dc.description.abstract | Cumi-cumi merupakan salah satu komoditas terbesar di PPN Muara Angke. Cumi beku bernilai ekonomi lebih tinggi dari nilai ekonomi lainnya, sehingga dapat dikatakan bahwasanya komoditas cumi menjadi favorit konsumen. Volume penangkapan cumi pada tahun 2020 sebesar 32.970,78 ton sedangkan tahun 2021 sebesar 41.291,89 ton. Nilai produksi sekitar Rp 1.858.717.000,- dan tahun 2021 nilai produksi sekitar Rp 2.538.150.848,- (Statistik KKP, 2021).
Pendaratan cumi beku di PPN Muara Angke saat ini masih dalam kondisi yang kurang baik dan belum memenuhi standar operasional prosedur. Lantai dermaga juga memiliki genangan air berwarna kehitaman, beraroma tidak sedap, dan cumi beku terpapar langsung dengan sinar matahari. Saat pembongkaran buruh bongkar tidak menggunakan alat pelindung diri misalnya sarung tangan maupun afron selama pembongkaran maupun pendaratan cumi beku. Hal ini menyebabkan kontak langsung terhadap produk, dan berpotensi terjadinya kerusakan produk cumi beku selama pendaratan, baik aktivitas bakteri maupun kerusakan fisik cumi beku (dekomposisi). Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan (1) menganalisis penerapan SOP pada proses pendaratan cumi di PPN Muara Angke; (2) menganalisis persepsi atau cara pandang perilaku stakeholder kuli bongkar dan petugas perikanan perikanan cumi beku di lingkungan PPN Muara Angke; (3) merumuskan strategi SWOT pendaratan cumi beku di PPN Muara Angke.
Pengambilan data dilakukan dengan observasi langsung dan pengisian kuesioner. Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis deskriptif kuantitatif menggambarkan pengelolaan pendaratan di PPN Muara Angke dan persepsi kuli bongkar dalam menangani pendaratan cumi beku. Selanjutnya dilakukan penyusunan serta menentukan SWOT perikanan ikan cumi beku dan pelabuhan perikanan Nusantara Muara Angke. Analisis ini dilakukan dengan tabulasi maupun grafik untuk mempermudah penjabaran penyusunan dan penulisan karya ilmiah.
Mayoritas responden mengindikasikan bahwa mereka tidak pernah atau tidak setuju bahwa mereka telah diberikan perangkat kerja seperti sarung tangan, apron, atau sepatu bot sebelum memulai pekerjaan. Hanya sebagian kecil responden yang menyatakan bahwa mereka telah menerima perangkat kerja tersebut sebelum memulai pekerjaan. Hal ini menunjukkan adanya potensi masalah dalam penyediaan perangkat kerja yang sesuai untuk para pekerja di industri ini. Terdapat kelemahan internal yang perlu diatasi, salah satunya adalah kurangnya pemberian arahan yang rutin kepada petugas dan ketidaksesuaian dalam penerapan SOP, yang dapat mempengaruhi kualitas produk. | |