Pengembangan Model Agroforestri Kakao Sebagai Lanskap Multifungsi untuk Optimasi Sinergi dan Nilai Ekonomi Jasa Ekosistem
Date
2025Author
Kristanto, Yudha
Tarigan, Suria Darma
June, Tania
Sulistyantara, Bambang
Metadata
Show full item recordAbstract
Kabupaten Luwu Utara di Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu sentra produksi kakao di Indonesia. Perkebunan kakao di wilayah ini memiliki luas sebesar 40.508 ha yang seluruhnya dikelola oleh petani skala kecil dengan luas rata-rata 1-2 ha. Perkebunan rakyat ini menopang mata pencaharian sebanyak 29.179 rumah tangga. Meskipun memiliki peran penting dalam perekonomian lokal dan regional, pengembangan perkebunan kakao di Kabupaten Luwu Utara justru menghadapi berbagai tantangan, seperti penurunan produksi, fluktuasi harga, dan alih fungsi lahan ke komoditas lain yang lebih menguntungkan. Akibatnya, lanskap kakao diperkirakan akan bergeser dari wilayah hilir ke daerah hulu yang bersinggungan dengan ekosistem alami. Selain itu, tren budidaya kakao cenderung diintensifkan dengan sistem monokultur untuk meningkatkan produksi. Meskipun perluasan dan intensifikasi mendukung jasa penyediaan, hal ini dikhawatirkan menyebabkan penurunan kesehatan tanah dan jasa pengaturan, yang kemudian meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi. Oleh karena itu, memenuhi permintaan produksi kakao seiring dengan mempertahankan jasa ekosistem merupakan tantangan dalam mewujudkan perkebunan kakao berkelanjutan.
Model lanskap multifungsi berbasis kakao sebagai komoditas utama perlu dikembangkan dengan mengintegrasikan pohon serbaguna (multipurpose tree species/MPTS) untuk mensinergikan berbagai jasa ekosistem sekaligus meningkatkan produksi total. Tujuan utama dari penelitian ini adalah mengembangkan model lanskap multifungsi berbasis kakao yang mengoptimalkan produktivitas, profitabilitas, dan sinergi jasa ekosistem, sehingga dapat diadopsi secara komersial oleh petani skala kecil. Untuk mencapai tujuan utama, tujuan antara yang perlu dicapai terlebih dahulu adalah: (1) mengevaluasi tingkat kesehatan tanah dan mengestimasi nilai ekonominya pada perkebunan kakao yang dikelola secara lanskap multifungsi, (2) mengkuantifikasi dan memetakan distribusi manfaat jasa ekosistem yang dihasilkan oleh lanskap yang didominasi perkebunan kakao, (3) mengevaluasi interaksi antar jasa ekosistem yang dihasilkan oleh lanskap yang didominasi perkebunan kakao secara spasiotemporal, serta (4) mengestimasi dan memetakan secara spasial nilai ekonomi jasa ekosistem yang dihasilkan oleh lanskap yang didominasi perkebunan kakao.
Penelitian ini mengembangkan kerangka kerja yang mengintegrasikan kuantifikasi, interaksi, dan valuasi ekonomi jasa ekosistem ke dalam perencanaan agroforestri kakao yang dapat diadopsi oleh petani skala kecil. Kerangka kerja yang dikembangkan dirancang sesuai dengan konteks lokal, sehingga memungkinkan petani skala kecil untuk memperoleh manfaat ekonomi dari peningkatan jasa ekosistem pada tingkat lahan hingga lanskap. Dengan dukungan bukti ilmiah yang kuat, penelitian ini memberikan rekomendasi kebijakan untuk mendorong adopsi model agroforestri kakao dalam mendukung pembangunan berkelanjutan. Kebaharuan penelitian ini juga terletak pada pengembangan pendekatan untuk memperkirakan nilai ekonomi lahan yang mempertimbangkan hubungan kompleks antara parameter kesehatan tanah dengan jasa ekosistem yang didukungnya. Selain itu, penelitian ini mengeksplorasi interaksi antar jasa ekosistem secara spasiotemporal, yang membedakannya dari penelitian lain yang umumnya mengkaji jasa ekosistem tunggal. Dengan menerapkan valuasi ekonomi jasa ekosistem, penelitian ini menyoroti manfaat ekonomi tersembunyi dari jasa ekosistem secara spasial yang memberikan dasar ekonomi bagi para pemangku kepentingan untuk berinvestasi dalam agroforestri kakao.
Penelitian ini dibagi menjadi lima tahapan utama untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Tahap pertama adalah mengevaluasi parameter kesehatan tanah pada perkebunan kakao yang dikelola dengan sistem agroforestri dan monokultur. Selanjutnya, nilai ekonomi kesehatan tanah sebagai modal alam diestimasi berdasarkan efek berjenjangnya dalam penyediaan jasa ekosistem. Tahap kedua mengkuantifikasi dan memetakan distribusi manfaat jasa ekosistem menggunakan model Soil and Water Assessment Tools (SWAT) dan Integrated Valuation of Ecosystem Services and Trade-offs (InVEST). Sepuluh indikator yang dikuantifikasi mencakup jasa penyediaan, pengendalian erosi, pengaturan iklim, retensi hara, dan pengaturan air. Tahap ketiga mengevaluasi interaksi antar jasa ekosistem secara spasiotemporal menggunakan analisis korelasi dan perubahan, serta mengelompokkan jasa ekosistem menggunakan analisis klaster. Tahap keempat adalah mengestimasi nilai ekonomi jasa ekosistem berdasarkan efek berjenjang menggunakan metode valuasi ekonomi yang andal untuk menentukan nilai ekonomi total setiap jenis penggunaan lahan. Tahap terakhir adalah mengembangkan model lanskap multifungsi yang mempertimbangkan komposisi dan konfigurasi tanaman kakao serta pohon serbaguna (MPTS) pada skala lahan dan lanskap. Setiap model dievaluasi menggunakan nisbah ekuivalen lahan, analisis biaya-manfaat finansial, dan analisis biaya-manfaat ekonomi.
Kesehatan tanah merupakan modal alam yang mendukung berbagai jasa ekosistem bernilai ekonomi tinggi, seperti porositas tanah yang mendukung jasa pengaturan air, karbon organik yang mendukung jasa pengaturan iklim, organisme tanah yang mendukung jasa biodiversitas, serta kandungan hara yang mendukung jasa retensi hara. Namun, petani sering kali kurang memperhatikan kesehatan tanah karena dianggap tidak menguntungkan secara ekonomi. Agroforestri kakao tidak hanya meningkatkan kesehatan tanah di setiap jenis tanah secara signifikan, tetapi juga meminimalkan degradasinya akibat erosi. Peningkatan setiap parameter kesehatan tanah pada agroforestri kakao berkontribusi pada nilai guna tidak langsung, yang merupakan eksternalitas jika tidak dimasukkan dalam analisis biaya-manfaat. Total nilai guna tidak langsung (IUV) kesehatan tanah pada agroforestri kakao di tanah Endoaquepts dan Dystrudepts masing-masing 1,57 dan 1,27 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kakao monokultur. Karbon organik tanah memiliki kontribusi tertinggi terhadap IUV, diikuti oleh kandungan nitrogen. Valuasi ekonomi kesehatan tanah dapat mendorong internalisasi nilai ekonomi kesehatan tanah dalam desain pengelolaan lahan yang berkelanjutan.
Agroforestri kakao tidak hanya menyediakan jasa ekosistem yang bermanfaat bagi petani, tetapi juga jasa ekosistem yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Untuk melestarikan jasa ekosistem yang disediakan oleh agroforestri kakao, jasa tersebut harus didefinisikan, dikuantifikasi, dan distribusi manfaatnya dipetakan secara rinci. Agroforestri kakao menurunkan limpasan permukaan, erosi, nitrogen tercuci, fosfor tercuci, dan bahang terasa masing-masing sebesar 23-26%, 69-70%, 26-34%, 20-31%, dan 0,2-0,5%, serta meningkatkan simpanan karbon, pengisian ulang air tanah, dan komponen hasil air berkelanjutan masing-masing sebesar 30-37%, 15-22%, dan 15-20% dibandingkan dengan kakao monokultur. Agroforestri kakao meningkatkan jasa ekosistem pada lanskap pertanian melalui strukturnya yang terdiri atas tajuk dan perakaran multistrata, penutup tanah, dan tanah yang sehat. Kuantifikasi dan pemetaan distribusi manfaat menjadi sangat penting untuk mengoptimalkan berbagai jasa ekosistem, sekaligus mencegah strategi yang hanya berfokus pada memaksimalkan salah satu jasa ekosistem dan mengabaikan jasa ekosistem lainnya.
Tekanan terhadap ekosistem akibat meningkatnya kebutuhan manusia mendorong pengelolaan lanskap yang mampu menjaga keseimbangan penyediaan berbagai jasa ekosistem. Di sisi lain, jasa ekosistem saling berinteraksi satu sama lain, sehingga perubahan pada salah satu jasa ekosistem akan memengaruhi jasa ekosistem lainnya. Kehadiran agroforestri kakao menciptakan rumpun lanskap multifungsi yang menggabungkan jasa pengaturan yang optimal dari rumpun vegetasi alami dengan jasa penyediaan yang optimal dari rumpun pertanian intensif. Jasa pengaturan menunjukkan interaksi yang saling bersinergi satu sama lain, sementara terjadi trade-off terhadap jasa penyediaan. Interaksi antara pengendalian limpasan permukaan dan pengisian ulang air tanah menunjukkan sinergi terkuat, sedangkan interaksi antara jasa penyediaan dan pengendalian pencucian fosfor menunjukkan trade-off terkuat. Sebagai konsekuensi dari interaksi ini, perubahan lahan yang mengubah jasa ekosistem dapat meningkatkan kesejahteraan jika menciptakan sinergi positif, memicu degradasi jika menghasilkan sinergi negatif, dan menimbulkan konflik jika terjadi trade-off. Dengan pemahaman ini, para pemangku kepentingan dapat merumuskan kebijakan yang efektif untuk mengoptimalkan jasa ekosistem sekaligus menghindari konflik dan degradasi jasa ekosistem.
Valuasi ekonomi diperlukan untuk menginternalisasi nilai ekonomi jasa ekosistem dari agroforestri kakao dalam pengambilan keputusan. Mengingat banyak jasa ekosistem tidak memiliki nilai pasar, pemilihan metode valuasi yang tepat menjadi krusial untuk menghindari kesalahan hitung dan risiko perhitungan ganda. Jasa penyediaan, yang merupakan manfaat privat langsung, memberikan kontribusi tertinggi terhadap total nilai ekonomi jasa ekosistem, baik pada agroforestri kakao maupun kakao monokultur. Dalam hal manfaat sosial tidak langsung, pengisian ulang air tanah memberikan kontribusi tertinggi terhadap total nilai ekonomi pada agroforestri kakao dan kakao monokultur di wilayah hilir, yaitu masing-masing sebesar 26% dan 24%. Di wilayah hulu, kontribusi tertinggi terhadap total nilai ekonomi agroforestri kakao berasal dari pengendalian limpasan permukaan sebesar 23%, sedangkan kakao monokultur memperoleh kontribusi tertinggi dari pengaturan iklim mikro yang mencapai 24%. Pencucian hara justru mengurangi nilai ekonomi pada kedua penggunaan lahan tersebut. Total nilai ekonomi jasa ekosistem dari agroforestri kakao menjadi lebih rendah jika hanya berfokus pada jasa penyediaan. Sementara itu, nilai ekonomi agroforestri kakao dapat melampaui nilai kakao monokultur ketika mempertimbangkan kontribusi jasa pengaturan.
Kesadaran akan dampak negatif dari kakao monokultur telah mendorong adopsi lanskap multifungsi untuk mengoptimalkan aspek ekologi, sosial, dan ekonomi pada perkebunan kakao. Penelitian ini mengembangkan model lanskap multifungsi pada skala lahan dan lanskap guna mendukung pengembangan kakao yang berkelanjutan dan regeneratif di DAS Rongkong. Model lanskap multifungsi yang melibatkan skenario agroforestri (land sharing) dan land sparing dievaluasi dengan mempertimbangkan sinergi dan nilai ekonomi jasa ekosistem yang dihasilkan oleh masing-masing skenario. Kombinasi agroforestri kakao-durian-alpukat diidentifikasi sebagai alternatif terbaik, berkat sinergi jasa ekosistem, nilai finansial, dan nilai ekonomi yang ditawarkannya. Kombinasi ini mengungguli skenario lainnya dengan menghasilkan NPVF, NPVE, BCRF, dan BCRE yang lebih tinggi masing-masing 2,23; 1,66; 1,77; dan 1,51 kali di wilayah hulu, serta 2,26; 1,61; 1,78; dan 1,42 kali di wilayah hilir dibandingkan dengan kakao monokultur. Oleh karena itu, karena kombinasi ini layak secara ekologis dan ekonomis pada 1 hektar lahan, maka menjadi lebih sesuai diterapkan di wilayah kajian dengan petani kecil yang mengelola lahan seluas 1-2 hektar. Kombinasi kakao-alpukat-durian secara agroforestri juga mampu menghemat lahan sebesar 0,4 hektare untuk menghasilkan manfaat yang sama jika kombinasi tersebut diatur secara land sparing. Di tingkat lanskap, agroforestri kakao-durian-alpukat memberikan manfaat yang lebih holistik ketika diperluas untuk menggantikan seluruh lahan potensial, yang meliputi kakao monokultur, agroforestri kakao business as usual, dan lahan marjinal yang ada. Namun, penting untuk dicatat bahwa implementasi agroforestri dapat berdampak pada perbedaan nilai LER, NPV, dan BCR, tergantung pada kondisi biofisik dan sosial-ekonomi wilayah.