
lain. Keanekaragaman haplotipe tertinggi (Hd = 1.00) terdeteksi pada populasi
Pati, diikuti oleh Lampung (Hd = 0.79) dan Lombok (Hd = 0.60).
Keanekaragaman nukleotida berkisar antara 0.00 dan 0.015433. Jarak genetik
terpendek (D = 0.01811 ± 0.00548) ditemukan antarpopulasi dari Lampung dan
Bogor, sedangkan jarak genetik terpanjang (D = 0.03836 ± 0.00639) antara Bogor
dan Lombok. Analisis filogenetik menunjukkan lima kelompok haplotipe yang
berbeda. Populasi A. lopezi dari Bogor dan Lampung secara genetik lebih dekat
daripada populasi lainnya. Sampel A. lopezi yang dikumpulkan dari Lombok
muncul pada kelompok yang terpisah, menunjukkan bahwa populasi ini berbeda.
Fungsi compare location memberikan nilai yang bervariasi. Wilayah Pulau
Jawa dengan nilai EI di antara 54-98, dan NTB, Lampung, dan Bangka dengan
nilai EI 70-95. Nilai EI yang dikeluarkan model secara keseluruhan menunjukkan
bahwa wilayah di Indonesia memiliki kondisi iklim yang sangat baik untuk
perkembangan kutu putih P. manihoti. Nilai temperatur (TI) mencapai 81-100
sedangkan nilai kelembapan (MI) juga mencapai nilai 63-100 yang diasumsikan
sangat cocok untuk perkembangan P. manihoti. Untuk nilai stres kering (DS),
stres basah (WS), dan stres panas (HS) mengeluarkan hasil 0-2 yang berarti
faktor-faktor ini tidak memengaruhi perkembangan P. manihoti di Indonesia.
Collections
- DT - Agriculture [770]
