Desain Proteksi Sistem Ruang Kehidupan Masyarakat Pesisir: Adaptasi Funaya-Jepang bagi Suku Bajo-Indonesia
Abstract
ASNAEDI. Desain Proteksi Sistem Ruang Kehidupan Masyarakat Pesisir: Adaptasi Funaya-Jepang Bagi Suku Bajo-Indonesia. Dibimbing oleh JOYO WINOTO, HARIANTO dan LINDA KARLINA SARI.
Hubungan manusia dengan alam telah menjadi bagian integral dalam kehidupan masyarakat adat di Indonesia, termasuk masyarakat Bajo. Sebagai negara kepulauan terbesar, Indonesia memiliki keragaman budaya dan kearifan lokal yang sangat terkait dengan ekosistem laut. Masyarakat Bajo adalah salah satu contoh nyata dari hubungan adaptif manusia dengan lingkungan, di mana mereka hidup bergantung pada laut untuk tempat tinggal dan mata pencaharian. Pola hidup mereka mencerminkan adaptasi, interaksi, dan pemanfaatan sumber daya laut secara berkelanjutan. Namun, dengan berkembangnya industrialisasi dan modernisasi, muncul tantangan dalam mengelola ruang hidup masyarakat Bajo. Kebijakan nasional saat ini dominan berorientasi pada daratan, mengabaikan kearifan lokal mereka yang telah diwariskan secara turun-temurun. Kerangka hukum yang ada, termasuk UUD 1945 Pasal 33 Ayat (3) dan Pasal 27 Ayat (2), menegaskan bahwa kekayaan sumber daya merupakan milik negara dan dipergunakan bagi kemakmuran rakyat untuk menjamin setiap warga negara mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang layak. Akan tetapi, implementasi kebijakan tersebut belum sepenuhnya mencerminkan keberpihakan pada kebutuhan masyarakat adat yang bermukim di wilayah perairan.
Pada era 1980-an hingga 1990-an, pemerintah mencoba merelokasi masyarakat Bajo ke daratan melalui program transmigrasi atau resettlement. Program ini tidak sepenuhnya berhasil karena tidak sesuai dengan budaya mereka, menciptakan risiko kehilangan identitas budaya, kesulitan adaptasi, dan marginalisasi. Pendekatan top-down tanpa partisipasi aktif masyarakat hanya memicu resistensi dan kurangnya rasa memiliki. Dalam menghadapi tantangan ini, keberlanjutan ruang hidup masyarakat Bajo di wilayah perairan menjadi harapan atau prioritas utama untuk menjaga identitas budaya. Tantangan meliputi degradasi lingkungan, kerentanan terhadap bencana alam, dan penurunan kesejahteraan. Kebijakan yang tidak sejalan dengan tradisi mereka dan lemahnya pengakuan hak sebagai warga negara di perairan memperburuk situasi. Kerangka hukum nasional yang lebih berfokus pada daratan menciptakan kesenjangan dalam mengakomodasi keberlanjutan ruang hidup mereka. Tanpa desain proteksi yang mengakomodir kearifan lokal mereka, ruang hidup mereka terus menghadapi ancaman eksploitasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model desain proteksi dan pengelolaan ruang hidup masyarakat Bajo yang adaptif, inklusif, dan berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini mengintegrasikan pendekatan Rights, Restrictions, and Responsibilities (RRRs) dengan konsep Adaptive Governance dan Co-Management dalam pengelolaan wilayah pesisir. Pendekatan tersebut dirancang untuk menciptakan keseimbangan antara pengakuan hak masyarakat Bajo, penerapan pembatasan guna melindungi ekosistem laut, serta pelaksanaan tanggung jawab bersama antar pemangku kepentingan. Secara spesifik, penelitian ini dimaksudkan untuk: (1) menganalisis bagaimana kebijakan dan regulasi nasional mempengaruhi pengakuan serta perlindungan hak atas tanah bagi masyarakat Bajo di wilayah perairan; (2) mengevaluasi kerangka hukum nasional terkait dengan RRRs dan dampaknya terhadap kepatuhan serta hak masyarakat untuk tinggal dan mengambil hasil laut; serta (3) mengembangkan desain proteksi ruang kehidupan masyarakat Bajo yang mengadaptasi model Funaya di Jepang dengan penekanan pada pengakuan formal hak adat, pemberdayaan komunitas, dan penerapan zonasi eksklusif untuk melindungi lingkungan pesisir. Dengan demikian, diharapkan penelitian ini menghasilkan solusi kebijakan yang komprehensif guna mendukung keberlanjutan ruang hidup masyarakat Bajo.
Analisa dimulai dengan evaluasi kerangka hukum saat ini menggunakan metode Hierarchical Theory Approach, Abstraction Approach, dan Empirical Legal Analysis untuk mengkaji sejauh mana regulasi yang ada mengakomodasi hak-hak masyarakat Bajo dalam sistem hukum nasional berdasarkan peraturan- peraturan yang sudah diterbitkan. Selain itu, analisis SWOT diterapkan untuk mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan dalam perlindungan ruang hidup masyarakat Bajo. Selanjutnya, eksplorasi dilakukan untuk mengidentifikasi variabel yang memengaruhi ketaatan masyarakat Bajo terhadap kebijakan berbasis RRRs berdasarkan hasil survei tatap muka dengan menerapkan metode Structural Equation Modeling (SEM) guna menganalisis hubungan antar variabel yang memengaruhi kepatuhan terhadap kebijakan tersebut. Sebagai upaya memperdalam interpretasi, Thematic Analysis digunakan untuk memahami pola temuan kuantitatif dari hasil SEM dengan temuan kualitatif dari wawancara dengan masyarakat Bajo. Hasil analisis ini menjadi dasar perancangan desain proteksi ruang hidup masyarakat Bajo, yang tidak hanya mengakomodasi aspek hukum dan sosial budaya tetapi juga mempertimbangkan efektivitas kebijakan yang adaptif dan inklusif. Oleh karena itu, metode Regulatory Impact Assessment (RIA) digunakan untuk menilai dampak implementasi kebijakan desain proteksi yang dikembangkan. Pengembangan yang dimaksud dilakukan adaptasi dari best-practice model Internasional yang sudah berjalan dengan kondisi yang mirip dengan Masyarakat Bajo, yakni Funaya di Kota Ine, perfektur Kyoto, Jepang. Kunjung lapangan dilakukan bertujuan untuk mempelajari bagaimana Funaya menggabungkan aspek pengakuan hak legal, pelestarian lingkungan, dan pemberdayaan komunitas dalam satu kerangka kerja yang efektif untuk mengembangkan desain proteksi yang sustainable dalam kerangka kebijakan yang modern saat ini.
Temuan penelitian ini mengungkapkan beberapa poin krusial terkait pengelolaan ruang hidup masyarakat Bajo di wilayah perairan. Pendekatan top- down yang kaku gagal mengakomodasi tradisi lokal masyarakat Bajo. Oleh karena itu, diperlukan harmonisasi kebijakan yang mengintegrasikan nilai lokal dengan kebijakan nasional. Pendekatan ini penting untuk memastikan keadilan sosial serta keberlanjutan pengelolaan wilayah pesisir. Penelitian ini juga menemukan bahwa pengakuan hak legal yang disertai tanggung jawab kolektif dapat meningkatkan kepatuhan masyarakat terhadap regulasi. Dalam implementasinya, penelitian mengusulkan kebijakan yang dibagi ke dalam tiga kluster utama. Pertama, kluster aplikatif yang mengedepankan pengakuan hak legal seperti Hak Atas Tanah (HAT). Kedua, kluster reformatif untuk menyesuaikan kebijakan pembatasan agar lebih responsif terhadap kondisi lokal masyarakat. Ketiga, kluster revolutif untuk menciptakan kebijakan baru dalam tata kelola sumber daya pesisir yang berkelanjutan. Selanjutnya, penelitian ini mengadaptasi elemen-elemen dari model Funaya di Jepang untuk konteks masyarakat Bajo. Elemen tersebut mencakup zonasi eksklusif serta perlindungan budaya lokal. Zonasi ruang kehidupan
kemudian dibagi menjadi beberapa jenis, seperti zona konservasi, zona rentan, zona aktivitas ekonomi, zona eksklusif, dan zona terbuka. Zonasi ini dirancang untuk mendukung keberlanjutan ekologi, sosial, dan ekonomi masyarakat Bajo. Penelitian ini juga menegaskan pentingnya memberikan tanggung jawab langsung kepada masyarakat Bajo sebagai aktor utama dalam perlindungan wilayah pesisir. Keterlibatan aktif masyarakat akan meningkatkan tingkat kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku. Penyederhanaan prosedur birokrasi turut diusulkan untuk mempercepat implementasi kebijakan. Dengan mengintegrasikan kearifan lokal dan praktik terbaik internasional dari model Funaya Jepang, desain proteksi ini menjadi pedoman utama bagi Kementerian ATR/BPN. Pendekatan ini akan membantu mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan bagi masyarakat Bajo.