Peran Pediococcus pentosaceus IL13 pada Fermentasi Limbah Ikan Tongkol (Euthynnus affinis)
Date
2025Author
Ramadhan, Zulfa Aulia
Meryandini, Anja
Sunarti, Titi Candra
Metadata
Show full item recordAbstract
Produksi limbah dari pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) seperti kepala, ekor, dan jeroan di Indonesia masih tinggi dan berpotensi mencemari lingkungan. Pemanfaatan produk samping ini secara optimal berdampak langsung pada pencegahan pencemaran lingkungan dan perekonomian. Kegagalan untuk menggunakan atau pengelolaan produk samping tidak hanya menyebabkan hilangnya potensi pendapatan tetapi juga meningkatkan biaya pembuangan produk samping tersebut. Limbah ini sebenarnya kaya nutrisi dan dapat dimanfaatkan sebagai sumber pepton, antimikroba, dan antioksidan. Sejalan dengan upaya Sustainable Development Goals (SDGs) poin ke-12 melalui konsep zero waste yang menekankan pentingnya mengurangi produksi limbah, salah satu solusinya adalah pemanfaatan limbah ikan tongkol untuk produksi protein hidrolisat secara fermentatif. Penelitian dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu validasi isolat dan penyiapan starter kultur, proses fermentasi yang dilakukan selama 30 hari secara spontan atau dengan penambahan kultur Pediococcus pentosaceus IL13, pengukuran kinerja fermentasi ditentukan dengan mengukur dinamika pertumbuhan bakteri, pH, kadar protein, dan kadar asam amino. Selanjutnya juga dilakukan uji proksimat dari sampel padatan limbah ikan sebelum dan setelah difermentasi 10 hari, analisis komposisi asam amino dan pengujian aktivitas antibakteri terhadap bakteri Salmonella typhi.
Jumlah sel bakteri pada fermentasi dengan penambahan kultur memiliki total bakteri dan total bakteri asam laktat (BAL) yang lebih tinggi dari fermentasi spontan. Fermentasi selama 10 hari mengakibatkan penurunan 87,7% jumlah total bakteri pada fermentasi spontan dan 96,6% pada fermentasi kultur. Sementara itu jumlah BAL pada masing-masing fermentasi juga mengalami penurunan 98,4% pada fermentasi spontan dan 98,1% pada fermentasi kultur. Nilai pH sampel fermentasi terus mengalami peningkatan dari awal fermentasi rentang 6 sampai 6,5 menjadi 7,5 sampai 8,5 hingga akhir fermentasi hari ke-30. Kadar protein dalam padatan maupun filtrat sampel fermentasi spontan meningkat 15,56% pada filtrat dan 11,42% pada padatan setelah di fermentasi 10 hari namun mengalami penurunan hingga hari ke-30 pada fermentasi spontan. Fermentasi dengan penambahan kultur juga menunjukkan kecenderungan yang sama, mengalami peningkatan kadar protein 28,83% pada filtrat dan 9.41% pada padatan setelah difermentasi selama 10 hari dan kemudian terus menurun hingga akhir fermentasi. Kadar asam amino terlarut dalam filtrat memiliki nilai tertinggi setelah difermentasi 10 hari yaitu 50545,5 ± 1357,1 ppm pada fermentasi spontan dan 63727,3 ± 3428,4 ppm pada fermentasi dengan penambahan kultur dan kemudian terus menurun hingga fermentasi 30 hari menjadi 32313,1 ± 4714,0 ppm pada fermentasi spontan dan 27919,2 ± 3499,8 ppm pada fermentasi kultur
Fermentasi limbah ikan diketahui mengakibatkan terjadinya perubahan komponen proksimat pada padatan residu fermentasi. Proses fermentasi selama 10 hari mengakibatkan penurunan kadar air 5,41% pada fermentasi spontan dan 5,14% pada fermentasi dengan penambahan kultur. Kandungan kadar abu dan kadar lemak mengalami peningkatan 23,67% dan 39,87% pada fermentasi spontan, sedangkan pada fermentasi dengan penambahan kultur mengalami peningkatan kadar abu 4,55% dan kadar lemak 42,27%. Kadar protein mengalami peningkatan 2,44% pada fermentasi spontan dan mengalami penurunan 2,04% pada fermentasi dengan penambahan kultur. Filtrat sampel fermentasi mengandung 17 jenis asam amino bebas, terdiri atas 8 jenis asam amino esensial dan 9 jenis asam amino non esensial baik yang difermentasi secara spontan maupun fermentasi dengan penambahan kultur.
Protein hidrolisat yang terdapat pada filtrat hasil fermentasi limbah ikan secara spontan maupun penambahan kultur bakteri diketahui memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri patogen Salmonella typhi yang ditandai dengan terbentuknya zona bening. Fermentasi limbah ikan tongkol selama 20 hari memiliki aktifitas antibakteri dengan kategori kuat. Dengan demikian fermentasi limbah ikan merupakan sebagai salah satu bentuk usaha pencegahan pencemaran lingkungan yang menghasilkan produk dengan kualitas lebih baik dan memiliki aktivitas antibakteri, sehingga potensial diaplikasikan diberbagai bidang. The production of waste from the processing of tuna (Euthynnus affinis), including heads, tails, and viscera, remains high in Indonesia and poses a significant environmental risk. Optimal utilization of these by-products directly impacts environmental sustainability and supports economic growth. Failure to manage or utilize these by-products not only results in a loss of potential revenue but also increases waste disposal costs. However, these wastes are nutrient-rich and can be used as sources of peptones, antimicrobial agents, and antioxidants. Aligned with the Sustainable Development Goals (SDGs), specifically Goal 12, which emphasizes the importance of reducing waste production through the zero-waste concept, one solution is the utilization of tuna by-products for the production of protein hydrolysates through fermentation. This study involved validating isolates and preparing culture starters. The fermentation process was conducted for 30 days, both spontaneously and with the addition of Pediococcus pentosaceus IL13 culture. Fermentation performance was assessed by measuring bacterial growth dynamics, pH, protein content, and amino acid content. Further analyses included proximate analysis, amino acid composition profiling, and antibacterial activity testing.
Fermentation with added culture resulted in higher bacterial and lactic acid bacteria counts compared to spontaneous fermentation. After 10 days, total bacterial counts decreased by 87.7% in spontaneous fermentation and 96.6% in culture-added fermentation. The pH of fermentation samples consistently increased during the process, rising from a range of 6.0–6.5 to 7.5–8.5 by the end of the 30-day fermentation period. Protein content in both the filtrate and solids of spontaneous fermentation samples increased by 15.56% in the filtrate and 11.42% in the solids after 10 days but decreased to 2.44% by day 30.
In culture-added fermentation, protein content increased by 28.83% in the filtrate and 9.41% in the solids after 10 days, then decreased towards the end of fermentation. The soluble amino acid content in the filtrate peaked after 10 days of fermentation, reaching 50,545.5 ± 1,357.1 ppm in spontaneous fermentation and 63,727.3 ± 3,428.4 ppm in culture-added fermentation. By the 30th day, this value had declined to 27,919.2 ± 3,499.8 ppm in spontaneous fermentation and 32,313.1 ± 4,714.0 ppm in culture-added fermentation. Fermentation of fish waste also caused changes in the proximate composition of the solid fermentation residue, including moisture, ash, fat, and protein content. After 10 days, moisture content decreased by 5.41% in spontaneous fermentation and 5.14% in culture-added fermentation. The ash and fat contents increased by 23.67% and 39.87%, respectively, in spontaneous fermentation, while in culture-added fermentation, the ash content increased by 4.55% and the fat content by 42.27%. Protein content increased by 2.44% in spontaneous fermentation but decreased by 2.04% in culture-added fermentation. Analysis of the filtrate from the fermentation samples identified 17 types of free amino acids, comprising 8 essential amino acids and 9 non-essential amino acids, in both spontaneous and culture-added fermentation.
Protein hydrolysates in the filtrate from the fermentation of fish waste have demonstrated antibacterial activity against the pathogenic bacterium Salmonella typhi, as evidenced by the formation of clear zones with strong activity observed after 20 days of fermentation. This finding highlights that fermenting fish waste can reduce environmental pollution while producing valuable antibacterial products for various applications.