Kajian Bonggol Pisang (Musa paradisiaca) sebagai Sumber Antibakteri dan Prebiotik untuk Ayam Broiler
Date
2025Author
H, Nurul Fajrih
Wiryawan, I Komang Gede
Sumiati
Syafura, Suraya Kaffi
Metadata
Show full item recordAbstract
Pelarangan penggunaan Antibiotic Growth Promoters (AGP) sudah bergulir sejak Januari Tahun 2018. Larangan tersebut tertuang pada Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan No 18 pasal 22 ayat 4c Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 bahwa setiap orang dilarang menggunakan bahan pakan yang ditambahkan suplemen baik berupa hormon tertentu ataupun antibiotik. Kebijakan ini dilakukan pemerintah mengingat dampak negatif penggunaan AGP yaitu beresiko menimbulkan residu terhadap produk hasil ternak dan dapat menyebabkan resistensi bakteri sehingga dikhawatirkan dapat membahayakan kesehatan konsumen. Berdasarkan hal tersebut banyak penelitian yang telah dilakukan untuk mencari alternatif pengganti AGP mulai dari penggunaan enzim, minyak esensial, asam organik, probiotik, hingga prebiotik. Pengembangan dari bahan alam belum banyak diteliti, padahal Indonesia kaya dengan keanekaragaman hayati dan sangat menarik untuk dieksplorasi. Penelitian ini mengkaji potensi bonggol pisang sebagai sumber antibakteri dan prebiotik. Bonggol pisang merupakan bagian dari tanaman pisang berupa umbi batang yang tidak termanfaatkan, mengandung senyawa aktif yang berpotensi sebagai sumber antibakteri. Selain itu, bonggol pisang mengandung karbohidrat dan serat yang cukup tinggi sehingga sangat memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai sumber prebiotik baru.
Penelitian tahap pertama bertujuan untuk mengidentifikasi senyawa antibakteri pada bonggol pisang serta mengevaluasi aktivitasnya terhadap bakteri patogen yang umumnya menginfeksi ayam. Prosedur ekstraksi dilakukan dengan cara maserasi menggunakan etanol dan fraksinasi dengan metode cair-cair menggunakan etil asetat. Selanjutnya fraksi ekstrak yang diperoleh dimasukkan ke dalam kromatografi kolom menggunakan silika gel dan dielusi dengan 100% CHCl3, 20% MeOH/CHCl3, 3% MeOH/CHCl3, dan 100% MeOH. Selain itu, identifikasi senyawa antibakteri dilakukan dengan menggunakan GC-MS, dan uji penghambatannya dilakukan melalui metode difusi agar. Berdasarkan hasil kromatogram GC-MS, teridentifikasi komponen senyawa antibakteri paling tinggi yaitu Octadeca-9,12-Dienoic dan Hexadecanoic. Senyawa tersebut terbukti memiliki sifat antibakteri tertinggi terhadap E. coli, Salmonella thypi, S. aureus, dan B. cereus pada konsentrasi 5% dengan zona hambat berturut-turut sebesar 5,88 mm (sedang), 9,13 mm (sedang), 13,86 (kuat), dan 14,66 (kuat). Disimpulkan bahwa ekstrak bonggol pisang mengandung tujuh jenis senyawa antibakteri yaitu 1).Octadeca-9,12-Dienoic acid methyl ester, 2).Hexadecanoic acid (CAS) Palmitic acid, 3).Hexadecanoic acid methyl ester (CAS) Methyl palmitate, 4). 9-Octadecenoic acid methyl ester, 5). 1,4,8-Dodecatriene, (E,E,E)- (CAS), Octadecanoic acid, 6). methyl ester (CAS) Methyl stearate dan 7). 1,2- Benzenedicarboxylic acid, dioctyl ester (CAS) phthala dan mampu menghambat pertumbuhan bakteri patogen Escherichia coli, Salmonella thypi, Staphylococcus aureus, dan Bacillus cereus.
Penelitian tahap kedua bertujuan untuk mengekstraksi dan mengisolasi glukomanan dari bonggol pisang serta mengevaluasi potensinya sebagai prebiotik secara in vitro. Kegiatan ekstraksi dilakukan secara maserasi dengan perbandingan 1 : 10 yaitu 200 g tepung bonggol pisang dan 2 liter aquades (H2O) dengan elusi kolom kromatografi menggunakan etanol sebagai fase gerak dan diaion sebagai fase diam. Selanjutnya diuji untuk mengetahui kandungan glukomanan dalam ekstrak. Jenis bakteri asam laktat yang digunakan untuk uji in vitro adalah L.plantarum dan L. rhamnosus dan bakteri patogen menggunakan E.coli dan Salmonella. Media pertumbuhan bakteri yang digunakan yaitu media pertumbuhan dasar MRS (tanpa sumber gula) sebagai perlakuan kontrol (-), media MRS (dengan sumber gula yaitu glukosa) sebagai perlakuan kontrol (+) dan perlakuan media MRS (dengan sumber gula dari EBP). Berdasarkan hasil penelitian, EBP mengandung glukomanan sebesar 33,59% dengan rendemen sebanyak 14,15 % dan hasil uji in vitro menunjukkan EBP hanya mampu difermentasi oleh BAL namun tidak difermentasi oleh bakteri patogen. Selain itu, EBP dapat dimanfaatkan menjadi sumber karbon untuk pertumbuhan BAL yang ditandai dengan pertumbuhan L. plantarum dan L. rhamnosus yang terus mengalami peningkatan jumlah sel hingga masa inkubasi 48 jam masing-masing sebesar 8,107 log cfu ml-1dan 7,771 log cfu ml-1, sementara pada bakteri patogen tidak ada pertumbuhan dan mengalami kematian. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa EBP dapat dimanfaatkan sebagai prebiotik berupa glukomanan.
Penelitian tahap ketiga bertujuan untuk mengevaluasi secara in vivo potensi bonggol pisang yang mengandung glukomanan terhadap performa pertumbuhan dan kesehatan ayam broiler. Sebanyak dua ratus ekor ayam broiler umur satu hari dialokasikan secara acak ke dalam 4 perlakuan dengan 5 ulangan (masing-masing ulangan 10 ekor). Perlakuan yang diberikan adalah R0 = ransum kontrol tanpa penambahan glukomanan, R1 = R0 + 0,85% tepung bonggol pisang (setara dengan 0,20% glukomanan komersil), R2 = R0 + 0,60 % ekstrak bonggol pisang (setara dengan 0,20% glukomanan komersil), dan R3 = 0,20% glukomanan komersial. Variabel yang diamati adalah performa pertumbuhan, retensi protein, populasi BAL, produksi SCFA (asetat, propionat, butirat), morfologi dan histopatologi usus, serta hematologi dan profil lemak darah. Semua data yang diperoleh dianalisis menggunakan ANOVA (Analisis of variance). Berdasarkan hasil penelitian, perlakuan glukomanan yang bersumber dari EBP (R2) dan glukomanan komersial (R3) secara umum mampu meningkatkan performa pertumbuhan, retensi protein, dan kesehatan ayam broiler. Namun berdasarkan analisis IOFCC, perlakuan TBP (R1) menunjukkan hasil yang lebih ekonomis dibandingkan perlakuan lainnya. Sebagai kesimpulan, pemberian ekstrak bonggol pisang kepok sebesar 0,6% dan glukomanan komersil sebesar 0,2% ke dalam ransum sama-sama mampu meningkatkan kesehatan saluran pencernaan, retensi protein, imunitas tubuh dan performa pertumbuhan ayam broiler sehingga dapat dijadikan sumber prebiotik alternatif pengganti AGP, meskipun secara aplikatif dan ekonomis diperoleh terbaik pada pemberian tepung bonggol pisang 0,85%. Antibiotic Growth Promoters (AGPs) have been banned since January 2018. The regulation is stated in the Law of Animal Husbandry and Veterinary Health, No. 18 chapter 22 point 4c in the 2009 and Law No. 41 of 2014 that every person is not allowed to use feed ingredients that are added with supplements in the form of certain hormones or antibiotics. Regulation is carried out by the government considering the negative impact of AGP usage, which is the risk of residues on livestock products and can cause bacterial resistance, which is concerned that it can be harmful to consumer health. Based on this, many studies have been conducted to find alternatives to AGP starting from the use of enzymes, essential oils, organic acids, probiotics, as well as prebiotics. However, the development of natural ingredients has not been widely studied even though Indonesia is rich in biodiversity and is very interesting to explore. The study examines the potential of banana corms as a source of antibacterial and prebiotic. Banana corm is a part of the banana plant in the form of a stem tuber that is not utilized, even though the banana corm contains active compounds that have potential as an antibacterial source. In addition, it contains carbohydrates and fiber that are high enough to be used as a source of new prebiotics.
The first step of the research aims to identify antibacterial compounds in banana corms and evaluate their activity against pathogenic bacteria that commonly infect of chickens. The extraction procedure was carried out by maceration using ethanol and fractionation by liquid-liquid method using ethyl acetate. Furthermore, the extract fractions obtained were put into column chromatography using silica gel and eluted with 100% CHCl3, 20% MeOH/CHCl3, 3% MeOH/CHCl3, and 100% MeOH. In addition, the identification of antibacterial compounds was carried out using GC-MS, and the inhibition test was carried out through the agar diffusion method. Based on the GC-MS chromatogram results, the highest antibacterial compound components were identified, namely Octadeca-9,12-Dienoic and Hexadecanoic. These compounds were proven to have the highest antibacterial properties against E. coli, Salmonella thypi, S. aureus, and B. cereus at 5% concentration with inhibition zones of 5.88 mm (moderate), 9.13 mm (moderate), 13.86 (strong), and 14.66 (strong), respectively. It was concluded that the banana corm extract contains seven types of antibacterial compounds namely 1).Octadeca-9,12-Dienoic acid methyl ester, 2).Hexadecanoic acid (CAS) Palmitic acid, 3).Hexadecanoic acid methyl ester (CAS) Methyl palmitate, 4). 9-Octadecenoic acid methyl ester, 5). 1,4,8-Dodecatriene, (E,E,E)- (CAS), Octadecanoic acid, 6). methyl ester (CAS) Methyl stearate dan 7). 1,2- Benzenedicarboxylic acid, dioctyl ester (CAS) phthala and was able to inhibit the growth of pathogenic bacteria namely Escherichia coli, Salmonella thypi, Staphylococcus aureus, and Bacillus cereus.
The second step of the research aims to extract and isolate glucomannan from banana corm and evaluate its potential as a prebiotic in vitro. The extraction was carried out by maceration with a ratio of 1 : 10, i.e. 200 g of banana corm flour (BCF) and 2 liters of distilled water (H2O) with column chromatography elution using ethanol as the moving phase and diaion as the stationary phase. Furthermore, it was tested to determine the glucomannan content in the extract. The types of lactic acid bacteria used for the in vitro test were L. plantarum and L. rhamnosus, while pathogenic bacteria used E. coli and Salmonella. Bacterial growth media used were control media without sugar source, MRS + glucose media and MRS + banana corm extract (BCE) containing glucomannan. Based on the results of the study, BCE contains glucomannan of 33.59% with a yield of 14.15% and the results of in vitro tests show that BCE is only fermented by LAB but not by pathogens. In addition, EBP can be utilized as a carbon source for LAB growth which is indicated by the growth of L. plantarum and L. rhamnosus which continue to increase the number of cells until the incubation period of 48 hours respectively at 8.107 log cfu ml-1 and 7.771 log cfu ml-1, while in pathogenic bacteria there is no growth and death. Based on this, it can be concluded that BCE can be utilized as a prebiotic in the form of glucomannan.
The third step of the study was to evaluate in vivo the potential of banana corm containing glucomannan on the health and growth performance of broiler chickens. A total of 200 one-day-old chickens were randomly allocated into 4 treatments with 5 replicates (10 chickens each). The treatments were R0 = control ration without glucomannan addition, R1 = R0 + 0.85% banana corms flour (equivalent to 0.20% commercial glucomannan), R2 = R0 + 0.60% banana corms extract (equivalent to 0.20% commercial glucomannan), and R3 = 0.20% commercial glucomannan. Variables observed were growth performance, nutrient digestibility, LAB population, SCFA production (acetate, propionate, butyrate), intestinal morphology and histopathology, and hematology and blood lipid profile. All data collected were analyzed using ANOVA (Analysis of Variance). Based on the results of the study, glucomannan treatments sourced from EBP (R2) and commercial glucomannan (R3) were generally able to improve growth performance, protein retention, and broiler health. However, based on IOFCC analysis, the BCF treatment (R1) showed more economical results compared to other treatments. In conclusion, the addition of 0.6% kepok banana corm extract and 0.2% commercial glucomannan to the ration both improved the health of the digestive tract, protein retention, immunity and growth performance of broiler chickens, so that it can be used as an alternative prebiotic source to replace AGP. However, in an applicative and economical context, the best results was 0.85% banana corm flour (R1).
Collections
- DT - Animal Science [350]